Daftar isi

Sejarah Buddhisme

Ajaran Buddha yang kini dikenal sebagai agama Buddha atau Buddhisme telah bertahan selama lebih dari 2500 tahun sejak pertama kali diajarkan oleh seorang pangeran yang kemudian menjadi pertapa dan mencapai pencerahan di bawah pohon Bodhi (Ficus religiosa) bernama Siddhattha Gotama (Sanskrit: Siddhartha Gautama) yang lebih dikenal sebagai Sang Buddha Gotama. Saat ini ajaran yang telah berkembang sebagai salah satu agama terbesar di dunia ini memiliki berbagai tradisi dan aliran yang berbeda-beda. Aliran-aliran utama yang berkembang saat ini adalah Theravada yang berkembang di Srilanka, Myanmar, dan Thailand; Mahayana yang berkembang di Tiongkok, Jepang, dan Korea; Vajrayana atau Tantrayana di Tibet, Nepal, dan Bhutan. Di antara ketiga aliran utama ini, Theravada dianggap paling mendekati ajaran asli Sang Buddha dalam beberapa aspek, walaupun sebenarnya aliran ini juga mengalami berbagai transformasi mengikuti perkembangan zaman.

Artikel ini akan membahas sejarah Buddhisme dari awal perkembangannya sampai terbentuknya berbagai aliran yang kita kenal sekarang.

Sejarah Buddhisme dibagi menjadi beberapa periode berikut:

Pra-Buddhisme

Peradaban Bangsa Dravida

Sebelum kedatangan bangsa Arya ke India, di lembah sungai Indus telah berkembang peradaban bangsa Dravidia yang berkembang pesat dari tahun 2500 s/d 1500 SM. Mohenjo-daro dan Harappa merupakan peninggalan arkeologis yang terkenal dari peradaban lembah sungai Indus tersebut. Penyelidikan arkeologis mengungkapkan bahwa peradaban ini meliputi wilayah yang luas, bekerja dengan perunggu, dan membangun kota-kota yang tertata dengan baik. Setelah kemundurannya, kebudayaan bangsa Dravidia terserap dalam peradaban India yang dikembangkan bangsa Arya.

peradaban_indus.jpg

Gambar 1. Peta situs peninggalan peradaban lembah sungai Indus

harappa.jpg

Gambar 2. Situs arkeologis Harappa

mohenjo-daro.jpg

Gambar 3. Situs arkeologis Mohenjo-daro

Peradaban Bangsa Arya

Sekitar tahun 1500 SM bangsa Arya melewati pegunungan Hindu Kush dan menginvasi India yang telah didiami oleh bangsa aslinya, yaitu Dravidia yang telah mengembangkan peradaban tinggi. Walaupun bangsa Dravidia ditundukkan oleh bangsa Arya dan dimasukkan dalam masyarakat India sebagai kelas budak, kebudayaan mereka mempengaruhi kebudayaan orang India dalam banyak hal, misalnya pemujaan dewi-dewi, dewa ular, dan makhluk halus yang mendiami pepohonan, yang memainkan peranan penting dalam Hinduisme saat ini (kata“Hindu” berasal dari kata bahasa Iran, dalam bahasa Sanskrit disebut “Shindu”, yang berarti “samudera, sungai”; kata “Arya” menunjuk pada bahasa-bahasa Indo-Iran dan orang-orang yang menggunakannya, berasal dari bahasa Sanskrit “arya” yang berarti “mulia.)

Bangsa Arya memasuki India dari barat laut. Pada tahun 1200 SM mereka menetap di sepanjang hulu sungai Gangga di daerah Punjab. Agama mereka yang didasarkan pada Rg-Veda adalah suatu bentuk politeisme di mana kekuatan-kekuatan alam, seperti langit, hujan, angin, dan halilintar, dipuja sebagai dewa-dewa. Sejak tahun 1000 SM mereka berlanjut menuju timur dan perlahan-lahan menduduki daerah subur di antara sungai Gangga dan Jumna. Di sana bangsa Arya mengembangkan kebudayaan yang kaya dari tahun 1000 s/d 500 SM dan banyak perkembangan tersebut yang mencirikan peradaban India yang belakangan dapat ditelusuri sampai periode ini.

Pada tahun 1000 SM tiga teks yang melanjutkan Rg-Veda, yaitu Sama-Veda, Yajur-Veda, dan Atharva-Veda, telah disusun. Teks Brahmana yang menjelaskan tata cara yang benar untuk melakukan pengorbanan Veda disusun pada sekitar tahun 800 SM, dan teks-teks filosofi Upanisad awal (Chandogya, Brhadaranyaka, Aitareya, Kausitaki, dan Taittiriya) disusun sekitar tahun 500 SM.

Selama periode ini bangsa Arya terdiri dari berbagai suku yang terutama bekerja dalam pertanian dan penggembalaan. Para pedagang dan perajin mulai mucul, walaupun kota-kota besar belum berkembang. Pekerjaan semakin terspesialisasi. Masyarakat terbagi dalam empat kelas, yang disebut varna (warna). Di puncak terdapat dua kelas: kelas pemuka agama (brahmana), yang terdiri atas mereka yang mengadakan upacara pengorbanan kepada para dewa, dan kelas penguasa (ksatriya), yang terdiri atas para raja dan bangsawan. Di bawah mereka terdapat kelas vaisya yang terdiri atas para petani, penggembala, pedagang, dan perajin. Terakhir, kelas budak (sudra) yang bertugas melayani ketiga kelas lainnya. Akhirnya sistem ini menjadi semakin terspesialisasi dan menghasilkan pengelompokan yang disebut kasta saat ini. Anggota satu kasta biasanya tidak diizinkan menikah bahkan makan bersama orang-orang dari kasta lain yang lebih rendah.

Sosial Politik India pada Masa Kelahiran Buddhisme

Siddhattha Gotama (Siddhartha Gautama) atau yang lebih dikenal kemudian sebagai Sang Buddha lahir pada periode ketika perubahan sosial dan religius penting sedang terjadi di India tengah (Majjhimadesa/Madhyamadesa) yang saat itu adalah wilayah yang kaya secara agrikultur sehingga menghasilkan banyak bahan pangan dan dengan demikian menyokong kelompok masyarakat yang bersenang-senang maupun para pertapa.

Ketika bangsa Arya perlahan-lahan berpindah dari India utara menuju India tengah, suku-suku kecil bersatu membentuk kerajaan-kerajaan. Pada masa Sang Buddha terdapat 16 negeri/kerajaan (janapada) di India tengah, tetapi kerajaan yang lemah biasanya ditaklukkan oleh kerajaan yang lebih kuat. Yang terkuat di antara kerajaan-kerajaan ini adalah kerajaan Kosala (Kausala) di bagian barat laut India tengah dengan ibukotanya di Savatthi (Sravasti) dan kerajaan Magadha di sebelah selatan sungai Gangga bagian tengah dengan ibukotanya di Rajagaha (Rajagrha).

janapada.jpg

Gambar 4. Peta 16 janapada pada masa Sang Buddha

Nama-nama 16 janapada yang disebutkan dalam teks-teks Buddhis (misalnya Anguttara Nikaya i.213/AN 3.70 ) adalah Aṅga, Magadha, Kāsi, Kosala, Vajji, Malla, Ceti, Vaṅga, Kuru, Pañcāla, Maccha, Sūrasena, Assaka, Avanti, Gandhāra, dan Kamboja. (Perhatikan bahwa kerajaan suku Sakya atau Kapilavatthu/Kapilavastu, tempat kelahiran Sang Buddha, bukan termasuk salah satu janapada karena daerah suku Sakya sebenarnya adalah negeri bawahan dari kerajaan Kosala dan pemerintahannya tidak berbentuk kerajaan/monarki di mana rajanya dipilih secara turun-temurun, melainkan sejenis republik di mana pemimpin negeri dipilih oleh dewan tetua suku. Ini dapat diketahui dari jawaban Pertapa Gotama ketika bertemu dengan Raja Bimbisara sebelum pencerahannya tentang asal usul keluarganya dalam Pabbaja Sutta, Suttanipata. Dengan demikian, teks-teks belakangan tentang biografi Sang Buddha menggambarkan Kapilavatthu sebagai kerajaan besar dengan Raja Suddhodana, ayah Sang Buddha, yang sangat berkuasa jelas tidak sesuai dengan fakta sejarah.)

Dataran lembah sungai Gangga dengan iklim yang panas dan curah hujan tinggi adalah wilayah pertanian yang subur. Mulanya kelas petani dan tuan tanah mendominasi wilayah tersebut; namun dengan perkembangan kelas masyarakat yang kaya, para pedagang dan pengrajin muncul di sana dan kota-kota berkembang. Para pedagang dan pengrajin terorganisasi ke dalam serikat pekerja dan organisasi perdagangan. Belakangan, kelas para pedagang yang sangat kaya berkembang. Dengan demikian pada masa Sang Buddha, perubahan ekonomi dan politik yang besar terjadi di India tengah dan sistem kelas sosial lama terdisintegrasi.

Kelas Brahmana kehilangan prestisenya, yang menyatakan bahwa agama Veda dengan pemujaan fenomena alam tidak lagi semenarik seperti pada masa-masa lebih awal. Kelas-kelas intelektual tertarik dalam filosofi Upanisad, yang menyamakan atman (jiwa individual) dengan brahman (prinsip kosmis). Mereka tidak puas dengan kepercayaan religius yang tampak primitif yang mendewakan fenomena alam. Selain itu, bangsa Arya telah bersentuhan dengan agama bangsa Dravidia dan telah terpengaruh olehnya. Semua faktor ini membantu menciptakan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan kepercayaan agama baru.

Brahmanisme dan Sramanisme: Dua Agama Utama India Kuno

Pada masa Sang Buddha terdapat dua kelompok utama praktisi agama di India, yaitu para brahmana dan para sramana (samana).

Para brahmana, yang mewakili jenis praktisi yang lebih tradisional, merupakan pengikut agama Veda yang bertugas dalam upacara-upacara pengorbanan. Pada saat yang sama mereka mendedikasikan diri dalam mencari Yang Absolut melalui studi filosofi yang menyatukan atman dengan brahman. Kehidupan ideal seorang brahmana dibagi menjadi 4 tahap:

  1. Ketika muda, ia diterima sebagai siswa oleh seorang guru dan mendedikasikan diri dalam mempelajari Veda.
  2. Ketika studinya selesai, ia kembali ke rumah untuk menikah dan menjadi seorang perumah tangga.
  3. Ketika ia berusia lanjut, ia memberikan kewenangan kepada putranya untuk mengambil alih rumah tangganya dan mengundurkan diri untuk tinggal di dalam hutan dan menjalankan praktik religius.
  4. Akhirnya, ia meninggalkan kediamannya dalam hutan untuk menjalankan kehidupan sebagai pengembara da meninggal dunia dalam pengembaraannya.

brahmana.jpg

Gambar 5. Seorang brahmana

Jenis praktisi kedua, sramana (secara harfiah berarti seseorang yang “berjuang”), tidak disebutkan dalam teks Upanisad yang lebih tua. Seorang sramana meninggalkan rumahnya untuk menjalankan kehidupan mengembara dan meminta dana makanan. Seringkali ia memasuki cara hidup ini selagi muda; tidak ada persyaratan bahwa ia harus melewati tahapan kehidupan lain sebelum menjadi seorang sramana. Ia mendedikasikan diri dalam mengendalikan dan membatasi keinginannya, berlatih yoga (meditasi), dan menjalankan praktik-praktik religius yang keras di dalam hutan untuk mengalami Yang Absolut atau untuk meloloskan diri dari kematian.

sramana.jpg

Gambar 6. Seorang sramana sedang berbaring di atas abu sisa-sisa kremasi.

Adapun Buddhisme (dan Jainisme saat ini) berasal dari aliran Sramana pada periode ini. Dikatakan bahwa Sramanisme merupakan gerakan religius yang muncul untuk mengisi melemahnya otoritas para brahmana: agama Veda kehilangan daya tariknya bagi kebanyakan orang saat itu, tetapi tidak ada otoritas religius yang menggantikanya sehingga pada masa itu banyak guru spiritual/filsuf/pemikir India kuno yang muncul dan berusaha mencari Yang Absolut dengan caranya sendiri. Namun ada juga yang berpendapat bahwa Sramanisme bukan berasal dari reaksi terhadap otoritas Veda, melainkan tradisi religius yang telah ada sejak masa sebelumnya bahkan sebelum Veda (pra-Veda).

pertapa_gotama.jpg

Gambar 7. Pertapa Gotama ketika berlatih keras untuk mencapai pencerahan.

Dalam biografi Siddhattha Gotama dikisahkan bahwa dalam pencarian spiritualnya ia juga mengikuti cara hidup sramana: pada usia muda (29 tahun) meninggalkan keluarganya dan menjadi seorang sramana (atau sering diterjemahkan sebagai pertapa) yang mulanya berguru kepada dua orang guru terkemuka (Alara Kalama dan Uddaka Ramaputta) yang mengajarkan meditasi landasan tanpa bentuk (arupayatana/arupajhana). Tidak puas dengan ajaran kedua guru tersebut, ia memutuskan untuk mencari jalannya sendiri dengan melakukan latihan keras/penyiksaan diri (tapa) selama 6 tahun yang merupakan praktik umum Sramanisme saat itu (dan masih dijalankan dalam Jainisme sekarang). Menyadari kesia-siaan latihan keras ini, ia lalu menemukan jalan tengah (majjhima patipada) yang menghindari penyiksaan diri pada satu ekstrem dan kemanjaan dalam kesenangan indria pada ekstrem lainnya, yaitu Jalan Mulia Berunsur Delapan. Akhirnya selama 45 tahun kemudian beliau mengembara di antara negeri-negeri di India tengah untuk mengajarkan ajarannya yang dikenal dengan nama Sakyaputtiya samana (sramana pengikut putra Sakya) pada masa awalnya dan kita kenal saat ini sebagai Buddhisme.

Aliran-Aliran Sramana

Dalam Samannaphala Sutta dari Digha Nikaya disebutkan terdapat 6 guru spiritual terkemuka yang merupakan pendiri aliran-aliran dalam Sramanisme selain Sang Buddha, yaitu:

1) Purana Kassapa (Purana Kasyapa), yang mengajarkan ketiadaan buah/akibat dari perbuatan baik dan buruk (akiriyavada = amoralisme).

2) Makkhali Gosala (Maskarin Gosaliputra), yang mengajarkan ketiadaan sebab akibat sehingga pemurnian diri dari kekotoran batin akan terjadi dengan sendirinya (fatalisme). Aliran yang didirikannya dikenal sebagai Ajivika (Ajivaka) dan merupakan aliran Sramana yang terkemuka sampai beberapa abad berikutnya (dalam prasasti Raja Asoka dari abad ke-3 SM dikatakan bahwa Raja Asoka mendanakan sejumlah gua kepada para pertapa Ajivika). Walaupun kemudian mengalami kemunduran, Ajivika sempat bertahan sampai abad ke-14 M di India selatan. Informasi tentang Ajivika dan pendirinya banyak disebutkan dalam teks Jainisme karena menurut biografinya Mahavira (pendiri Jainisme yang akan dibahas di bawah) pernah tinggal bersama Makkhali Gosala.

3) Ajita Kesambali (Ajita Kesambala), yang mengajarkan ketiadaan sebab akibat perbuatan dan manusia tersusun atas 4 unsur (tanah, air, api, dan udara) yang akan terurai/lenyap setelah kematian (ucchedavada = anihilasionisme/materialisme). Ajaran ini menjadi cikal bakal aliran Lokayata/Charvaka pada masa belakangan yang merupakan filosofi skeptisisme India yang menolak hal-hal supernatural (keberadaan jiwa/roh dan dewa-dewi) dan metafisika (kehidupan setelah kematian/reinkarnasi dan pembebasan/moksa). Lokayata sebenarnya bukan agama Dharma seperti halnya Hinduisme dan Buddhisme, tetapi filosofinya ditentang oleh ajaran Hindu, Buddha, dan Jain hingga akhirnya lenyap pada abad ke-12 M.

4) Pakudha Kaccayana (Kakuda Katyayana), yang mengajarkan segala sesuatu tersusun dari 7 unsur (tanah, air, api, udara, kebahagiaan, penderitaan, dan jiwa/kehidupan) yang tidak dapat diciptakan, tidak berubah, dan tidak saling mempengaruhi sehingga perbuatan seperti membunuh tidak ada akibatnya karena hanya mengubah susunan unsur-unsur ini. Ajaran ini merupakan filosofi atomisme India dan menjadi cikal bakal ajaran Vaisesika dalam Hinduisme.

5) Nigantha Nataputta (Nirgrantha Jnatiputra) atau dikenal juga sebagai Vardhamana atau Mahavira, merupakan salah satu pendiri aliran Nigantha yang dikenal sebagai Jainisme saat ini. Dalam teks Buddhis ia disebutkan mengajarkan empat pengendalian yang bunyi ajarannya samar-samar maknanya. Namun menurut ajaran Jainisme saat ini empat pengendalian (caturyama-samvara) merupakan ajaran Parshva, seorang Tirthankara (“pembuat penyeberangan”, gelar yang tercerahkan dalam Jainisme, seperti halnya gelar Buddha dalam Buddhisme) sebelum Mahavira, tokoh historis yang diperkirakan hidup sekitar abad ke-8 atau ke-7 SM, dua abad sebelum Sang Buddha dan Mahavira, sedangkan Mahavira memperluas empat pengendalian menjadi lima ikrar besar (panca-mahavrta) yang menjadi kode etik utama pertapa Jain saat ini. Jadi, ada kemungkinan penyusun teks Buddhis awal hanya mengetahui ajaran aliran Nigantha dari Parshva dan salah mengatribusikan ajaran Parshva kepada Nigantha Nataputta/Mahavira yang hidup sezaman tetapi lebih tua daripada Sang Buddha.

mahavira.jpg

Gambar 8. Patung Mahavira.

Aliran Nigantha atau Jainisme merupakan aliran Sramana yang dapat bertahan sampai saat ini selain Buddhisme. Terdapat banyak kesamaan ajaran dan istilah teknis yang digunakan dalam Jainisme dan Buddhisme (misalnya karma, samsara, arahant/arihant, savaka/sravaka, tapa, samana/sramana, jhana/dhyana, buddha & jina, pacceka/pratyeka buddha, sangha, dst). Tujuan akhir ajaran Jain adalah membebaskan jiwa dari lingkaran kelahiran kembali (samsara) dengan menghentikan arus-arus karma (asrava) secara fisik, yaitu melalui latihan keras (tapa), yang antara lain berpuasa, menahan kesulitan yang disebabkan oleh orang lain maupun hewan, menahan ketidaknyaman akibat cuaca dengan ketelanjangan dan melepaskan semua kepemilikan, tidak mengambil tempat tinggal, melepaskan semua makanan lezat, dst. Filosofi Jainisme yang terkenal adalah ahimsa (tidak melukai/menyakiti makhluk lain, bahkan tumbuhan karena tidak seperti Buddhisme, Jainisme menganggap tumbuhan juga memiliki jiwa) dan anekantavada (kebenaran mutlak memiliki banyak aspek yang berbeda, tergantung dari sudut pandangan mana kita melihatnya).

6) Sanjaya Belatthiputta (Sanjayin Vairatiputra), yang menolak untuk memberikan jawaban definitif atas suatu pertanyaan, misalnya jika ditanya apakah ada dunia lain (kehidupan setelah kematian)? Maka ia menjawab dengan berbelit-belit: “Jika aku berpikir demikian, aku akan berkata demikian. Tetapi aku tidak berpikir demikian. Aku tidak berkata demikian, dan aku tidak mengatakan sebaliknya. Aku bukan mengatakan tidak, dan aku bukan tidak mengatakan tidak.” (Intinya menegasi kemungkinan semua jawaban: bukan A, bukan B, bukan A dan B, bukan juga bukan A dan bukan B, dengan A dan B adalah dua pernyataan yang saling bertentangan, misalnya benar/iya/ada dan salah/tidak/tiada). Aliran ini dikenal sebagai Ajnana dan merupakan filosofi agnotisisme India yang juga sering diserang ajaran Buddhis dan Jain dalam teks-teks mereka. Menariknya, dua siswa utama Sang Buddha, yaitu Sariputta dan Moggallana, sebelumnya merupakan murid Sanjaya Paribbajaka (Sanjaya sang pengembara, nama lain Sanjaya Belatthiputta) sehingga pengaruh filosofi ini tampak dalam teks-teks Buddhis awal di mana Sang Buddha atau para siswa langsungnya menolak untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan metafisika dengan menegasi semua kemungkinan jawaban.

Adapun semua aliran Sramana ini (termasuk Buddhisme) memiliki ciri khas utama di mana sang guru spiritual yang menyatakan dirinya sebagai yang tercerahkan (arahant/arihant = yang layak dihormati) juga menjadi pemimpin perkumpulan para siswa/pertapa mereka yang disebut Sangha (komunitas monastik) dan memiliki kode etik yang mengatur cara hidup pertapaan mereka yang disebut Vinaya (aturan monastik). Dan tentu saja, seperti halnya Hinduisme, masing-masing menyebut ajaran mereka sebagai Dharma/Dhamma (kebenaran).

Buddhisme Awal/Prasektarian

Para ahli sejarah menyebut ajaran Buddha awal mula yang berkembang sebelum perpecahan aliran sebagai Buddhisme awal atau Buddhisme pra-sektarian. Periode Buddhisme awal dimulai sejak Sang Buddha mengajarkan Dhamma pertama kali kepada lima pertapa yang kemudian menjadi para bhikkhu pertama di Taman Rusa Isipatana di Benares sampai beberapa ratus tahun setelah wafatnya Sang Buddha sebelum terjadinya perpecahan aliran-aliran.

Tak lama setelah wafatnya Sang Buddha, para bhikkhu yang berjumlah 500 orang mengadakan pertemuan untuk mengulang kembali ajaran-ajaran Sang Buddha yang diajarkan kepada berbagai kalangan selama 45 tahun pengembaraan Beliau berkeliling mengajar ke seluruh penjuru India. Pertemuan ini dikenal sebagai Konsili Buddhis I dan berhasil mengumpulkan ajaran Buddha yang dikelompokkan dalam Dhamma (ajaran praktis yang tertuang dalam kotbah-kotbah Sang Buddha) dan Vinaya (aturan disiplin monastik bagi para bhikkhu dan bhikkhuni). Walaupun sebelum wafatnya Sang Buddha berpesan agar beberapa aturan monastik yang kurang penting dapat dihapuskan, para bhikkhu dalam Konsili I memutuskan untuk tidak mengubah apa pun dalam Vinaya.

Seratus tahun kemudian terjadi perbedaan pendapat dan penafsiran atas Vinaya sehingga memunculkan 10 poin yang diajukan para bhikkhu dari negeri Vajji (Vajjiputtaka), yang di antaranya memperbolehkan para bhikkhu menggunakan emas dan perak (sama dengan uang sebagai alat tukar pada masa modern ini). Para bhikkhu senior kemudian berkumpul dan memutuskan praktek 10 poin tersebut tidak sesuai dengan ajaran Buddha. Pertemuan ini kemudian dikenal sebagai Konsili Buddhis II dan perselisihan berhasil didamaikan.

Ajaran Pokok Buddhisme Awal

Ajaran-ajaran pokok yang terdapat dalam teks Nikāya-Nikāya Pali dan Āgama-Āgama (dalam bahasa Cina kuno maupun bahasa India lainnya) secara historis berasal dari periode Buddhisme awal sehingga dianggap berasal dari Sang Buddha sendiri (atau setidaknya para siswa langsung beliau). Ajaran-ajaran pokok ini terdiri dari doktrin-doktrin utama Buddhisme yang diakui semua aliran, yaitu:

  1. Empat kebenaran mulia
  2. Jalan mulia berunsur delapan
  3. Lima kelompok unsur kehidupan
  4. Kemunculan (sebab-akibat) yang saling bergantungan
  5. Karma dan kelahiran kembali
  6. Tiga karakteristik (ketidakkekalan [anicca], ketidakpuasan/penderitaan [dukkha], bukan diri [anatta])

Namun demikian, penjelasan rinci item-item dalam ajaran-ajaran pokok ini bisa berbeda antara satu aliran Buddhis dengan yang lainnya, menunjukkan bahwa penjelasan ini merupakan hasil pengembangan pada masa sektarian.

Umumnya para ahli sejarah menggunakan perbandingan teks berbagai aliran Buddhisme awal, terutama Nikāya dan Āgama, untuk memperoleh gambaran lengkap bagaimanakah ajaran Buddha pada periode awal ini. Seringkali pendekatan ini disertai analisis yang tajam dan kritis menggunakan metode kritik tekstual.

Buddhisme Sektarian

Awal Perpecahan Aliran-Aliran

Lebih dari 200 tahun setelah wafatnya Buddha muncul perbedaan pendapat sehubungan dengan Dhamma yang mempertanyakan status pencerahan seorang Arahant (siswa Buddha yang tercerahkan) dalam 5 poin yang diajukan oleh seorang bhikkhu bernama Mahadeva menurut beberapa versi kisah perpecahan awal. Saat itu Sangha (komunitas monastik Buddhis) terpecah menjadi dua kelompok: kelompok para bhikkhu yang berjumlah besar yang menerima 5 poin tersebut (yang disebut Mahasanghika) dan kelompok para bhikkhu senior (thera atau sthavira) yang kalah jumlahnya menolak 5 poin (yang kemudian dikenal sebagai Sthaviravada). Ini merupakan kisah perpecahan pertama berdasarkan catatan dari golongan Sthaviravada.

Menurut catatan golongan Mahasanghika sendiri, para bhikkhu senior berusaha menambah aturan Vinaya yang ditolak para bhikkhu yang berjumlah besar. Kelompok para bhikkhu yang berjumlah besar (Mahasanghika) memisahkan diri dari kelompok para bhikkhu senior (Sthaviravada).

Menurut aliran Theravada, untuk membantah 5 poin yang dikemukakan golongan Mahasanghika, para bhikkhu senior mengadakan pertemuan yang dikenal sebagai Konsili Buddhis III pada masa Raja Asoka yang mengumpulkan 6 kitab Abhidhamma Pitaka (kelompok ajaran skolastik berdasarkan pengelompokan skematik yang dikembangkan dari kotbah-kotbah Sang Buddha) dan menghasilkan kitab bantahan ajaran-ajaran menyimpang yang disebut Kathavatthu, tetapi catatan Konsili III ini tidak ditemukan dalam aliran awal yang lain.

Selama beberapa ratus tahun kemudian, perpecahan yang lebih lanjut terjadi di dalam golongan Mahasanghika dan Sthaviravada sendiri karena perbedaan dalam hal ajaran dan menghasilkan 18 aliran Buddhisme awal seluruhnya. Salah satu aliran itu, Vibhajjavada yang berasal dari golongan Sthaviravada, masuk ke Srilanka dan berkembang di sana sampai saat ini menjadi aliran Theravada sekarang. Sementara itu aliran-aliran awal lainnya mengalami kepunahan seiring dengan lenyapnya Buddhisme di India pada abad ke-13 M, tetapi beberapa kitab ajaran mereka berhasil diterjemahkan ke dalam bahasa Tiongkok dan Tibet dan diwarisi oleh aliran Mahayana dan Vajrayana saat ini.

Aliran-Aliran Buddhisme Awal

Secara tradisional, dikatakan terdapat 18 aliran yang muncul akibat perpecahan pada komunitas Buddhis awal. Mulanya komunitas Buddhis awal terpecah menjadi 2 golongan besar: Mahasanghika dan Sthaviravada. Kemudian Mahasanghika terpecah menjadi 10 aliran, sedangkan Sthaviravada terpecah menjadi 8 aliran; ini terjadi sekitar 300 tahun setelah Parinibbana Sang Buddha. Di sini kita akan membahas beberapa aliran awal yang penting.

perpecahan_aliran_awal.jpg

Gambar 9. Diagram perpecahan aliran-aliran Buddhisme awal (hanya menampilkan beberapa aliran yang penting saja)

Mahasanghika

Membicarakan asal-usul aliran Mahasanghika berarti kita harus melihat bagaimana perpecahan Buddhisme awal terjadi. Setidaknya ada 3 versi kisah perpecahan yang umum dalam teks-teks Buddhis:

1. Versi Theravada (dalam komentar Vinaya Pitaka, Dipavamsa, dst):

2. Versi Sarvastivada (komentar Abhidharma Mahavibhasa, dst)

3. Versi Mahasanghika (dalam Sariputrapariprccha)

Para ahli umumnya lebih cenderung menerima kisah perpecahan versi Mahasanghika karena Vinaya Mahasanghika yang berjumlah lebih sedikit dianggap lebih tua usianya daripada Vinaya Sthaviravada, namun kesimpulan ini masih banyak membutuhkan penelitian lebih lanjut.

Beberapa ajaran Mahasanghika:

1. Lima poin Mahadeva:

2. Sang Buddha adalah makhluk yang melampaui duniawi, tidak hanya dalam hal pencapaian, tetapi juga segala aspek kehidupannya. Semua yang dilakukan Pangeran Siddhattha hanyalah “penampakan luar” saja. Beliau selalu dalam keadaan meditasi, mengajarkan Dharma hanya dalam satu kata, tubuhnya tidak pernah kotor (bahkan debu pun tidak bisa lengket pada tubuh Beliau), kehidupannya tidak terbatas, kekuatannya tidak terbatas.

3. Terdapat banyak Buddha lain di sepuluh penjuru arah (8 arah mata angin + arah atas dan bawah). Dengan demikian terdapat banyak tanah Buddha di alam semesta ini selain tanah Buddha kita tempat Buddha Gotama muncul. [Poin 2 dan 3 ini juga dianut dalam ajaran Mahayana].

4. Walaupun dikatakan dalam sumber Theravada bahwa Mahasanghika tidak menerima Abhidhamma sebagai ajaran Buddha, namun beberapa subalirannya memiliki Abhidhamma Pitaka masing-masing.

Pusat Mahasanghika mulanya di Magadha, kemudian mereka berkembang di India utara dan barat laut. Beberapa subalirannya di antaranya:

  1. Gokulika berpusat di Varanasi dan Pataliputra.
  2. Ekavyaharaka dan Lokottaravada di Peshawar
  3. Bahusrutiya di Kosala.
  4. Caitika di Andhra, khususnya di Amaravati dan Nagarjunakonda
  5. Prajnaptivada di Madhyadesa.

Umumnya para ahli menganggap Mahasanghika sebagai cikal-bakal Mahayana saat ini karena ada kesamaan ajaran. Namun demikian, kemunculan sutra-sutra Mahayana terjadi lama setelah perpecahan Buddhisme awal (yaitu sekitar 500 tahun setelah Parinibbana Sang Buddha) dan tidak semua subaliran Mahasanghika menerima sutra-sutra Mahayana sebagai ajaran Buddha. Vinaya yang digunakan dalam aliran Mahayana saat ini pun bukan berasal dari Mahasanghika.

Vinaya Mahasanghika diterjemahkan ke bahasa Mandarin oleh Faxian pada abad ke-5 M. Beberapa manuskrip kuno yang berisi Vinaya Lokottaravada dan Mahaparinirvana Sutra versi Mahasanghika ditemukan di peninggalan reruntuhan vihara kuno di Bamiyan, Afghanistan. Melalui literatur kuno ini para ahli berusaha mempelajari seluk beluk aliran ini.

Pada abad ke-7 M aliran Mahasanghika perlahan-lahan lenyap di India. Pada masa yang sama di Cina Vinaya Mahasanghika digunakan di Guanzhong (dekat Chang'an) dan Vinaya Sarvastivada digunakan di daerah sungai Yangzi dan daerah selatan, tetapi mayoritas bhikkhu Cina menggunakan Vinaya Dharmaguptaka. Akhirnya pada awal abad ke-8 atas perintah kaisar Zhongzong dari Dinasti Tang seluruh anggota Sangha Cina memakai Vinaya Dharmaguptaka. Di Tibet silsilah terakhir Mahasanghika adalah Atisha yang terkenal dan pernah berguru kepada Dharmakirti di Sumatera pada masa kerajaan Sriwijaya. Ketika Raja Tibet Ralpacan memerintahkan hanya Mulasarvastivada yang diperbolehkan di Tibet, Atisha tidak menahbiskan siapa pun lagi.

Sthaviravada

Selanjutnya kita akan membahas aliran-aliran yang berkembang dari golongan Sthaviravada. Sthaviravada (ajaran para sesepuh) adalah golongan yang memisahkan diri dari Mahasanghika pada perpecahan awal dan berpedoman pada pandangan/pendapat para bhikkhu senior yang dianggap lebih tinggi otoritasnya, terutama para bhikkhu siswa langsung Sang Buddha yang terlibat dalam Konsili Pertama Buddhis tak lama setelah Parinibbana Sang Buddha. Dengan demikian mereka merasa lebih ortodoks daripada golongan Mahasanghika yang dianggap telah mengubah Dhamma dan Vinaya. Pada umumnya semua subaliran Sthaviravada memiliki Vinaya yang hampir sama/seragam, tetapi berbeda dalam penafsiran terhadap Dhamma. Beberapa subaliran Sthaviravada yang penting di antaranya Sarvastivada, Vibhajjavada, Dharmaguptaka, dan Puggalavada.

Sarvastivada

Seperti dari namanya, Sarvastivada menganut ajaran “semuanya ada” (sarvam asti) bahwa semua fenomena ada/eksis dalam tiga periode waktu (masa lampau, masa sekarang, dan masa depan). Mereka mengembangkan sistem filosofis yang lengkap dalam bentuk Abhidharma yang rumit dan terkemuka di seluruh India pada masa Buddhis kuno.

Aliran ini berkembang di daerah Mathura dan Kashmir. Menurut teks Sarvastivada sendiri, mereka muncul sebagai aliran tersendiri 300 tahun setelah Parinibbana Sang Buddha: “Sthaviravada tetap bersatu selama jangka waktu tertentu. Pada awal abad ke-3 [setelah Parinibbana Sang Buddha], muncullah beberapa perselisihan, dan Sthaviravada terpecah menjadi dua aliran: Sarvastivada, yang juga disebut Hetuvada, dan Sthaviravada awal mula yang [kemudian] mengubah namanya menjadi Haimavada.” (Samayabhedoparacanacakra oleh Vasumitra)

Menurut para ahli, setidaknya ada 3 pendapat tentang kemunculan aliran Sarvastivada:

1. Setelah konsili Buddhis pada masa Raja Asoka, sekelompok Sangha memisahkan diri dari ibukota Pataliputra, berpindah ke India barat laut, dan berkembang menjadi Sarvastivada. Ini bersumber dari salah satu versi perpecahan awal Sthaviravada-Mahasanghika (lihat pembahasan tentang Mahasanghika di atas).

2. Salah satu misi Dhammaduta yang dikirim pada masa Raja Asoka yang dipimpin oleh Bhikkhu Majjhantika ke daerah Gandhara, salah satu pusat Sarvastivada awal. Ini sesuai dengan salah satu tradisi Sarvastivada yang menyebutkan silsilah penahbisan mereka dari Majjhantika yang mengajar di Kashmir.

3. Komunitas Buddhis awal sudah ada sejak masa Sang Buddha di Mathura (Pali: Madhura), salah satu pusat Sarvastivada, karena salah satu siswa langsung Sang Buddha, Bhikkhu Mahakaccana pernah mengajar di daerah tersebut. Ini tercatat dalam Madhura Sutta dari Majjhima Nikaya Pali. Beberapa abad kemudian muncul Bhikkhu Upagupta di daerah tsb dan mendirikan aliran Sarvastivada (oleh sebab itu walaupun diyakini Upagupta adalah seorang Arahat cucu murid dari Bhikkhu Ananda, namun namanya tidak disebutkan dalam teks Theravada, tetapi hanya ditemukan dalam teks Mahayana).

Pada perkembangannya aliran Sarvastivada terpecah menjadi 2 subaliran: Vaibhasika yang menitikberatkan pada Abhidharma (yang disebut juga Vibhasa atau ulasan dari sutra) dan Sautrantika yang menitikberatkan pada ajaran-ajaran yang terdapat dalam Sutra dan menolak Abhidharma sbg ajaran Buddha. Dari Vaibhsika inilah Abhidharma Sarvastivada berkembang.

Sarvastivada berkembang pesat pada masa pemerintahan Raja Kanishka (78-151 M) yang mendukung ajaran Buddha. Pada masa inilah Konsili Buddhis yang dihadiri 500 orang bhikkhu aliran Sarvastivada dipimpin oleh Vasumitra diadakan. Hasilnya adalah teks-teks Abhidharma yang ditulisa dalam bahasa Sanskrit. Berkat dukungan dari raja ini aliran Sarvastivada dapat bertahan ribuan tahun di India sebelum akhirnya lenyap seiring dengan kemunduran agama Buddha di India.

Kumpulan teks Sarvastivada terdiri dari tiga kumpulan (Tripitaka), yaitu:

1. Vinaya, yang telah diterjemahkan dalam bahasa Mandarin dan pernah digunakan pada abad ke-7 di Cina sebelum akhirnya digantikan dengan Vinaya Dharmaguptaka.

2. Agama, yaitu kumpulan sutra yang hampir lengkap: Dirgha Agama (kumpulan kotbah panjang, sejajar dengan Digha Nikaya Pali dari Theravada) telah ditemukan di reruntuhan peninggalan situs kuno Buddhis di Afghanistan, Madhyama Agama (kumpulan kotbah menengah, sejajar dengan Majjhima Nikaya Pali) dan Samyukta Agama (kumpulan kotbah berkelompok, sejajar dengan Samyutta Nikaya Pali) yang terdapat dalam terjemahan Mandarin.

3. Abhidharma, yang terdiri dari 7 kitab yang diyakin dalam tradisi Sarvastivada ditulis oleh para siswa langsung ataupun tidak langsung Sang Buddha:

Terdapat juga kitab komentar/ulasan Abhidharma yang berjudul Abhidharma-mahavibhasa (Ulasan Besar Abhidharma) yang digunakan aliran Vaibhasika di Kashmir. Adapun ajaran Abhidharma Sarvastivada ini menjadi dasar filosofi Mahayana yang muncul kemudian.

Menurut sumber Theravada dalam Kathavatthu, Sarvastivada bersepaham dengan Vajjiputtiya bahwa seorang Arahat dapat mengalami kemerosotan.

Sekitar 500-1000 tahun setelah Parinibbana Sang Buddha muncul aliran Mulasarvastivada (Sarvastivada akar) dan Vinaya-nya digunakan dalam aliran Mahayana Tibet saat ini. Menurut catatan Yijing, Mulasarvastivada juga berkembang di kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7 M. Namun demikian, asal-usul aliran ini dan hubungannya dengan aliran Sarvastivada masih belum terungkap oleh para ahli. Menurut Bhikkhu Sujato dalam Sects and Sectarianism:

Ketidakpastian mengenai aliran ini telah membawa pada sejumlah hipotesis. Teori Frauwallner menyatakan bahwa Vinaya Mūlasarvāstivāda adalah aturan disiplin dari komunitas Buddhis awal yang berbasis di Mathura, yang sangat independen dalam perkembangannya sebagai komunitas monastik dari Sarvāstivādin dari Kaśmir (walaupun tentu saja ini tidak berarti mereka berbeda dalam hal ajaran). Lamotte, berlawanan dengan Frauwallner, menyatakan bahwa Vinaya Mūlasarvāstivāda adalah penyusunan Kaśmīr yang belakangan untuk melengkapi Vinaya Sarvāstivāda. Warder menyatakan bahwa Mūlasarvāstivādin adalah perkembangan belakangan dari Sarvāstivāda, yang inovasi utamanya adalah tulisan, penyusunan Vinaya yang besar dan Saddharmasmṛtyupasthāna Sūtra, yang mengandung ajaran-ajaran awal tetapi membawa gaya tetap up to date pada masa perkembangan tulisan yang sezaman. Enomoto menarik kesimpulan dari semua teori ini dengan menyatakan bahwa Sarvāstivādin dan Mūlasarvāstivādin sebenarnya adalah sama. Sementara itu, Willemen, Dessein, dan Cox telah mengembangkan teori bahwa Sautrantika, suatu cabang atau kecenderungan dalam kelompok aliran Sarvāstivādin, muncul di Gandhāra dan Bactria sekitar tahun 200 M. Walaupun mereka adalah kelompok yang paling awal, mereka secara sementara kehilangan tanah pada aliran Kaśmīr Vaibhāśika disebabkan oleh pengaruh politik Kaṇiṣka. Dalam tahun-tahun belakangan Sautrantika menjadi dikenal sebagai Mūlasarvāstivādin dan mendapatkan kembali pengaruhnya.[254] Saya telah di tempat lain memberikan alasan saya untuk tidak setuju dengan teori dari Enomoto dan Willemen dkk. Baik Warder ataupun Lamotte tidak memberikan cukup bukti untuk mendukung teori mereka. Kita disisakan dengan teori Frauwallner, yang dalam hal ini bertahan dalam uji waktu.

Vibhajjavada

Nama Vibhajjavada (Skt: Vibhajyavada) [ajaran analisis] pertama kali digunakan Sang Buddha dalam beberapa sutta awal. Dalam MN 99 Subha Sutta Sang Buddha mengatakan bahwa Beliau mengatakan sesuatu setelah menganalisis (Vibhajjavādo kho ahamettha māṇava). Dalam AN 10.2.5.4 Vajjiyamahita Sutta disebutkan “Gārayhaṃ kho pana, bhante, bhagavā garahanto pasaṃsitabbaṃ pasaṃsanto vibhajjavādo bhagavā” (Sesungguhnya terhadap yang tercela, Bhante, Sang Bhagava mencela, terhadap yang terpuji, dipuji, [demikianlah] pengajaran melalui analisis oleh Sang Bhagava).

Tampaknya pada masa kehidupan Sang Buddha, istilah Vibhajjavada digunakan untuk menunjuk pada ajaran Beliau yang berusaha menjelaskan segala fenomena setelah menganalisisnya secara mendalam. Sama sekali tidak ada unsur sektarian dalam istilah ini pada mulanya.

Sekitar 200 tahun setelah Parinibbana Sang Buddha pada masa Raja Asoka seorang bhikkhu sesepuh bernama Mogaliputta Tissa menyatakan bahwa Sang Buddha mengajarkan Vibhajjavada untuk meyakinkan Raja Asoka akan keaslian ajaran mereka. Kemudian di bawah pimpinan Moggaliputta Tissa, 1000 bhikkhu Arahat mengumpulkan dan menyusun Tipitaka yang terdiri dari Vinaya Pitaka, Sutta Pitaka dan Abhidhamma Pitaka yang digunakan dalam aliran ini.

Menurut sumber Mahasanghika, Vibhajjavada adalah salah satu golongan yang memisahkan diri sejak perpecahan awal yang menghasilkan 3 aliran: Mahasanghika, Sthaviravada, dan Vibhajjavada. Vibhajjavada kemudian menurunkan aliran Mahisasaka, Dharmaguptaka, Kasyapiya, dan Tamraparniya (silsilah Tamraparni/Tamrapanni [nama kuno Sri Lanka], yang menurunkan aliran Theravada saat ini). Menurut sumber aliran Sammatiya, Vibhajjavada berkembang dan memisahkan diri dari Sarvastivada. Menurut sumber Sarvastivada, Vibhajjavada adalah mereka yang menyanggah ajaran “semuanya ada” dengan menyatakan hanya fenomena masa lampau yang belum memberikan akibatnya dan fenomena masa sekarang yang ada/eksis. Mengenai hal ini, Bhavaviveka, seorang filsuf Mahayana Madhyamaka, menulis sbb:

Mereka yang mengatakan bahwa semuanya ada – masa lampau, masa yang akan datang, dan masa kini – oleh karenanya disebut 'Mereka yang mengatakan bahwa semuanya ada' atau Sarvāstivādin.

Mereka yang mengatakan bahwa beberapa hal ada, (seperti) perbuatan-perbuatan lampau di mana akibatnya belum masak, dan bahwa beberapa tidak ada, (seperti) perbuatan-perbuatan yang akibatnya telah terjadi dan hal-hal dari masa yang akan datang; membuat kategori-kategori (atau pembagian-pembagian), karenanya mereka disebut 'Mereka yang mengatakan tentang pembagian-pembagian' atau Vibhajjavādin.

Menurut beberapa sarjana, sebenarnya tidak ada aliran khusus yang disebut Vibhajjavada, tetapi istilah ini kadangkala diberikan pada aliran lain yang berbeda pandangan dengan aliran tertentu. Oleh sebab itu, Sarvastivada menganggap mereka yang tidak setuju dengan pandangannya disebut Vibhajjavada, yang tidak secara khusus menunjuk pada aliran tertentu, melainkan semua aliran Sthaviravada yang berbeda pandangan dengan mereka.

Selain bersifat analisis yang berhati-hati terhadap suatu pokok permasalahan, ciri khas ajaran Vibhajjavada lainnya dapat dilihat pada ajaran Theravada saat ini, yaitu perhatian pada ketepatan, keteraturan, dan batasan yang bersih. Misalnya sementara aliran-aliran lain menyatakan bahwa kelahiran kembali terjadi melalui suatu tahap transisional yang perlahan-lahan yang disebut “keadaan antara” (antarabhava), Theravada tidak, dengan menyatakan bahwa satu kehidupan berakhir dan kehidupan berikutnya berawal pada momen berikutnya tanpa suatu jeda.

Tidak seperti aliran Buddhis awal lainnya yang telah lenyap di India, aliran Vibhajjavada dapat berkembang sampai saat ini berkat dukungan Raja Asoka yang mengirimkan putra-putrinya Bhikkhu Mahinda dan Bhikkhuni Sanghamitta untuk menyebarkan Dhamma ke Sri Lanka. Beberapa abad kemudian Vibhajjavada di Sri Lanka terpecah menjadi 2 kelompok: Abhayagirivasin yang bersifat terbuka dan menerima ajaran-ajaran Mahayana dari luar dan Mahaviharavasin yang lebih konservatif dan tertutup terhadap perubahan. Persaingan keduanya yang juga diwarnai kekerasan fisik karena melibatkan pihak yang berkuasa berakhir dengan keunggulan Mahaviharavasin yang merupakan aliran Theravada saat ini, satu-satunya keturunan yang tersisa dari aliran-aliran Buddhisme awal.

Dharmaguptaka

Dharmaguptaka (Pali: Dhammaguttika) dinamakan demikian menurut nama pendirinya, yaitu Dharmagupta (Pali: Dhammagutta). Asal-usul aliran ini menurut Vasumitra:

Dalam abad ketiga [setelah Parinibbana Sang Buddha] ini dari Sarvāstivādin muncul aliran yang disebut Mahīśāsaka. Dalam abad ketiga ini dari Mahīśāsaka muncul aliran lain yang disebut Dharmaguptaka. Aliran ini menyatakan bahwa Moggallāna adalah guru utama mereka.

Menurut Sariputrapariprccha dari Mahasanghika:

Aliran Sarvāstivāda kemudian memunculkan aliran Mahīśāsaka. Mu-qian-luo you-po-ti-she (Moggallana-upatissa) memulai aliran Dharmaguptaka…

Menurut Bhikkhu Sujato, Moggallana atau Moggallana-upatissa ini tak lain adalah Moggaliputta Tissa, sesepuh dalam aliran Vibhajjhavada yang memimpin Konsili Ketiga pada masa Raja Asoka. Setelah Konsili selesai, Moggaliputta Tissa mengirimkan berbagai misi Dhammaduta ke luar India. Salah satunya adalah Bhikkhu Yonaka Dhammarakkhita (Dhammarakkhita orang Yunani) yang memimpin misi penyebaran Dhamma ke Aparantaka, daerah India yang saat itu banyak ditinggali orang Yunani sejak penyerangan Alexander Agung ke India. Di sana ia mengajarkan Aggikkhandopama Sutta dan menyebabkan 37.000 orang menembus Dhamma dan 1.000 orang laki-laki dan perempuan masuk Sangha.

Dalam teks Dharmaguptaka yang diterjemahkan ke bahasa Mandarin, Dhammarakkhita diterjemahkan sebagai Dharmagupta. Ini juga dikuatkan oleh penemuan manuskrip kuno dari aliran ini di Gandhara. Oleh sebab itu, aliran Dharmaguptaka merupakan saudara jauh aliran Theravada saat ini yang terpisahkan oleh perbedaan geografis.

Beberapa ajaran aliran Dharmaguptaka antara lain:

Beberapa ajaran ini tidak bertentangan dengan ajaran Vibhajjavada/Theravada, yaitu poin pertama s/d keempat. Poin kelima jelas tidak bersesuaian dengan pandangan Theravada, sedangkan poin terakhir hanya akan jelas bagi mereka yang mempelajari Abhidhamma bahwa ini bertentangan dengan penafsiran Theravada yang menganggap bahwa tubuh seorang Arahat dapat menjadi objek kekotoran bagi orang lain; tetapi mungkin ini dimaksudkan lebih sebagai suatu koreksi atas poin pertama dari “5 poin Mahadeva” dari Mahasanghika.

Secara Vinaya, Dharmaguptaka memiliki aturan Vinaya yang hampir sama dengan Vinaya Theravada, kecuali penambahan 26 aturan tambahan (sekhiya) yang mengatur perilaku di sekitar stupa. Vinaya Dharmaguptaka diterjemahkan ke bahasa Mandarin pada abad ke-5 M dan kemudian dipakai oleh aliran Mahayana di Cina, Taiwan, dan Korea saat ini. [Namun bhikkhu Mahayana Cina juga menjalankan Bodhisattva Sila sehingga jumlah Vinaya yang dijalankannya jauh lebih banyak daripada Vinaya Theravada]

Dharmaguptaka juga memiliki kumpulan sutra (Agama) yang hampir sama dengan kumpulan sutta Pali (sejauh penelitian yang telah dilakukan), di antaranya Dirgha Agama yang terdapat dalam terjemahan Mandarin yang isinya lebih mendekati isi Digha Nikaya Pali daripada Dirgha Agama aliran lainnya.

Sedangkan dalam hal Abhidharma, satu-satunya peninggalan Dharmaguptaka adalah Sariputra-Abhidharma yang terdapat dalam terjemahan Mandarin dan penggalan manuskrip kunonya yang ditemukan di Bamiyan, Afghanistan. Menurut Frauwallner yang meneliti teks Abhidharma dari berbagai aliran: “Sementara terutama berdasarkan suatu bahan kuno yang diturunkan, bahkan ini diatur dalam cara yang berbeda seperti yang dibandingkan dengan aliran-aliran lain yang telah kita bahas [Mahāvihāravāsin and Sarvāstivāda]. Ini [Abhidharma Dharmaguptaka] mengandung sedikit dalam cara inovasi atau evolusi ajaran.”

Dharmaguptaka berkembang pada abad pertama M di India barat laut dengan Gandhara sebagai pusatnya. Mereka menggunakan bahasa Gandhari sebagai bahasa kanonik yang digunakan dalam literatur mereka. Pada sekitar abad ke-3 M Dharmaguptaka mengalami kemunduran di India karena perkembangan Sarvastivada yang mendapat dukungan kerajaan Kusana. Namun karena berkembangnya jalur perdagangan dari Aparantaka ke Iran dan Oddiyana (lembah Suvastu di utara Gandhara), Dharmaguptaka menyebar ke Persia dan mengikuti jalur sutra mereka masuk ke Asia Tengah dan Cina. Ini diikuti oleh aliran Mahisasaka dan Kasyapiya yang juga berkembang di Asia Tengah. Pada abad ke-7 M Xuanzang dan Yijing mencatat bahwa Dharmaguptaka hanya dijumpai di Oddiyana dan Asia Tengah, tetapi tidak ditemukan di India.

Pada pertengahan abad ke-3 M Dharmaguptaka masuk ke Cina setelah diadakan penahbisan bhikkhu Cina dengan bantuan para bhikkhu dari India. Pada abad ke-7 mayoritas bhikkhu Cina menggunakan Vinaya Dharmaguptaka, namun Vinaya Sarvastivada dan Mahasanghika masih digunakan. Pada abad ke-8 M atas perintah kaisar Tang saat itu seluruh Sangha Cina hanya menggunakan Vinaya Dharmaguptaka sampai saat ini.

Pudgalavada

Pudgalavada (Pali: Puggalavada = ajaran tentang diri/pribadi) adalah aliran yang mengajarkan bahwa ada “diri/pribadi” (pudgala/puggala) di luar pancakkhanda (lima kelompok unsur kehidupan) yang berperan dalam proses karma dan kelahiran kembali serta mencapai Nibbana. Aliran ini mendapat kecaman dari aliran-aliran Sthaviravada lainnya, terutama Vibhajjavada/Theravada dan Sarvastivada, yang menyatakan bahwa “diri/pribadi” hanyalah sebutan konvensional untuk pancakkhanda, di luar ini tidak ada suatu “diri/pribadi” sejati.

Pudgalavada adalah nama kelompok yang terdiri dari 5 aliran utama, yaitu Vatsiputriya yang kemudian menurunkan 4 aliran lainnya (Dharmottariya, Bhadrayaniya, Sammitiya dan Shannagarika). Vatsiputriya muncul sekitar 200 tahun setelah Parinibbana Sang Buddha. Menurut peziarah Cina bernama Xuan Zang yang berkelana di India pada abad ke-2 M, aliran Sammatiya merupakan aliran Shravakayana (sebutan bagi Buddhisme awal yang bercita-cita pada Kearahatan) yang terbesar di India pada saat ini dengan jumlah populasi setara dengan jumlah seluruh populasi semua aliran Shravakayana dan jumlah populasi aliran Mahayana saat itu setara dengan jumlah populasi aliran Shravakayana seluruhnya. Jadi, Sammatiya saat itu mewakili seperempat populasi Buddhis pada masa itu. Vatsiputriya dan cabang dari Sammatiya bertahan di India sampai abad ke-10 M, tetapi karena Pudgalavada tidak menyebar ke luar India, ketika Buddhisme lenyap di India aliran ini pun ikut punah.

Tidak banyak teks dari aliran ini yang diwariskan kepada kita, hanya sedikit dalam terjemahan Mandarin dan Tibet dan sumber dari aliran lain yang menyanggah ajaran mereka. Namun demikian, karena aliran ini sangat banyak mendapatkan pengikut pada masa India kuno, kita akan membahas sedikit tentang ajarannnya:

1. Pudgalavada mengajatkan bahwa pudgala/puggala adalah diri sejati yang “tidak terungkapkan” karena tidak dapat diidentifikasi dengan lima kelompok unsur kehidupan dan tidak dapat ditemukan terpisah dari kelimanya: Puggala dan pancakkhanda adalah bukan sama dan bukan tidak sama. Puggala inilah yang melakukan perbuatan, menerima akibat perbuatan dan mencapai Nibbana.

2. Seperti kebanyakan aliran Buddhisme awal lainnya, Pudgalavada mengajarkan Nibbana adalah sesuatu yang nyata, yang berbeda dengan samsara (namun tidak terpisahkan dari samsara), dan tidak terhancurkan. Oleh sebab itu, Nibbana bukanlah sesuatu yang dibuat menjadi ada ketika mencapai Pencerahan, tetapi realitas kekal yang sudah ada yang dicapai saat pencerahan. Karena pudgala tidak terdefinisikan maka Nibbana juga tidak terdefinisikan (bukan ada juga bukan tidak ada). Jadi pudgala dan Nibbana bukan sama juga bukan tidak sama.

3. Fenomena, menurut aliran ini, dibedakan menjadi 5 kelompok: fenomena masa lampau, fenomena masa sekarang, fenomena masa depan, Nibbana (yang tidak berkondisi), dan pudgala (yang bukan sama dan bukan tidak sama dengan fenomena berkondisi).

4. Sementara aliran-aliran lainnya mengajarkan terdapat 2 jenis kebenaran: kebenaran relatif/konvensional (sammuti sacca/samvriti satya) dan kebenaran mutlak/tertinggi (paramattha sacca/paramartha satya) di mana istilah “diri”, “pribadi”, “aku”, “milikku” semuanya termasuk kebenaran relatif dan dalam kebenaran mutlak tidak ada “diri”, “pribadi”, “aku”, “milikku”, melainkan hanya pancakkhanda; Puggalavada mengajarkan ada 3 jenis kebenaran: kebenaran tertinggi, kebenaran karakteristik, dan kebenaran praktis:

Dalam hal ini, pudgala mencakup ketiga kebenaran tersebut karena inilah yang mengalami akhir dukkha, yang mengalami dukkha sebagai akibat dari keinginan dan mengikuti jalan menuju lenyapnya dukkha, serta yang melakukan ucapan dan tindakan sesuai norma kebiasaan masyarakat dan pelatihan monastik.

Buddhisme Mahayana

Mahayana muncul pada sekitar 500 tahun setelah wafatnya Sang Buddha sebagai gerakan yang berusaha mereformasi tujuan ajaran Buddha awal dari pencapaian Kearahantaan yang dianggap individualis menjadi pencapaian Kebuddhaan melalui jalan Bodhisattva sebelum akhirnya menjadi aliran tersendiri, sedangkan Vajrayana adalah tradisi Buddhis yang muncul belakangan (sekitar abad ke-8 M) yang berusaha mencapai tujuan kehidupan spiritual dengan menekankan pada pendekatan ritual (tantra) yang diturunkan secara rahasia (esoterik) dari guru ke murid.

Gambar 10. Peta penyebaran Buddhisme pada masa kuno

Buddhisme Modern

Pada masa modern Buddhisme terus menyebar ke seluruh dunia setelah kolonisasi India oleh Inggris yang menyebabkan ketertarikan orang-orang Barat akan agama-agama Dharma (Hindu, Buddha, Jain, dst).