Ini adalah dokumen versi lama!
Daftar isi
=== 17.7 Mādhyamaka === Aliran Mahāyāna utama lainnya adalah Mādhyamaka. Mereka muncul lebih awal daripada Yogacāra, tetapi di sini saya memperlakukan mereka belakangan, karena satu-satunya karya mereka yang saya memiliki akses padanya lebih belakangan daripada karya-karya Yogacāra yang dibahas di atas. Sementara Yogacāra lebih baik dikenal sebagai suatu aliran kontemplatif, Mādhyamaka terkemuka atas dialektika yang rumit dan kering. Namun, mereka tidak mengabaikan meditasi; Bhāvanākrama oleh Kamalaśīla adalah sebuah panduan meditasi dari aliran Mādhyamaka dari Śantarakṣita yang tampaknya telah disiapkan untuk memperkenalkan meditasi kepada orang-orang yang baru diubah. Karya ini dipelajari dalam sebuah esai oleh Yuichi Kajiyama berjudul “Later Mādhyamakas”. == 17.7.1 Bhāvanākrama == Jalan umum dijelaskan dengan cara yang biasa sebagai pertama-tama menguasai aspek kitab suci dan teoritis, kemudian mengembangkan samādhi yang memuncak pada jhāna dan pencapaian tanpa bentuk sebelum menjalankan vipassanā. Seperti dalam catatan Yogacāra ia menyatakan bahwa hanya pada tingkatan vipassanā terdapat perbedaan pokok dari aliran-aliran awal. Apa yang sangat luar biasa adalah bahwa ajaran vipassanā diturunkan dari evolusi doktrinal dari aliran-aliran sepanjang sejarah. Seseorang bermeditasi pada realitas tertinggi seperti yang dipahami oleh masing-masing aliran utama, kemudian menyadari bahwa tingkatan realitas ini adalah kosong, dan berlanjut pada perspektif yang lebih tinggi, yang lebih halus, yang memuncak, tentu saja, pada kekosongan tertinggi dari Mādhyamaka. Dengan demikian kesadaran individual seseorang berevolusi mencerminkan kesadaran kolektif. Bahkan lebih luar biasa lagi, tahapan evolusi ini jelas sejajar dengan empat satipaṭṭhāna, walaupun satipaṭṭhāna tidak dilibatkan. Di sini saya akan mengutip dari rangkuman Kajiyama.))
Dalam bagian-bagian yang terdahulu yang diambil dari Bhāvanākrama oleh Kamalaśīla, empat tahap dapat dibedakan dengan sederhana:
1) Tahap persiapan di mana realitas-realitas eksternal yang diakui dalam sistem Sarvāstivāda dan Sautrāntika disajikan sebagai objek kritik.
2) Tahap di mana hanya pikiran dengan gambaran-gambaran yang terwujud diakui – sistem dari aliran Satyākāravāda-Yogacāra membentuk objek meditasi.
3) Tahap meditasi di mana objek-objek kesadaran serta dualitas subjek dan objek dikutuk sebagai tidak nyata dan di mana pengetahuan tanpa dualitas dinyatakan sebagai nyata – ini adalah sudut pandang Alīkākāravāda-yogacārin.
Tahap pertama melihat dhamma-dhamma sebagai entitas yang pokok, yang sejajar dengan perenungan terhadap tubuh. Tahap kedua menerima “ciri-ciri khas” atau objek-objek dari pikiran, yang sejajar dengan perenungan terhadap perasaan, yang merupakan sifat yang paling terkemuka dari pikiran. Tahap ketiga hanya mengakui kesadaran itu sendiri, yang bersesuaian dengan perenungan terhadap pikiran. Dan yang terakhir melihat hanya kekosongan murni, yang didefinisikan sebagai “kemunculan bergantungan”, seperti halnya perenungan terhadap dhamma memusatkan perhatian bukan pada melihat dhamma-dhamma di dalam dan dari dirinya sendiri, tetapi sebagai suatu matriks dari kondisi-kondisi. Kesamaannya tidak dapat disanggah dan penting. Urutan empat satipaṭṭhāna mewujudkan suatu kemajuan alami, dari yang kasar menuju yang halus, yang dapat dilihat dalam pengalaman. Seperti halnya banyak ajaran Buddhis lainnya ini suatu pola yang sederhana tetapi sangat mendalam yang dicerminkan dalam banyak perwujudan. Dengan demikian, bagi mereka yang mendalami ajaran-ajaran itu terdapat suatu kecenderungan, apakah disadari atau tidak, untuk mengasimilasikan prinsip-prinsip itu, mengabstrakkannya, dan menerapkannya dalam konteks yang sangat jauh dari yang aslinya. Ini membantu untuk melihat kelanjutan dan hubungan, tetapi ia membutuhkan suatu penegasan-kembali dari konteks aslinya jika kita tidak dipotong terpaut dari tambatan kita. == 17.7.2 Meditasi pada Kekosongan == Untuk menyelidiki peran perhatian dalam Buddhisme yang belakangan, yang terutama diturunkan dari Mādhyamaka, saya akan bergantung pada karya cendekiawan modern Meditation on Emptiness oleh Jeffrey Hopkins. Ini didasarkan pada berbagai sumber, termasuk teks-teks Buddhis , risalah-risalah , dan ajaran-ajaran oral oleh para bhikkhu masa kini. Di sini, perhatian diperlakukan secara eksklusif dengan cara samatha. Penjelasan dasar perhatian memperluas definisi Asaṅga yang diberikan di atas.4) Tahap di mana bahkan pengetahuan non-dual atau pencerahan kesadaran dinyatakan sebagai kosong dari sifat intrinsik. Tahap yang terakhir ini adalah yang tertinggi yang dinyatakan oleh Mādhyamaka.
Perhatian adalah ketidak-lupaan sehubungan dengan suatu fenomena yang dikenali; ia memiliki fungsi menyebabkan ketidak-bingungan. Perhatian memiliki tiga ciri khas:
1) Ciri khas objektif: suatu objek yang dikenal. Perhatian tidak dapat dihasilkan dari suatu objek yang tidak diketahui.
2) Ciri khas subjektif: ketidak-lupaan dalam pengamatan terhadap objek itu. Walaupun seseorang mungkin menjadi akrab dengan objek itu sebelumnya, jika ia tidak segera muncul sebagai suatu objek pikiran, perhatian tidak dapat muncul.
3) Ciri fungsional: menyebabkan ketidak-lupaan. Karena kemantapan pikiran meningkat bergantung pada perhatian, ketidak-bingungan ditetapkan sebagai fungsi perhatian.
Tabel 17.2: Kecacatan dan Obat Penyembuh dari Samatha… semua pencapaian samādhi dalam Sūtra dan tantra dicapai melalui kekuatan perhatian.((Hopkins, hal. 247.))
| Kecacatan | Obat Penyembuh |
|---|---|
| Kemalasan (kausīdya) | Keyakinan (śraddhā), kemauan (chanda), upaya (vyāyāma), ketenangan (prasrabdhi) |
| Melupakan ajaran-ajaran (avavādasammoṣa) | Perhatian (smṛti) |
| Kelambanan (laya) dan kegelisahan (auddhatya) | Pemahaman jernih (samprajanya) |
| Kurangnya ketekunan (anabhisaṁskāra) | Ketekunan (abhisaṁskāra) |
| Ketekunan (berlebihan) (abhisaṁskara) | Keseimbangan (upekṣā) |
Yang paling menarik adalah empat istilah pada landasan dari sembilan aspek samatha. Mereka memuncak pada upasthāpanā (= upaṭṭhāna), suku kata kedua dari kata majemuk satipaṭṭhāna (smṛtyupasthāna). Tiga istilah yang pertama semuanya berasal dari akar kata yang sama, dan telah diturunkan dari upasthāna.343) Sedikit dapat disimpulkan dari awalan-awalan yang digunakan untuk membedakan istilah-istilah ini. Penekanannya adalah pada makna akar dari “pendirian, kemantapan, kekokohan (standing, stability, steadiness)”, tiga kata bahasa Inggris juga terutama diturunkan dari akar kata Indo-Arya √sthā. “Penetapan”, atau “penegakan”, atau “penempatan” pikiran pada objek, secara mantap, berulang-ulang, terus-menerus, adalah jalan menuju penyatuan.
Penutup
Saya ingin mengakhiri dengan merangkumkan beberapa wilayah penting di mana GIST dan sejarah tentang perhatian saling tumpang tindih.
Hal pertama untuk diperhatikan adalah nilai melihat kitab-kitab Buddhis dalam konteks historis dan kulturalnya. Dalam beberapa kasus ini membawa kita mengamankan kesimpulan-kesimpulan, yang tidak dapat kita capai bergantung pada sumber-sumber Buddhis saja. Suatu contoh bagus dari hal ini adalah analisis tentang ekāyana, di mana sumber-sumber Pali dan Mandarin tampaknya tidak yakin atas maknanya, tetapi konteks Upaniṣad sangat membantu pengungkapan maknanya.
Kasus ini juga menegaskan kembali perlunya untuk menyelidiki Saṁyutta sebagai sumber utama. Dari Satipaṭṭhana Sutta itu sendiri kita tidak memiliki gagasan bahwa ungkapan ekāyana memiliki hubungan Brahmanis apa pun, tetapi Saṁyutta jelas menyatakan hal ini.
Studi kita juga menekankan nilai penting yang krusial dari suatu pendekatan yang menyeluruh untuk mempelajari Dhamma. Kita tidak dapat memperlakukan anggota-anggota tubuh individual seakan-akan mereka tidak memiliki hubungan dengan organisme yang lebih besar. Pola yang menyeluruh itu pasti berasal dari empat kebenaran mulia, dan kategori-kategori dhamma yang kebanyakan secara langsung diturunkan dari empat kebenaran mulia. Studi yang serius sepanjang baris demikian tidak dapat dihindari akan berakhir pada Saṁyutta sebelum terlalu lama, karena inilah di mana kebanyakan inti ajaran-ajaran ditemukan. Dengan demikian kita telah memperlakukan satipaṭṭhāna, bukan sebagai “satu-satunya jalan”, tetapi sebagai faktor ketujuh dari jalan mulia berunsur delapan. Satipaṭṭhāna Sutta tidak lebih – dan tidak kurang – daripada sebuah penguraian dari tahapan sang jalan ini.
Sementara sentralitas ajaran dari Saṁyutta pasti mendorong ia sendiri terhadap siswanya, kita juga membuat pernyataan yang lebih radikal, yang mengikuti Yin Shun, bahwa Saṁyutta juga mengandung lapisan yang tertua secara historis dari kitab-kitab Buddhis, dan bahkan menyatakan bahwa kumpulan ini telah ada selama masa kehidupan Sang Buddha, dan merupakan karya utama yang disusun pada Konsili Pertama. Ini tidak berarti bahwa segala sesuatu dalam Saṁyutta adalah bersifat awal dan segala yang lain adalah belakangan dan tidak otentik. Ini hanyalah berarti bahwa bahan saṁyutta mungkin, rata-rata, bersifat awal, dan penambahan terutama dibatasi pada pengulangan editorial, dan seterusnya, alih-alih perluasan ajaran. Namun demikian, kita telah mencatat beberapa contoh di mana Saṁyutta menunjukkan sedikit pengaruh sektarian.
Pendekatan yang menyeluruh ini juga menegaskan kembali perlunya studi-studi perbandingan. Ketika kita mengalih perhatian dari perbedaan-perbedaan sektarian yang lebih jelas dan melihat lebih dekat pada ajaran-ajaran utama, kesamaan-kesamaan antara tradisi-tradisi adalah menonjol. Kita kebanyakan berhubungan dengan sumber-sumber Pali dan Mandarin, karena inilah di mana kebanyakan kitab-kitab awal ditemukan. Namun, kanon , walaupun tidak memiliki teks-teks sebenarnya, masih didasarkan pada sūtra-sūtra Āgama, yang dianggap sebagai kanonik dalam tradisi itu. Agak memalukan bahwa mereka yang terinspirasi oleh tradisi sebagian besar tetap tidak menyadari dan tidak menghargai sumber-sumber historis di mana ajaran-ajaran dan praktik mereka terutama berasal.
Kita telah menggunakan apresiasi kita terhadap peran utama Saṁyutta untuk menilai kembali Satipaṭṭhāna Sutta. Suatu penyelidikan sepintas lalu dari berbagai versi menunjukkan bahwa terdapat suatu masalah nyata yang harus diselesaikan. Sementara kita dapat dengan pasti berjalan pada suatu jalan panjang dengan studi perbandingan yang langsung dari versi-versi yang ada, pada beberapa poin hubungan saṁyutta memberikan bantuan yang penting. Dengan demikian, dalam memutuskan apakah rumusan pelengkap satipaṭṭhāna bersifat standar dalam Sarvāstivāda seperti dalam Theravāda, Sutta-sutta Satipaṭṭhāna tidak bermanfaat, dan kuncinya hanya disediakan oleh sedikit catatan kaki dalam terjemahan Mandarin dari Saṁyutta. Lagi-lagi, adalah Saṁyutta yang menegaskan perincian awal dari perenungan terhadap dhamma.
Sementara menekankan pentingnya lingkungan pra-Buddhis, kita juga mengakui pentingnya mempertimbangkan sumber-sumber yang belakangan. Sumber-sumber pra-Buddhis mengatakan pada kita tentang para pendengar Sang Buddha, bahasanya, jenis-jenis masalah dan gagasan-gagasan yang ia sampaikan. Tetapi kita tidak dapat melupakan bahwa kenyataan bahwa Sutta-sutta awal ada sama sekali disebabkan oleh upaya-upaya dari aliran-aliran; dan gagasan-gagasan dan agenda-agenda aliran-aliran hampir tidak dapat diharapkan tidak meninggalkan jejak sama sekali pada kitab-kitab suci. Dalam beberapa kasus ini hanyalah gema dari teknologi dan bahasa pada masa-masa itu; dalam kasus lain kita menemukan perkembangan ajaran yang penting.
Adalah penambahan yang belakangan dalam Satipaṭṭhāna Sutta – khususnya, pengulangan vipassanā dan penambahan dari kelompok-kelompok unsur kehidupan, alat indera, dan kebenaran-kebenaran mulia – yang paling ditekankan dalam karya-karya yang belakangan, hampir pada poin mengabaikan bahan otentiknya. Namun demikian, kita berulang kali menemukan, sepanjang aliran-aliran, bahwa aspek penting satipaṭṭhāna diingat dan dijelaskan secara akurat. Dengan demikian kita tidak dapat setuju sepenuhnya dengan para tradisionalis, yang menyatakan bahwa tradisi komentar dari aliran mereka sendiri telah membungkus semuanya, ataupun dengan para pembaharu modernis yang radikal, yang berpendapat bahwa tradisi-tradisi hanyalah sekumpulan kesalahan, yang lebih baik dibuang. Alih-alih, suatu penilaian yang hati-hati atas tradisi-tradisi dari sudut pandang Sutta-sutta menunjukkan mereka banyak mengajarkan kita tentang Sutta-sutta, dan bahkan ketika mereka salah mereka menunjukkan bagaimana komunitas-komunitas hidup mengadaptasikan Dhamma pada situasi mereka.
Dhamma tidak pernah hidup dalam kehampaan. Perbedaan-perbedaan dalam teknik-teknik meditasi, yang terbagi persisnya sepanjang baris samatha versus vipassanā, adalah di antara masalah-masalah yang paling bersifat memecah belah dalam Buddhisme. Kita menginvestasikan banyak hal dalam meditasi kita, banyak waktu, banyak usaha, banyak rasa sakit; dan demikianlah kita melekat, lebih mendalam daripada teori semata. Perbedaan-perbedaan dalam pendekatan dan penekanan pada meditasi mengeras menjadi dogma mengenai siapa yang menjalankan “sistem” yang benar, dan penafsiran ajaran kemudian dibentuk untuk menyesuaikan, dengan suatu desakan yang melengking pada anggapan seseorang terhadap “realitas tertinggi”.
Ini menjadi demikian, suatu pendekatan pada meditasi yang menekankan keharmonisan dan sifat saling melengkapi dari samatha dan vipassanā seharusnya menjadi suatu faktor yang manjur. Kita dapat menghargai berbagai pendekatan pada meditasi tanpa memaksakan yang mana pun dari mereka sebagai yang mutlak dan cukup untuk semua orang. Dalam hal ini kita seharusnya mengikuti langkah kaki yang toleran dari Sang Buddha.
“Menunjuk pada apakah, Bhante, ‘seseorang yang berdiam dalam Dhamma’ itu?”
“Di sini, seorang bhikkhu mempelajari Dhamma - sutta, geyya, vyākaraṇa, gāthā, udāna, itivuttaka, jātaka, abbhūtadhamma, vedalla. Ia tidak menghabiskan hari-harinya dengan Dhamma yang ia pelajari itu, ia tidak mengabaikan pengasingan diri, ia mencurahkan diri pada ketenangan (samatha) dalam pikiran. Demikianlah, bhikkhu, seorang bhikkhu adalah ‘seseorang yang berdiam dalam Dhamma’.”
“Demikianlah, bhikkhu, Aku telah mengajarkan padamu seorang bhikkhu yang banyak belajar, yang banyak mengajar, yang banyak memikirkan, dan yang berdiam dalam Dhamma. Aku telah melakukan untuk kalian apa yang seharusnya dilakukan seorang Guru yang mencari kesejahteraan untuk para siswaNya demi belas kasih. Di sini, bhikkhu, terdapat kaki pepohonan, di sini terdapat gubuk-gubuk kosong. Laksanakan jhāna, bhikkhu! Janganlah lalai! Janganlah menyesalinya kelak! Inilah pengajaranKu kepada kalian.”344)
Lebih dari satu abad kemudian, studi perbandingan yang seksama yang didorong oleh Beal masih kurang. Namun, beberapa kemajuan telah dibuat. Pada tahun 1908 seorang sarjana Jepang bernama M. Anesaki menerbitkan bukunya “The Four Buddhist Āgamas in Chinese: A concordance of their parts and of the corresponding counterparts in the Pali Nikāyas”.((Anesaki))
Lamotte sangat tepat mengatakan bahwa pengelompokan aṅga bersifat rancu. Ini, bagaimanapun juga, tidak menunjukkan bahwa hal itu tidak pernah digunakan sebagai suatu pembagian nyata dari ajaran-ajaran, dengan pengecualian bahwa semua pembagian demikian akan tidak sempurna. Bagaimanapun, ini adalah masalah dalam semua sistem pengelompokan. Bahkan dalam sistem Āgama yang ada terdapat banyak kerancuan demikian; sebagai contoh Satipaṭṭhāna Sutta adalah [khotbah] menengah, yang membenarkan tempatnya dalam Majjhima; tetapi ini berhubungan satipaṭṭhāna, salah satu topik utama dari Saṁyutta; dan ia mengajarkan berdasarkan jumlah (jalan “satu” arah, “empat” satipaṭṭhāna), dan sehingga satu versi Mandarin menempatkannya dalam Ekottara. Kita akan melihat berulang kali kerancuan demikian merupakan “titik balik” , di mana sistem aṅga mulai gagal, yang menyumbangkan pada kemunculan organisasi yang lebih sistematis. Alasan paling utama untuk mempertimbangkan aṅga-aṅga sebagai hanya gaya alih-alih suatu struktur aktual adalah bahwa beberapa aṅga, khususnya tiga yang pertama, tidak muncul sebagai judul-judul kumpulan; dan karena, dari aṅga-aṅga yang merupakan judul-judul dari kumpulan-kumpulan yang ada, kitab-kitab yang mengandung judul-judul ini umumnya dianggap telah disusun lebih belakangan daripada khotbah-khotbah awal di mana daftar itu pertama kali muncul. Tetapi, lebih mungkin bahwa daftar yang paling awal mungkin lebih pendek, dan bahwa seraya kitab-kitab lain disusun nama-nama mereka ditambahkan ke dalam daftar itu. Ini adalah suatu hipotesis yang sedikit radikal daripada dalil bahwa gagasan dari suatu kumpulan kanonik pada masa Sang Buddha diciptakan dan dimasukkan secara retrospektif. Perbedaan antara daftar Pali dan Sanskrit menegaskan bahwa beberapa penambahan pasti telah dibuat, setidaknya untuk item-item tambahan dalam Sanskrit. Di sini kita akan secara singkat membahas aṅga-aṅga yang belakangan sebelum kembali pada pertimbangan yang lebih mendalam terhadap tiga yang pertama. Tidak ada dari pertalian ini yang tidak diperdebatkan. Tetapi, kita dapat mengembangkan bahwa mungkin, bahkan masuk akal, bahwa mereka menunjuk pada pengelompokan teks-teks yang khusus, di mana banyak darinya masih tersedia. Gāthā: Menunjuk terutama pada bagian awal dari Thera/Therīgāthā dan Sutta Nipāta. Thera/Therīgāthā sekarang ada hanya dalam Pali, tetapi sering ditunjuk dalam kitab-kitab aliran lain, sehingga mereka pasti memiliki versi-versi dari syair-syair yang menggembirakan ini yang sekarang dengan menyedihkan hilang, selain dari beberapa dalam Mandarin (misalnya Theragāthā 1018–1050 muncul sebagai MA 33), dan sedikit fragmen Sanskrit.((Beberapa referensi dalam Lamotte (1976), pp. 161, 162.))
Demikianlah masing-masing aliran memiliki versinya sendiri, yang hanyalah variasi pada tema yang sama. Abhiniśkramana Sūtra memasukkan beberapa pernyataan, mungkin oleh para penerjemah yang belakangan, pada beberapa dari variasi ini. Sebagai contoh, mengenai pertanyaan penting tentang seberapa jauh kuda Bodhisatta berjalan pada malam Beliau meninggalkan istana; teks itu mengatakan dua league (satu league sekitar tiga mil), Mahāsaṅghika mengatakan dua belas, tetapi Theravādin mengatakan seratus.((Beal (1985), pg. 140.))
Di sini tiga aṅga jelas menunjuk pada sekumpulan kitab yang telah terformalisasi. Dicatat kerancuan: ini adalah referensi khas pada pembelajaran formal atas Dhamma dalam khotbah-khotbah awal; pembelajaran didorong, tetapi bukan sebagai akhir itu sendiri. Bacaan-bacaan demikian, yang sangat umum, mungkin mendahului penyusunan Tipitaka di Sri Lanka, karena di sana Sangha memutuskan bahwa kitab muncul sebelum praktik.((Lihat garis waktu dalam pendahuluan Ñāṇamoli’s dalam The Path of Purification, p. xi, yang menunjuk pada Komentar Aṅguttara, i.92f.)) Mengapa demikian? Selama waktu yang lama, Ānanda, engkau telah mempelajari ajaran-ajaran, mengingatnya, membacakannya secara verbal, memeriksanya dengan pikiran, dan menembusnya dengan baik dengan pandangan. Tetapi pembicaraan demikian seperti yang berhubungan dengan pelenyapan, seperti yang mendukung kebebasan dari rintangan-rintangan batin, dan membawa pada kejijikan, memudarnya, penghentian, kedamaian, pengetahuan langsung, pencerahan, Nibbana; yaitu, pembicaraan pada keinginan hal-hal kecil, tentang kepuasan, pengasingan, menjauhkan diri dari masyarakat, membangkitkan semangat, etika, samādhi, pemahaman, pembebasan, pengetahuan dan pandangan dari pembebasan – untuk pembicaraan demikian, seorang siswa seharusnya mengikuti seorang Guru bahkan jika ia diminta untuk pergi menjauh.”
Karya-karya ini disusun pada suatu masa ketika kanon lebih kurang terorganisasi seperti sekarang, dengan menunjuk bagian-bagian demikian seperti “Saṁyutta Nikāya”, dan seterusnya, dan menggunakan istilah khusus Abhidhamma. Peṭakopadesa menyebutkan aṅga yang berunsur sembilan hanya dua kali,((Peṭakopadesa 1.7, 1.22.))
Di sini lingkaran yang berulang dari teks/penjelasan dibawa ke sebuah tingkatan yang terperinci, yang berfokus bahkan lebih halus, dari kebenaran-kebenaran menuju kelompok-kelompok unsur kehidupan menuju unsur-unsur fisik, yang menunjukkan bagaimana semua “dhamma-dhamma yang bermanfaat” ini terkandung dalam empat kebenaran mulia. Mempertimbangkan kerancuan yang meresap dari istilah “dhamma”, adalah mungkin untuk membaca istilah itu di sini menunjuk pada “kualitas-kualitas, prinsip-prinsip”, yang berarti bahwa semua latihan kontemplatif menempati pada kerangka pemahaman yang lebih luas dari empat kebenaran mulia, dan juga “ajaran-ajaran”, yang berarti bahwa semua ajaran dapat dikelompokkan dalam empat kebenaran mulia (= Saṁyutta kuno). Bagi para Buddhis awal, ini, bukan sebuah teori yang sulit dipahami, tetapi suatu pencerminan dari bagaimana ajaran-ajaran mewujudkan pada suatu tingkatan yang mendalam struktur dari realitas. Saccavibhaṅga Sutta memberikan contoh proses penguraian ini bahkan lebih eksplisit.((MN 141/MA 31/T № 32/EA 27.1/T № 1435.60.))
Ini adalah versi Theravāda. Dalam Dharmaguptaka, 37 sayap menuju pencerahan digantikan dengan dua belas aṅga.((Berdasarkan Bucknell, esai yang tidak diterbitkan.))
Sedikit setelah kejadian ini, dalam versi Pali dan Sanskrit, muncul ajaran yang terkemuka tentang rujukan agung, yang telah kita temui sebelumnya: ketika siapa pun membuat pernyataan tentang ajaran Sang Buddha, tidak peduli betapa terpelajarnya atau berwibawanya mereka, pernyataan mereka harus dibandingkan dengan Sutta-sutta dan Vinaya.((Tradisi Sanskrit, termasuk Mahāyāna dan Sarvāstivāda, biasanya menambahkan dhammatā (“cara hal-hal”) pada sutta dan vinaya, walaupun terdapat satu Sutta Mandarin yang hanya memiliki keduanya. Menariknya, Netti Theravādin juga memiliki dhammatā. Lihat Lamotte, 1983–4, pg.4.))
Kenyataan bahwa penyelidikan terhadap bagian-bagian tubuh diterima dengan suara bulat menyatakan bahwa latihan meditatif lainnya lebih mungkin penambahan alih-alih penghilangan. Jika tradisi-tradisi mewarisi suatu daftar umum dari latihan meditasi, dan beberapa setelah itu hilang, tidak ada alasan mengapa beberapa latihan ditinggalkan dibandingkan yang lain, dan oleh sebab itu tidak ada alasan mengapa terdapat suatu praktik yang mempertahankan dengan kekonsistenan yang lengkap. Atau lagi jika tidak ada inti yang sama, dan semua daftar terperinci ditemukan secara independen oleh tradisi-tradisi, tampaknya tidak ada alasan untuk ciri khas yang konsisten demikian. Masalah lain adalah bahwa beberapa dari latihan itu, khususnya dalam Smṛtyupasthāna Sūtra Sarvāstivāda, jelas ganjil dan paling baik dipahami sebagai penambahan. Walaupun tidak diragukan bersifat terkaan, cara yang paling masuk akal untuk menjelaskan baik kesamaan dan perbedaan itu adalah bahwa terdapat suatu teks akar yang sederhana, umum, yang diperinci dengan cara yang agak berbeda oleh aliran-aliran. === 9.3 Thích Nhất Hạnh === Thích Nhất Hạnh telah menerbitkan terjemahan lengkap dari semua tiga versi utama Satipaṭṭhāna Sutta dalam karyanya Transformation and Healing. Terjemahan itu, oleh dirinya dan Annabel Laity, memberikan suatu kesempatan yang tidak ternilai dan hampir unik untuk membandingkan dalam bahasa Inggris sebuah Sutta utama dalam turunannya dari tiga aliran yang berbeda. Namun terjemahan itu kadangkala melenceng terlalu jauh untuk menampung gagasan-gagasan para penerjemah. Beberapa komentar tentang teks dimasukkan, tetapi orientasi utama buku itu bersifat praktis, maka ia tidak mengejar pertanyaan tekstual secara sangat mendalam. Bacaan yang paling relevan dalam konteks kita sekarang adalah ini.))
Tampaknya Thích Nhất Hạnh mempercayai bahwa jhāna-jhāna merupakan suatu penyisipan belakangan ke dalam Buddhisme; ini akan membawa bahwa semua ratusan khotbah yang menyebutkan jhāna-jhāna dalam kanon-kanon disusun kemudian daripada teks yang sekarang. Beliau tidak memberikan bukti untuk pandangan yang luar biasa ini. Komentar beliau di sini hampir semuanya tidak tepat sasaran, hanya karena beliau mengasumsikan bahwa teks yang sekarang, Smṛtyupasthāna Sūtra Sarvāstivāda, adalah sumber awal mula dari berbagai praktik ini. Namun mereka semua ditemukan di tempat lain dalam kanon-kanon dan teks yang sekarang mungkin penyusunan yang agak belakangan. Penghubungan beliau atas persepsi cahaya dengan Tanah Suci dibuat-buat; persepsi cahaya adalah obat standar untuk kemalasan dan kelambanan, dan secara pasti asal-usul Tanah Murni harus dicari alih-alih di antara bacaan yang bersifat ketaatan dalam khotbah-khotbah awal, khususnya praktik “perenungan terhadap Buddha” (buddhānussati). Lagi, komentar beliau tentang “meditasi terhadap tanda” tidak tepat sasaran, karena beliau tampaknya telah disesatkan oleh terjemahan ke dalam pemikiran bahwa praktik yang digambarkan adalah visualisasi, sedangkan perbandingan dengan versi Pali menunjukkan bahwa ini kenyataannya menunjuk pada peninjauan kembali atas jhāna.((AN 5.28.Perbedaan lain dalam versi kedua [Sarvāstivāda] adalah ajaran-ajaran tentang jenis konsentrasi yang memberikan kemunculan pada kegembiraan dan kebahagiaan, yang setara dengan jhāna pertama, dan sebuah konsentrasi yang meninggalkan kegembiraan tetapi mempertahankan kebahagiaan, yang setara dengan jhāna kedua, serta meditasi tentang kemurnian, cahaya murni, dan tanda-tanda. Semua ini adalah bukti bahwa praktik empat jhāna telah mulai menyusupi Sūtra Piṭaka, walaupun memiliki ciri-ciri tersendiri. Pada masa versi ketiga [Mahāsaṅghika], praktik jhāna disebutkan secara terbuka, dengan nama. Meditasi yang mengamati cahaya murni dapat dilihat sebagai yang menyatakan langkah pertama dalam pembentukan Buddhisme Tanah Murni, dan meditasi terhadap tanda akan dikembangkan dengan penggunaan kasiṇa, suatu gambaran simbolis yang divisualisasi sebagai suatu titik konsentrasi.
Dalam mempertahankan spekulasi, hipotesis yang berani adalah penting untuk kemajuan dari pengetahuan; tetapi mereka harus dilembutkan dengan suatu evaluasi yang berhati-hati terhadap bukti. Pengamatan Gethin bahwa ānāpānasati adalah satipaṭṭhāna adalah benar; tetapi kesalahan Schmithausen dapat dipahami, karena ia mungkin telah dipengaruhi oleh teks Sarvāstivādin seperti Abhidharmakośa, yang, seperti yang akan kita lihat, benar-benar memperlakukan ānāpānasati sebagai suatu pendahuluan pada satipaṭṭhāna. Artikel Schmithausen dalam bahasa Jerman, di mana tidak saya ketahui, tetapi saya telah dengan baik disediakan dengan suatu ringkasan oleh Roderick Bucknell. Saya bergantung pada ini untuk pernyataan di bawah, dan berharap bahwa saya tidak salah menafsirkan sang penulis. === 9.7 Schmithausen === Schmithausen mempertimbangkan tiga versi yang masih ada dari Satipaṭṭhāna Sutta. Ia tidak mengambil teks-teks Abhidhamma; jika ia melakukan demikian, ia mungkin mencapai kesimpulan yang berbeda. Ia mencatat, dengan tepat, bahwa bagian dalam Satipaṭṭhāna Sutta yang berhubungan dengan perasaan dan pikiran serupa dalam semua versi (seperti yang sebenarnya mereka ada dalam Abhidhamma juga). Ia lalu mencatat bahwa mereka berbagi suatu susunan kata-kata yang sama, sebagai contoh: “Ketika merasakan suatu perasaan yang menyenangkan, ia memahami: ‘Aku merasakan suatu perasaan’.” Ia menganggap bahwa bagian-bagian lain dalam versi awal mula memiliki suatu struktur yang serupa. Bagian tertentu dalam teks Pali memang berbagi format yang sama. Dalam perenungan postur tubuh, sebagai contoh, ia mengatakan: “Ketika berjalan, ia memahami ‘Saya sedang berjalan’; ketika berdiri ia memahami ‘Saya sedang berdiri’…” dan seterusnya. Tetapi bacaan-bacaan lain, khususnya beberapa dari latihan dalam perenungan tubuh, diungkapkan dengan cara yang berbeda; sebagai contoh, tidak seperti bagian-bagian tentang perasaan dan pikiran, mereka digambarkan dengan perumpamaan-perumpamaan. Schmithausen mempercayai bahwa ini tidak mungkin bersifat otentik. Namun, kenyataan bahwa latihan-latihan tidak dengan konsisten memiliki perumpamaan-perumpamaan akan, paling banyak, menyatakan bahwa perumpamaan-perumpamaan ditambahkan; sebagai tambahan, seseorang dapat berargumen bahwa perumpamaan-perumpamaan adalah sesuai untuk meditasi-meditasi ini, yang memiliki suatu aspek visualisasi. Poin lain adalah bahwa bagian tentang bagian-bagian tubuh dan unsur-unsur, walaupun tidak secara formal sama dengan perenungan perasaan dan pikiran, berhubungan baik dengan rumusan dasar satipaṭṭhāna. Seseorang disarankan untuk “meninjau tubuh ini juga…” (imam’eva kāyaṁ… paccavekkhati). Penekanan imam’eva kāyaṁ (“tubuh ini juga”) mengingatkan pada pengulangan kāye kāya-… (“sebuah tubuh di dalam tubuh…”); dan okular paccavekkhati (“meninjau”) serupa dengan -anupassī (“merenungkan”). Di tempat lain perenungan bagian-bagian tubuh diringkas seperti ini: “Demikianlah ia berdiam merenungkan keburukan dalam tubuh ini” (iti imasmiṁ kāye asubhānupassī viharati).((AN 10.60/Tibetan (edisi Peking, cetakan ulang Otani, 1956) 754.))
Sang Buddha suatu ketika ditanya oleh seorang brahmana mengapa mantra-mantra (Veda) kadangkala mudah diingat dan kadangkala tidak.((AN 5.193, SN 46.55.))
Upāsana mencakup sejangkauan luas kesadaran spiritual. Velkar mengatakan ini adalah bersifat meditatif, simbolis (melibatkan simbolisme yang rumit), dan analitis (dalam membuat pembedaan filosofis). Ini mengambil sejumlah besar objek yang berbeda-beda, yang konkrit dan abstrak: Tuhan, “om”, matahari, bulan, kilat, angin, ruang, api, air, napas, “Itu sebagai Yang Agung”, “Itu sebagai Pikiran”, dan seterusnya. Crangle membuat saran yang penuh intrik bahwa upāsana berhubungan dengan istilah Buddhis satipaṭṭhāna, khususnya unsur terakhir dari kata majemuk ini, upaṭṭhāna.((Crangle, pg. 198.))
Kedua konteks mengkritik anggapan diri dalam keadaan samādhi ini; bagi Buddhis, tentu saja, tidak ada Diri Sejati, sedangkan dalam yoga Diri Sejati dipahami hanya dengan pengembangan kesadaran yang lebih mendalam. Yoga Sūtra melanjutkan berbicara tentang bentuk samādhi yang lain (lebih tinggi), yang disebut asamprajñāta (walaupun lagi istilah itu diberikan dalam teks yang sangat pendek itu sendiri). Sūtra 18 menjelaskan ini sebagai “didahului dengan praktik dalam pelepasan, dan hanya memiliki sisa aktivitas (saṁskāraśeṣa)”.((YS 1.18.))
Definisi dari “ke-aku-an” tidak jelas (“menganggap dua kekuatan dari yang melihat dan yang dilihat sebagai satu diri yang tunggal”); jelasnya ini adalah kesalahan mencari suatu diri yang menyatu dalam keberagaman pengalaman. Keinginan dan kebencian didefinisikan seperti halnya dalam Buddhisme: dorongan yang melekat (anusaya) terhadap kesenangan dan kesakitan. Semua “fluktuasi” ini harus diatasi dengan jhāna. Hasil dari perbuatan (karma) yang berakar dalam kekotoran (kleśamūla) dialami dalam kelahiran kembali yang menyenangkan atau menyakitkan, berdasarkan apakah sebabnya adalah baik atau buruk. Tetapi bagi yang memahami, ini semua adalah penderitaan. Setengah jalan dari bab itu adalah “yoga berfaktor delapan” yang terkenal yang dibuat pengantarnya, yang jelas dicontoh dari jalan mulia berunsur delapan Buddhis. Suatu yoga yang berunsur enam ditemukan dalam Maitrī Upaniṣad yang terpengaruh Buddhis: pengendalian napas, pengendalian indera (pratyāhāra), jhāna, mengingat (dhāraṇa), sebab (tarka), samādhi.((Maitrī 6.18.))
Kisah Mūlasarvāstivāda yang tersedia dalam bahasa Sanskrit menegaskan bahwa Bodhisatta berlatih perhatian selama masa perjuanganNya.((Gnoli, pg. 103.))
Di sini perasaan yang lembut, relaks, masuk akal berdiri dengan sangat berbeda dengan kekuatan laksana baja dari usahaNya yang sebelumnya. Ia kemudian memutuskan bahwa Ia tidak dapat mencapai jhāna selagi sangat kurus dan oleh sebab itu harus mengambil beberapa makanan; kita telah melihat bahwa ketergantungan pikiran terhadap makanan, dan karenanya akibat-akibat yang mengganggu dari berpuasa pada keadaan pikiran seseorang, adalah suatu gagasan Upaniṣad.((CU 6.7.))
Rumusan ini tidak secara eksplisit memperlakukan perhatian sebagai meditasi. Ini kurang berkaitan dengan satipaṭṭhāna seperti demikian alih-alih perhatian biasa. Seperti yang telah saya tunjukkan di tempat lain, istilah nepakka, “pengendalian diri”, di sini menyatakan pengendalian indera, bukan kebijaksanaan (seperti yang disebutkan komentar.((Sepasang Utusan Cepat, Lampiran A.10.))
Tidak sepenuhnya jelas apa yang dimaksudkan ini. Mungkin tiga istilah pertama yang misterius itu menunjuk pada latihan, di mana akan kita jumpai belakangan, tentang melihat yang indah dalam yang jelek, yang jelek dalam yang indah, dan menghindari keduanya melalui keseimbangan batin. Kita telah menjadi terbiasa dengan penyamaan perhatian = vipassanā yang muncul sehingga shock menemukan kata “perhatian” hampir tidak muncul dalam kumpulan vipassanā utama. Kenyataannya, ia tidak pernah muncul dalam Khandha-, Saḷāyatana-, atau Nidāna-saṁyutta dalam pengertian langsung merenungkan ketidakkekalan, dan seterusnya. Dalam beberapa kesempatan ia muncul, ia muncul demikian dalam konteks sekunder, khususnya dalam Saḷāyatana-saṁyutta dalam peranannya membantu pengendalian indera. Fungsi utama pengendalian indera adalah untuk mengurangi nafsu indera, sehingga ini harus dipahami terletak pada sisi samatha. Di pihak lain, “perhatian” muncul secara teratur dalam konteks samatha yang demikian langsung sebagai rumusan jhāna, penjelasan kediaman luhur dan enam perenungan, ānāpānasati, “penegakan perhatian” untuk meninggalkan rintangan-rintangan, dan seterusnya. === 11.3 Empat Penegakan Perhatian === Lapisan kerumitan yang berikutnya menggambarkan satipaṭṭhāna sebagai berunsur empat. Dalam menjaga perspektif pragmatis dan relatif dari sutta-sutta, ini bukan suatu definisi dari perhatian tetapi suatu cara bagaimana berlatih. Rumusan-rumusan standar memiliki aspek objektif – apa yang dimeditasikan – dan aspek subjektif – bagaimana mendekati latihan itu. Saya akan membahas aspek objektif pertama kali. Semua tradisi sepaham dalam mendaftarkan empat objek dasar meditasi satipaṭṭhāna: tubuh, perasaan, pikiran, dan dhamma. Anehnya, empat hal ini jarang dijelaskan secara terperinci. Hanya dalam berbagai versi Satipaṭṭhāna Sutta makna-maknanya dijelaskan. Agaknya Satipaṭṭhāna Sutta berperan pada saat itu, seperti ia saat ini, sebagai suatu kunci di mana teks-teks singkat dapat diinterpretasikan. Poin penting di sini bahwa rumusan berunsur empat memperkenalkan suatu objek khusus meditasi, yang bergerak ke arah memperlakukan satipaṭṭhāna seperti demikian dalam suatu cara yang lebih sempit daripada perhatian secara umum. Satipaṭṭhāna hanya konteks dalam rumusan utama dari sang jalan – sayap-sayap menuju pencerahan, pelatihan bertahap, pembebasan yang bergantungan – untuk menentukan objek meditasi. Secara umum di sini cenderung menjadi suatu jarak yang ganjil dalam sutta-sutta di antara sisi subjektif dan objektif dari meditasi. Sebagai contoh, sutta-sutta menjelaskan jhāna sehubungan dengan kualitas-kualitas mental subjektif dan di tempat lain menjelaskan berbagai objek meditasi yang ditujukan untuk mengembangkan jhāna, tetapi mereka hampir tidak pernah mengatakan, misalnya, “ānāpānasati jhāna” (tetapi ada yang disebut “ānāpānasati samādhi”), atau “kasiṇa jhāna” (walaupun penunjukan yang meragukan pada “jhāna belas kasih”). Jarak ini tidak secara sistematis dijembatani sampai Dhammasaṅgaṇī. Jadi satipaṭṭhāna, yang menjadi lebih “dibumikan” dan lebih khusus demikian, memenuhi fungsi penting yang praktis dalam sang jalan. Akibatnya adalah bahwa objek-objek meditasi tertentu di sini bersifat intrinsik dan oleh sebab itu bersifat bukan pilihan dari sang jalan. Semua meditator harus mengembangkan setidaknya beberapa latihan satipaṭṭhāna. Subjek meditasi di luar pola satipaṭṭhāna sangat sering diajarkan dalam sutta-sutta, khususnya kediaman-kediaman luhur dan enam perenungan, tetapi mereka tidak begitu penting; namun demikian, perasaan, keadaan pikiran, dan dhamma yang berhubungan dengannya cocok di bawah satipaṭṭhāna. Aspek “objektif” yang berseberangan dari satipaṭṭhāna ini membuatnya ganjil di dalam 37 sayap menuju pencerahan, dan kita akan berulang kali melihat kerancuan dan ketidaksesuaian muncul dalam upaya-upaya yang belakangan untuk sepenuhnya mensistematiskan kelompok-kelompok ini. Mengapa empat hal ini? Teks-teks belakangan dari beberapa aliran menyatakan bahwa empat hal itu bertentangan dengan empat penyimpangan. Perenungan terhadap tubuh bertentangan dengan penyimpangan melihat keindahan dalam keburukan; perenungan terhadap perasaan bertentangan dengan penyimpangan melihat penderitaan sebagai kebahagiaan; perenungan terhadap pikiran bertentangan dengan penyimpangan melihat yang tidak kekal sebagai kekal; dan perenungan terhadap dhamma bertentangan dengan penyimpangan melihat diri dalam apa yang bukan-diri. Tentunya mereka dapat bekerja dengan cara ini; tidak ada keraguan bahwa, katakanlah, perenungan terhadap tubuh diarahkan untuk melenyapkan nafsu indera dan bahwa meditasi keburukan [bagian-bagian tubuh] adalah suatu bagian yang penting dari strategi ini. Dan sesungguhnya dalam kelangsungan pikiran, citta, banyak orang mencari penghiburan dari kebahagiaan abadi. Namun secara keseluruhan, penjelasan ini bersifat post facto dan dibuat-buat. Karena ajaran ini tidak ditemukan dalam sutta-sutta awal, ataupun secara tidak sengaja jelas, ini mungkin suatu kasus peminjaman yang belakangan di antara aliran-aliran. Suatu pertimbangan yang lebih berkaitan dalam rumusan satipaṭṭhāna sehubungan dengan empat subjek yang khusus ini adalah bahwa mereka maju dari yang kasar menuju yang halus. Tubuh terutama diperlakukan sebagai objek dasar untuk mengembangkan meditasi. Perasaan merupakan kualitas mental yang paling nyata. Pikiran, indera internal kesadaran, “yang mengetahui” alih-alih “yang diketahui”, lebih halus, dan dengan tepat didekati melalui dua yang pertama. Seperti yang akan kita lihat, kedua perlakuan istilah-istilah itu sendiri, dan korelasi dengan ānāpānasati, menyatakan bahwa suatu kunci permukaan dari penghalusan progresif atas perenungan sejauh ini adalah melakukan, mengembangkan, dan menguasai jhāna. Ini lebih langsung, dan tradisi-tradisi lebih kurang bersepahaman, walaupun mereka cenderung menekankan kembali struktur progresif ini. Ini karena mereka memperlakukan faktor berikutnya, dhamma, bermakna berbagai fenomena, banyak darinya yang tidak lebih halus daripada tiga yang pertama, dan dengan demikian mengganggu urutannya. Ini adalah suatu kesalahan. Dhamma-dhamma dalam satipaṭṭhāna bukanlah suatu karung undian beranekaragam dari sisa-sisa dari tiga yang pertama, tetapi suatu aspek yang berbeda dan lebih mendalam dari meditasi: pemahaman prinsip sebab akibat yang mendasari pengembangan samādhi. === 11.4 Bagaimana Latihan itu Diuraikan === Sementara daftar dari empat objek satipaṭṭhāna adalah sama dalam semua tradisi, penguraian aspek subjektifnya berbeda secara substansial, bahkan dalam perikop dasarnya; namun ini hanyalah masalah preferensi pengubahan alih-alih perbedaan sektarian. == 11.4.1 Rumusan Sederhana dan Rumit == Sarvāstivāda, dalam Saṁyutta dan Majjhima, adalah yang paling sederhana: seseorang mengembangkan “penegakan perhatian dari perenungan tubuh di dalam tubuh…” dan seterusnya. Versi Sanskrit dari Dasuttara dan Saṅgīti Sutta, yang juga berasal dari Sarvāstivādin, mencirikan suatu rumusan yang mirip. Ekāyana Sūtra Mahāsaṅghika menguraikan dari suatu rumusan sederhana yang mirip: ia menunjuk pada bermeditasi terhadap tubuh untuk melenyapkan pikiran-pikiran tidak bermanfaat dan kekhawatiran, dan bermeditasi pada tiga lainnya untuk memperoleh ketenangan dan kebahagiaan. Nikāya-nikāya Theravāda yang utama tidak mengandung suatu versi yang sederhana demikian. Namun teks-teks Pali yang belakangan memasukkan perumusan yang mirip. Niddesa, suatu komentar bergaya Abhidhamma yang bersifat aljabar terhadap bagian-bagian tertua dari Sutta Nipāta (Aṭṭhaka Vagga, Pārāyana Vagga, Khaggavisāna Sutta) yang merupakan salah satu sudut yang paling samar-samar dan sedikit dibaca dari kitab suci Pali (dan itulah yang mengatakan sesuatu!), memasukkan suatu ungkapan yang demikian dalam penjelasan standarnya tentang “penuh perhatian”.((Misalnya Mahā Niddesa 1.1.3.))
Perenungan internal/eksternal atas unsur-unsur diperlakukan secara terperinci dalam Mahā Hatthipadopama Sutta. Sebagai contoh, unsur air internal didefinisikan sebagai bagian cair dari tubuh seseorang, seperti keringat dan darah, dan seterusnya, dan unsur air eksternal adalah air dalam banjir, lautan, dan seterusnya. Baik unsur air internal dan eksternal hanyalah unsur air, dan harus dilihat secara benar sebagai bukan-diri dan tidak kekal. Bacaan ini menunjukkan bahwa tahap ketiga, di mana internal dan eksternal dikombinasikan, adalah suatu perpaduan di mana perbedaan antara bagian dalam dan luar teratasi. Menariknya, perlakuan ketidakkekalan unsur air eksternal, seperti juga unsur-unsur lainnya, menyatakan tentang penghancuran bumi pada akhir alam semesta, yang secara tegas sekali bukan suatu konsep ketidakkekalan yang “sementara”. Ini memperluas penerapan “eksternal” tidak hanya pada “di sana” tetapi juga “kemudian”, di luar baik ruang dan waktu. Gagasan yang serupa dipertahankan dalam Abhidharma Sarvāstivādin; Dharmaskandha Sarvāstivādin menunjuk pada kehidupan lampau dan masa mendatang. Ini mungkin secara mutlak diturunkan dari Saṁyukta. Kita telah melihat di atas bahwa salah satu khotbah Saṁyukta Sarvāstivāda menambahkan suatu penjelasan editorial setelah penutup yang biasanya. Ini terjadi di tempat lain juga. Salah satu contoh adalah dalam khotbah yang disebut “Pengembangan”.((SN 47.39/SA 610.))
Peter Masefield telah membahas hal ini dalam teks-teks Buddhis dan Upaniṣad dan mengatakan bahwa penggunaan “internal” (ajjhattaṁ) adalah identik dalam kedua konteks, sedangkan penggunaan Buddhis atas “eksternal” (bahiddhā) mencakup baik “kosmis” (adhidaivataṁ) dan “objektif” (adhibhūtaṁ) dari Upaniṣad.((Masefield. Terima kasih saya kepada penulis yang telah memberikan saya salinan artikel ini.))
Masa pertapa agung Yājñavalkya tidak lama sebelum Sang Buddha. Ahli tata bahasa Brahmanis Kātyāyana, yang mengomentari Pāṇini, mengatakan bahwa kitab-kitab Yājñavalkya “berasal dari masa yang sangat baru; itu untuk mengatakan, mereka hampir sezaman dengan kita sendiri”((Wijesekera, hal. 282.))
Ungkapan Mandarin yang saya terjemahkan sebagai “kesatuan pikiran” di sini identik dengan ungkapan dalam khotbah Anuruddha tentang jalan ekāyana. Walaupun Ekāyana Sūtra agak belakangan daripada Satipaṭṭhāna Sutta Theravāda dan Sarvāstivāda, pernyataan ini adalah definisi jelas yang paling awal dari ungkapan ini. Penjelasan ini juga akan melengkapi jawaban pada pertanyaan mengapa Sutta-sutta mencadangkan istilah ekāyana untuk satipaṭṭhāna saja di antara 37 sayap menuju pencerahan. Walaupun semua kelompok berhubungan satu sama lainnya dengan samādhi atau keterpusatan, satipaṭṭhāna dipilih sebagai yang memainkan peranan kunci membawa pikiran menuju samādhi. === 11.7 “Mencapai Sang Jalan” === Pernyataan tentang “jalan yang membawa pada penyatuan” diikuti, dalam Satipaṭṭhāna Sutta, dengan pernyataan bahwa ini adalah: “Untuk pemurnian makhluk-makhluk, untuk mengatasi dukacita dan ratap tangis, untuk mengakhiri penderitaan jasmani dan batin, untuk mencapai sang jalan, untuk merealisasi Nibbana”. Kebanyakan dari ungkapan ini cukup jelas, tetapi ungkapan “mencapai sang jalan” (ñāyassa adhigamāya) adalah samar-samar, dalam bahasa Pali dan juga bahasa Inggris. Istilah ñāya kadangkala digunakan dalam konteks kemunculan bergantungan, dan beberapa telah melihat hal ini sebagai maknanya di sini. Ini bukan tidak masuk akal, karena hubungan yang jelas antara satipaṭṭhāna dan kemunculan bergantungan.((Hubungan antara satipaṭṭhāna dan kemunculan bergantungan bersifat implisit dalam Samudaya Sutta, yang akan kita bahas di bawah ini, dan dibuat eksplisit dalam Śāriputrābhidharma.))
Teks melanjutkan dengan jhāna-jhāna yang tersisa dan pengetahuan-pengetahuan yang lebih tinggi yang memuncak pada Kearahattaan, dengan mengulangi kalimat penutupnya masing-masing. Penghubungan ñāya dengan kusala, “bermanfaat”, juga relevan dengan konteks satipaṭṭhāna, karena satipaṭṭhāna dalam konteks pengembangan samādhi dikatakan “untuk mencapai yang bermanfaat” (kusalassadhigamāya), sama seperti ia dikatakan “untuk mencapai sang jalan”.((DN 18.28/DA 4/T № 9.))
Mungkin Vibhaṅga Sutta dari Satipaṭṭhāna-saṁyutta seharusnya disebut “Ajaran”. Ia telah dilengkapi dengan suatu khotbah yang lebih luas bergaya vibhaṅga. Satu-satunya teks yang mungkin sesuai dengan aturan adalah Satipaṭṭhāna Sutta, atau lebih tepatnya *Satipaṭṭhāna Mūla, yang sangat mirip dengan bab tentang satipaṭṭhāna dalam Vibhaṅga Abhidhamma, dan memiliki kesejajaran yang kuat dengan Vibhaṅga dari Iddhipāda Saṁyutta. Beberapa vibhaṅga lainnya tentang topik-topik Saṁyutta sekarang ditemukan dalam Majjhima.((Saccavibhaṅga, Dhatuvibhaṅga; Saḷāyatanavibhaṅga berada dalam MN tetapi padanan Sarvāstivāda-nya tetap berada dalam SA, yang tentu saja adalah rumah sebenarnya.))
)) disebabkan oleh lenyapnya kontak terdapat lenyapnya perasaan-perasaan.
3b) Dengan cara ini, para bhikkhu, seorang bhikkhu merenungkan sifat asal mula dalam perasaan-perasaan, ia merenungkan sifat lenyapnya dalam perasaan-perasaan, ia merenungkan sifat asal mula dan lenyapnya dalam perasaan-perasaan.
3c) Ia berdiam tidak bergantung, tidak menggenggam apa pun di dunia.
4a) Disebabkan asal mula nama dan bentuk terdapat asal mula pikiran; disebabkan oleh lenyapnya nama dan bentuk terdapat lenyapnya pikiran.
4b) Dengan cara ini, para bhikkhu, seorang bhikkhu merenungkan sifat asal mula dalam pikiran, ia merenungkan sifat lenyapnya dalam pikiran, ia merenungkan sifat asal mula dan lenyapnya dalam pikiran.
4c) Ia berdiam tidak bergantung, tidak menggenggam apa pun di dunia.
5a) Disebabkan asal mula perhatian terdapat asal mula dhamma-dhamma; disebabkan oleh lenyapnya kontak terdapat lenyapnya dhamma-dhamma.
5b) Dengan cara ini, para bhikkhu, seorang bhikkhu merenungkan sifat asal mula dalam dhamma-dhamma, ia merenungkan sifat lenyapnya dalam dhamma-dhamma, ia merenungkan sifat asal mula dan lenyapnya dalam dhamma-dhamma.
Isi ajaran yang utama adalah sebab bagi empat objek satipaṭṭhāna, dan dalam hal ini kedua tradisi bersepaham sepenuhnya. Namun banyak dari struktur sisanya berbeda. Theravāda memiliki bagian pendahuluan 1, tetapi alih-alih menanyakan “Apakah asal mula dan lenyapnya empat satipaṭṭhāna?” Ia bertanya “Apakah asal mula tubuh?” Ini jelas suatu kesalahan pengeditan. Kita akan mengharapkan bahwa pertanyaan ini diulangi untuk tiga satipaṭṭhāna lainnya, tetapi tidak; juga, pertanyaan hanya menunjuk pada asal mula, tetapi teks menunjuk pada asal mula dan lenyapnya. Keganjilan pengeditan ini tidak ditemukan dalam versi Mandarin. Pengungkapannya juga menyimpang dari bentuk standar. Umumnya Sang Buddha mengatakan: “Aku akan mengajarkan kalian x… Dengarkanlah pada hal itu… Dan apakah x?” Tetapi di sini Beliau mengatakan: “Aku akan mengajarkan kalian x… Dengarkanlah pada hal itu… Dan apakah y?” Jenis perubahan ini dapat terjadi jika teks dituliskan separuh pada satu halaman dan separuh pada halaman berikutnya; pertanyaannya menjadi terpisahkan dari pendahuluan dan dimasukkan dengan bagian tentang tubuh (seperti dalam PTS Pali dan terjemahan-terjemahan), dan maka para penyalin yang belakangan menganggap pertanyaan itu pasti menunjuk pada isinya. Versi Mandarin lebih masuk akal dan dengan demikian mungkin lebih otentik. Bagian b dan c tidak ada dalam Samudaya Sutta Theravāda; namun mereka sangat mirip dengan “pengulangan vipassanā” dari Satipaṭṭhāna Sutta Theravāda. Di tempat lain dalam Saṁyutta Theravāda, bagian b muncul, tetapi bukan dalam hubungannya dengan bagian c. Ini menyatakan bahwa versi awal dari Samudaya Sutta yang dipertahankan dalam Mandarin suatu pengaruh yang menentukan pada pembentukan pengulangan vipassanā dari Satipaṭṭhāna Sutta Theravāda; ini pasti terjadi sebelum pemecahan Samudaya Sutta. Bagian b sekarang ditemukan dalam Vibhaṅga Sutta, yang seperti kita lihat mungkin suatu perkembangan yang belakangan. Ketika Samudaya Sutta dipecah, bagian b dan c dipindahkan ke dalam *Vibhaṅga Sutta awal mula, yang dipindahkan ke dalam Majjhima dan diberi judul ulang “Satipaṭṭhāna Sutta”. Entah bagaimana, *Desanā Sutta awal mula yang dipasangkan dengan *Vibhaṅga Sutta-nya tetap berada dalam Saṁyutta, tetapi mengambil judul “Vibhaṅga” dan juga bagian b dari Samudaya Sutta. Setelah mengembangkan bahwa Sarvāstivāda lebih mungkin untuk mewakili teks pra-sektarian dari Samudaya Sutta, kita sekarang harus mempertimbangkan apakah ini mungkin telah ada dalam kumpulan awal mula. Ungkapan “prinsip asal mula, prinsip lenyapnya, prinsip asal mula dan lenyapnya” muncul berurutan dalam tiga khotbah dalam Khandhasaṁyutta.((SN 126–128/SA 256.5c) Ia berdiam tidak bergantung, tidak menggenggam apa pun di dunia.
Pemikiran-pemikiran tidak bermanfaat berakhir dalam jhāna pertama;((MN 78/MA 179 Samaṇamaṇḍikā.))
“Ketamakan dan penolakan” mengingatkan kembali pada rumusan pelengkap satipaṭṭhāna. Dalam Satipaṭṭhāna Sutta, perenungan terhadap dhamma memulai dengan lima rintangan. Dua yang pertama adalah keinginan indera dan kebencian, yang identik dengan “ketamakan dan penolakan”. Melihat ditinggalkannya keduanya “dengan pemahaman” memberikan fokus pada sebab-akibat yang adalah karakteristik dari bagian ini; kata yang sama “ditinggalkannya” juga muncul dalam perenungan terhadap dhamma, dalam penunjukan pada ditinggalkannya lima rintangan. Perenungan terhadap dhamma juga memasukkan tujuh faktor pencerahan, dan ini merupakan kekuatan yang dapat mengatasi lima rintangan. Maka teks kita berakhir dengan mengatakan bahwa seseorang harus “mengamati dengan keseimbangan”; karena keseimbangan adalah yang terakhir dari faktor-faktor pencerahan. Perenungan terhadap dhamma dalam ānāpānasati terpenuhi dengan memahami bagaimana rintangan-rintangan ditinggalkan melalui faktor-faktor pencerahan, dan dengan pemenuhan proses ini seseorang berdiam dalam keseimbangan. Dibandingkan dengan evolusi ajaran-ajaran yang bersifat konservatif dan terus berkembang tentang satipaṭṭhāna yang dialami dalam Satipaṭṭhāna-saṁyutta, Satipaṭṭhāna Sutta dalam Majjhima Nikāya tampak seperti suatu loncatan kuantum yang tidak terprediksi. Adalah instruktif untuk membandingkan hal ini dengan Ānāpānasati Sutta. Ini tidak mengandung ajaran baru, yang hanyalah suatu penyajian dari bahan dari Ānāpānasati-saṁyutta dengan suatu latar yang lebih terperinci. Dengan kata lain ini adalah ajaran yang lebih umum, yang diajarkan lebih sering. Dalam Satipaṭṭhāna Sutta kita lihat, bukan suatu langkah mungil dalam ukuran seperti dalam ānāpānasati, tetapi sebuah ledakan besar dalam beberapa arah sekaligus. Pertama-tama, masing-masing dari empat satipaṭṭhāna diperluas ke dalam latihan atau rangkaian latihan yang terperinci, beberapa darinya muncul di tempat lain dalam konteks satipaṭṭhāna. Kemudian masing-masing latihan diikuti dengan sebuah bagian panjang lebar yang berhubungan dengan pengetahuan mendalam. Ini pada pokoknya mirip dengan bagian pengetahuan mendalam dalam Samudaya Sutta dari Saṁyukta Sarvāstivāda. Bagian tambahan ini tidak muncul bersamaan sekaligus: Satipaṭṭhāna Sutta seperti yang kita miliki adalah hasil akhir dari proses panjang penambahan tekstual. ==== Bab 13: Abhidhamma Awal ==== Saya mengambil langkah yang tidak biasa mempertimbangkan teks-teks Abhidhamma sebelum Sutta-sutta Satipaṭṭhāna, bahkan ini menjawab urutan historisnya. Ini adalah untuk dua alasan. Satu adalah bahan Abhidhamma tentang satipaṭṭhāna mempertahankan beberapa ciri khas yang lebih kuno daripada Sutta-sutta. Kedua adalah bahwa saya ingin mendekonstruksi persepsi tentang apakah satipaṭṭhāna, persepsi yang dikondisikan oleh penafsiran modern vipassanāvāda dari Satipaṭṭhāna Sutta Theravāda. Literatur Abhidhamma adalah sistemasi yang diformalisasikan, bersifat skolastik dari Dhamma berdasarkan perspektif aliran-aliran. Sementara literatur Sutta dan Vinaya sebagian besar sama pada semua aliran, Abhidhamma dari aliran-aliran berbeda sangat jauh. Ini karena Sutta-sutta dan Vinaya berasal dari masa pra-sektarian, sedangkan literatur Abhidhamma bersifat sektarian. Namun dalam pembahasan GIST kita, kita mencatat suatu pengecualian dari aturan ini. Terdapat tiga teks Abhidhamma yang semuanya tampak berasal dari suatu sumber yang sama, yang kita sebut “*Vibhaṅga Mūla”. Teks-teks ini adalah Vibhaṅga dari Theravāda, Dharmaskandha dari Sarvāstivāda,((T № 1537.))
Perhatikan kesamaannya dengan satipaṭṭhāna, khususnya perenungan terhadap pikiran: praktik itu adalah suatu “perenungan” (anussati); istilah “pikiran” (citta) tanpa nafsu, kebencian, dan delusi; dengan melakukan hal ini, pikiran seseorang “terbebaskan”; dan hasilnya adalah “pemurnian makhluk-makhluk”. Oleh sebab itu, aspek subjektif dari perenungan terhadap pikiran adalah sama dengan enam perenungan. Kembali pada perenungan terhadap pikiran, keseluruhan konteks, struktur progresif dari khotbah itu, dan dimasukkannya pikiran yang “dimampatkan” (oleh kemalasan) dan “diserakkan” (oleh kegelisahan) semuanya menyatakan bahwa di sini kita berhubungan dengan meninggalkan rintangan-rintangan dengan samādhi, sebuah penafsiran yang ditegaskan oleh komentar. Sebuah segi dari bahan satipaṭṭhāna adalah pengalaman langsung dari pikiran yang “mulia”, pikiran yang “tak terkalahkan”, pikiran “dalam samādhi”, pikiran yang “terbebaskan” – semua istilah untuk jhāna. Bagian tentang perasaan dan pikiran berbagi tata bahasa yang sama. Sebagai contoh: “Ketika merasakan suatu perasaan yang menyenangkan, seseorang memahami ‘Aku merasakan suatu perasaan yang menyenangkan’.” Atau dalam perenungan terhadap pikiran: “Seseorang memahami pikiran dengan nafsu sebagai ‘pikiran dengan nafsu’.” Struktur refleksif ini digunakan bersama dengan ānāpānasati: “Ketika menarik napas panjang, seseorang memahami ‘Aku sedang menarik napas panjang’.” Ungkapan dalam “tanda kutip” (yang diwakili dengan partikel Pali iti) mendorong beberapa aliran untuk menyamakan meditasi satipaṭṭhāna dengan pencatatan mental. Tetapi ini adalah suatu penafsiran harfiah yang dibuat-buat. Penggunaan yang sama ditemukan, sebagai contoh, dalam bacaan standar tentang pencapaian-pencapaian tanpa bentuk. Disebabkan oleh cara pengungkapan dalam bahasa Pali, ini sangat sulit diterjemahkan; secara harfiah ini akan menjadi: “‘Ruang adalah tanpa batas’, seseorang memasuki dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas.” Biasanya penerjemah akan mengatakan sesuatu seperti: “Menyadari bahwa ‘ruang adalah tanpa batas’, seseorang memasuki dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas.” Jelas di sini meditator telah dengan baik melampaui pemikiran atau pencatatan apa pun. Penggunaan iti dengan pengulangan-pengulangan dalam konteks demikian mencerminkan sifat refleksif dari perenungan meditatif. Seseorang tidak hanya mengetahui perasaan, tetapi ia sadar bahwa ia sedang mengetahui perasaan itu. Perenungan dhamma dalam Vibhaṅga hanya memiliki rintangan-rintangan dan faktor-faktor pencerahan, sepasang yang sekarang dikenal. Tidak seperti Satipaṭṭhāna Sutta, di sini tidak ada kalimat pendahuluan dan penutup untuk memisahkan dan mendefinisikan setiap bagian, seperti: “Dan bagaimanakah seseorang berdiam merenungkan dhamma dalam dhamma sehubungan dengan lima rintangan?” Rintangan-rintangan dan faktor-faktor pencerahan hanya berlanjut ke dalam satu sama lain.((Kalimat-kalimat demikian ditemukan dalam Dharmaskandha, tetapi Smṛtyupasthāna Sūtra Sarvāstivāda hanya memiliki kalimat-kalimat penutup; ini mungkin satu-satunya poin di mana Dharmaskandha lebih dekat dengan Satipaṭṭhāna Sutta Theravāda.))
Gambaran yang indah dari kebahagiaan yang terwujud melengkapi psikologis rumusan jhāna. Penekanan pada terbenamnya tubuh tidak diragukan lagi mendorong dimasukkannya mereka dalam Kāyagatāsati Sutta, dan oleh sebab itu dalam bagian perenungan tubuh dari Smṛtyupasthāna Sūtra Sarvāstivāda. Suatu kesalahan untuk menganggap bahwa “tubuh” di sini menunjuk pada tubuh fisik biasa, yang sepenuhnya lenyap dalam jhāna. Sutta-sutta menggunakan “tubuh” dalam suatu makna idiomatis untuk menekankan kedekatan pengalaman personal langsung; maknanya adalah sesuatu seperti “keseluruhan landasan kesadaran”.((Lihat Sujato, Sepasang Utusan Cepat, Lampiran A.7.))
Ini adalah praktik yang sama seperti dalam Satipaṭṭhāna Sutta. Tema-tema yang sama muncul dalam lebih dari selusin teks dalam Bojjhaṅga-saṁyutta.((SN 46.2, 5, 7, 23, 24, 33, 34, 37, 39, 40, 49, 51, 52, 53, 55, 56.))
Ini diulangi dengan variasi yang sesuai untuk berbagai jhāna, tahapan pencerahan, dan seterusnya. Kebanyakan variasi tidak dinyatakan dalam teks. Keseluruh hal itu kemudian diambil sepanjang dua putaran – satu untuk sang jalan, satu untuk buahnya. Pengungkapannya sejanggal dalam bahasa Pali seperti dalam terjemahan, karena bacaan ini pada hakikatnya hanyalah percampuran istilah-istilah teknis dari berbagai sumber. Terdapat sejumlah kontinuitas dan diskontinuitas dengan catatan-catatan yang lebih awal. Penggambaran dasar dari jhāna dan satipaṭṭhāna adalah identik dengan Sutta-sutta. Hubungan dekat antara keduanya juga karakteristik dari Sutta-sutta, walaupun mereka tidak menyamakan keduanya sangat sekomprehensif dengan yang di sini. Penyebutan jalan praktik yang menyakitkan adalah janggal. Dalam Sutta-sutta ini berbeda dengan jhāna-jhāna; sementara akan merupakan suatu kesalahan untuk melihat hal ini dalam konteks Sutta-sutta seperti menyatakan suatu jalan yang terpisah dari jhāna, ini tidak sesuai untuk menyebut jhāna itu sendiri “menyakitkan”. “Satipaṭṭhāna” itu sendiri didefinisikan hanya sebagai sati; yaitu, satipaṭṭhāna hanya merupakan tindakan subjektif dari perhatian. Dhamma-dhamma lain “dihubungkan dengan satipaṭṭhāna”. Ungkapan yang tampaknya tidak berbahaya ini menyatakan suatu tekanan yang mendasari dalam perkembangan suatu penafsiran abhidhammik atas satipaṭṭhāna; karena “penghubungan” (sampayutta) adalah suatu istilah teknis abhidhamma yang hanya diterapkan pada fenomena batin yang saling bergantungan, tetapi di sini dianggap termasuk tubuh juga. Lebih lanjut di bawah ini. Theravāda kemudian menafsirkan “jhāna transendental” yang dibahas di sini dan sepanjang Abhidhamma Piṭaka sebagai suatu “saat pikiran” tunggal (cittakkhaṇa) yang bercahaya sesaat sebelum pencerahan. Namun, teks ini seharusnya tidak dibaca sehubungan dengan teori atomik tentang momen-momen yang akan mendominasi metafisika yang belakangan. Teori tentang momen-momen belum dikembangkan pada masa Abhidhamma Piṭaka. Satu-satunya referensi pada “momen-momen” dalam Abhidhamma Piṭaka adalah pada “momen kelahiran kembali” dalam Vibhaṅga.((Vibhaṅga pp. 411ff.))
Ini rapi; tetapi lagi-lagi, ini bukanlah apa yang Vibhaṅga bicarakan. Vibhaṅga terjebak dalam suatu tahap perkembangan yang janggal. Tidak jelas apakah jhāna transendental adalah suatu jenis “vipassanā samādhi” (jika kita masih dapat meminjam istilah yang belakangan) di mana seseorang terserap dalam perenungan terhadap tubuh sebagai kosong dari diri, atau sebagai suatu pengalaman pencerahan. Dhammasaṅgaṇī telah memaksakan suatu pasak antara jhāna non-transendental dan jhāna transendental serta mengidentifikasi sang jalan dengan yang terakhir. Tetapi Abhidhamma Piṭaka tetap cukup tertutup pada dunia-pemikiran Sutta-sutta di mana ia berusaha menerapkan konsepsi ini dengan konsisten. Tidak sampai metafisik yang matang sepenuhnya dari fase komentarial abhidhamma yang berkembang implikasi-implikasi dari terobosan ini dibuat eksplisit. Hampir tidak perlu mengatakan bahwa, selain dari penyebutan tersendiri dari kata “kekosongan”, vipassanā sepenuhnya berada pada latar belakang selama penguraian ini. Bahkan “kekosongan” tidak dapat benar-benar bermakna vipassanā di sini, karena ia menerapkan hanya sebanyak pada buah sehubungan dengan sang jalan. Kenyataannya penyajian ini menekankan bagaimana jhāna adalah melekat pada gagasan satipaṭṭhāna itu juga seraya ia menuju jalan itu sendiri. Para penyusun Abhidhamma tampaknya telah memasukkan ke dalam hati perkataan Sutta bahwa “samādhi adalah jalannya”. Sedemikian banyak keanehan sehingga, bahwa gagasan yang belakangan tentang jhāna transendental, yang bersifat ortodoks dari masa Visuddhimagga, pada waktunya menjadi salah satu alat bantu konseptual kunci untuk merontakan kebutuhan untuk mempraktikkan jhāna sebagai bagian dari jalan mulia berunsur delapan, dengan menggantikan meditasi pandangan terang kering berdasarkan satipaṭṭhāna: seseorang hanya perlu memasuki saat-pikiran jhāna pada waktu realisasi itu sendiri. Ini bukan hanya suatu penyimpangan yang parah dari Sutta-sutta; ini adalah suatu salah pengertian terhadap jalan transendental. Ini hanyalah jalan yang disempurnakan, puncak dan penyempurnaan dari berbagai praktik yang menjadikan perjalanan spiritual kita. Jhāna transendental bukanlah suatu non-jhāna, ia bukanlah sesuatu hal lain yang dapat digantikan untuk jhāna; ia adalah intisari jhāna yang ideal, yang muncul ketika praktik jhāna matang sesuai dengan sisa dari sang jalan. === 16.5 Teks-Teks Abhidhamma Lainnya === Sepengetahuan saya, gagasan bahwa jhāna dapat bersifat tidak bermanfaat dari sang jalan pertama kali dinyatakan dalam Puggala Paññatti.((PP 4.187.))
Saya akan menyebutkan secara singkat di sini Vimuttimagga, suatu risalah komentar yang merupakan model bagi Visuddhimagga. Ia hanya menyebutkan satipaṭṭhāna di bawah ānāpānasati, tidak menambahkan sesuatu yang baru. Namun, ia memperkenalkan suatu konsep baru, jalan “vipassanā kering”, yang menarik perhatian dengan ketiadaannya dari Sutta-sutta dan keunggulannya dalam meditasi yang baru-baru ini. Namun, ini tidak berhubungan dengan satipaṭṭhāna. ==== Bab 17: Buddhisme Belakangan ==== Marilah kita menyelesaikan perjalanan kita dengan peninjauan singkat beberapa pernyataan tentang perhatian dalam teks-teks Buddhis yang belakangan. Daya tarik utama terletak pada baris-baris kelanjutan antara perspektif tentang satipaṭṭhāna yang dikembangkan dalam esai ini dan tradisi-tradisi yang belakangan. === 17.1 Komentar-komentar Theravāda === Bahan tentang satipaṭṭhāna ditemukan dalam komentar-komentar untuk Satipaṭṭhāna-saṁyutta dan Satipaṭṭhāna Sutta dalam Majjhima dan Dīgha, serta Vibhaṅga. Satipaṭṭhāna Sutta mendapatkan komentar yang luas, tetapi karena ini telah diterjemahkan ke bahasa Inggris dan gagasan-gagasannya ditemukan dalam banyak buku modern, saya akan membahasnya hanya secara singkat di sini.((Khotbah dan komentarnya, bersama dengan kutipan-kutipan dari sub-komentar, telah diterbitkan dalam terjemahan oleh Soma Thera dengan judul The Way of Mindfulness.))
Satu-satunya penyebutan jhāna dalam sistem Abhidharmasāra adalah “dhamma non-transendental puncak” (laukikagrādharma). Ini muncul, sebagai “yang tidak kembali”, “interval jhāna”, atau empat “jhāna akar” selama satu momen saja, segera sebelum pengalaman pencerahan. Dengan demikian, walaupun penamaan yang berbeda, “dharma non-transendental puncak” ini memenuhi fungsi yang sama dalam sistem Sarvāstivāda sebagai “jhāna transendental” dari Theravāda: untuk mempertahankan suatu kelanjutan istilah dengan Sutta-sutta kuno sementara mengajarkan ajaran yang benar-benar baru. Adalah sulit untuk memahami bagaimana perlakuan satipaṭṭhāna itu dapat berubah sangat banyak dalam suatu masa yang singkat. Karya kanonik utama Jñānaprasthāna memperlakukan perenungan tubuh terutama sebagai empat jhāna; kemudian lapisan paling awal dari literatur pasca-kanonik, yang disusun kira-kira pada periode yang sama, memperlakukan perenungan tubuh sebagai vipassanā sesungguhnya. Saya mencurigai bahwa jawabannya terletak pada cara dan fungsi dari penyajian satipaṭṭhāna dalam keseluruhan kerangka, dan harus dicari dalam studi kontekstual yang lebih rinci dari karya-karya ini. === 17.3 Abhidharmakośa === Karya klasik Vasubandhu Abhidharmakośa (abad ke-4 M) menyajikan suatu penjelasan yang jernih dan menyeluruh tentang bidang Abhidharma Sarvāstivāda dari sudut pandang seorang penulis yang tidak menganut aliran itu, melainkan seorang Sautrāntika. Kośa mendefinisikan satipaṭṭhāna bukan sebagai “perhatian”, tetapi sebagai “pemahaman” (paññā). Sarvāstivādin sampai pada definisi ini dengan mengambil istilah anupassanā untuk menyatakan inti dari satipaṭṭhāna. Kita telah melihat bahwa Theravādin sepaham dalam menganggap anupassanā sebagai “pemahaman”, tetapi mereka masih memperlakukan satipaṭṭhāna itu sendiri sebagai perhatian, bukan kebijaksanaan. Di sini Sarvāstivādin bertabrakan dengan ketidakjelasan. Mereka harus menyimpulkan bahwa satipaṭṭhāna termasuk, bukan dalam faktor jalan dari perhatian benar, tetapi dengan pandangan benar; bukan dalam kemampuan spiritual dari perhatian, tetapi dalam pemahaman.((Kośa 6.68.))
Saya tidak mengetahui bagaimana Vasubandhu dapat sampai pada kesimpulan ini, yang tampaknya sangat berbeda dari Sutta-sutta dan dari pengalaman meditatif.((Namun, komentar pada Arthaviniścaya tampaknya menganggapnya cukup serius untuk memberikan suatu penjelasan: walaupun ānāpānasati disertai dengan keseimbangan, meditator membalikkan kesadaran yang memiliki udara sebagai objeknya dan mengalami kegiuran dan kebahagiaan. Ini tidak menghentikan praktik, karena tujuan praktik tidak dilepaskan, atau karena ia dapat memperoleh kembali objeknya dengan cepat. (Lihat Samtani, hal. 102.)))
Dengan demikian satipaṭṭhāna diidentifikasi secara khusus dengan pandangan terang yang dikembangkan pada landasan jhāna. Dalam hal ini posisi Kośa sangat berbeda dari Abhidharmasāra, yang menghilangkan jhāna sepenuhnya untuk digantikan oleh vipassanā. Vipassanā satipaṭṭhāna berlanjut dengan melihat masing-masing dari empat satipaṭṭhāna sehubungan dengan “inti intrinsik” mereka, dan juga sehubungan dengan karakteristik umum mereka sebagai tidak kekal, dan seterusnya. Namun teks berbicara sedikit tentang inti intrinsik, hanya mendefinisikan tubuh sebagai unsur-unsur utama dan materi turunan, dan dhamma sebagai segala sesuatu yang bukan ketiga lainnya; anehnya, perasaan dan pikiran dihilangkan. Pusat perhatian jelas pada karakteristik umum, dan ini sering disebutkan hanya sehubungan dengan dhamma.((Kośa 6.14, 15b, 16, dan seterusnya.))
Rumusan dasar diambil dari Dantabhūmi Sutta,((MN 125/MA 198.))
Visualisasi para Buddha dikatakan sebagai suatu latihan imajinatif sama seperti visualisasi sesosok mayat. Analogi yang mengejutkan antara Sang Buddha dan sesosok mayat yang membusuk mungkin suatu kebetulan dari teks; meditasi mayat dapat dipilih sebagai contoh hanya karena ini adalah salah satu contoh yang paling jelas dari suatu latihan meditatif dalam visualisasi. Tetapi terdapat suatu ketajaman penjajaran, karena pada masa Sūtra Para Buddha Masa Sekarang ditulis, Sang Buddha historis telah lama menjadi Buddha dari Masa Lampau; kehadiran hidup telah menjadi sesosok mayat, yang terbakar dalam nyala api ketidakkekalan. Visualisasi meditatif terhadap para Buddha mungkin adalah yang paling keras dari banyak cara yang dikembangkan oleh umat Buddhis yang berkeyakinan untuk menghidupkan kembali Sang Buddha, untuk mempertahankan dorongan vital Sang Guru dan Ajaran-Nya. Dengan cara ini meditasi terhadap ketidakkekalan kehidupan berubah. === 17.6 Yogacāra === Sekarang marilah menyelidiki perhatian dalam beberapa risalah metodis, yang mulai dari aliran Yogacāra. Mereka adalah suatu aliran meditatif yang filosofis khususnya biasanya dikatakan sebagai pernyataan bahwa “hanya pikiran” yang ada, semua hal lainnya adalah ilusi. Ini membuka mereka pada kritik bahwa mereka kembali pada posisi Upaniṣad yang mendalilkan kesadaran sebagai landasan keberadaan, yang disamakan dengan Nibbana; namun Yogacārin awal seperti Vasubandhu dan Asaṅga menyatakan bahwa bahkan “kesadaran gudang penyimpanan” lenyap dalam Nibbana.((Namun demikian, Vasubandhu membuat beberapa referensi sepintas lalu pada Nibbana sebagai diri sejati. Viṁśatikā-kārikā-vṛtti 10c (Anacker hal. 166).))
Ini adalah definisi ringkas yang paling singkat dari istilah-istilah ini yang kebetulan saya temukan. “Ketidak-lupaan” sehubungan dengan objek yang telah dialami menekankan pengamatan yang terus-menerus dari anupassanā. “Ketidak-bingungan” adalah fungsi dasar samatha; di sini ia mengingatkan pada konteks-konteks demikian seperti satipaṭṭhāna sebagai “jalan menuju yang satu”, “landasan bagi samādhi”, dan sebagainya, dan secara khusus ānāpānasati dalam fungsinya dari ketidak-bingungan. Dan sementara perhatian memunculkan samādhi, samādhi pada gilirannya memiliki fungsi yang sebenarnya memunculkan kebijaksanaan. Sang jalan dijelaskan, dengan cara yang sama dengan Kośa, mulai dengan pelatihan bertahap: etika, pengendalian indera, secukupnya dalam makanan, mengerahkan usaha, pemahaman jernih, dan seterusnya, dan juga kebijaksanaan dari mendengar, merenungkan, dan bermeditasi. Samatha dan vipassanā disebutkan tanpa penjelasan. Berikutnya adalah analisis yang panjang, lagi-lagi bersandar sepenuhnya pada penjelasan Sarvāstivāda, tentang proses menuju pada penglihatan empat kebenaran mulia. Kemudian “jalan pengembangan” dijelaskan, sebagian besar terdiri atas 37 sayap menuju pencerahan, yang diperlakukan secara eksklusif diterapkan pada para siswa mulia (dalam istilah Theravāda “jalan transendental”). Penjelasan satipaṭṭhāna jelas dan bersifat langsung, yang memberikan beberapa perspektif baru yang menarik. Saya akan merangkumkan aspek kuncinya.((Boin-Webb, hal. 160–162.))
Dhamma-dhamma “yang bermanfaat dan tidak bermanfaat” hanya dapat berupa rintangan-rintangan dan faktor-faktor pencerahan, bukan kelompok-kelompok unsur kehidupan dan alat indera, sehingga bacaan ini mengingatkan kembali isi awal mula perenungan terhadap dhamma-dhamma. == 17.6.2 Vasubandhu == “Commentary on the Separation of the Middle from the Extremes” oleh Stefan Anacker memberikan terjemahan dari Madhyāntavibhāgabhāṣya, yang, menurut sang penerjemah, “salah satu karya yang paling menarik dalam literatur Mahāyāna”. Ini adalah komentar oleh Vasubandhu((Dugaan Frauwallner tentang “dua orang Vasubandhu” dengan penuh semangat dibantah oleh Anacker (pp. 7ff), tetapi dipertahankan oleh orang lain; cukup untuk dicatat bahwa Abhidharmakośa oleh Vasubandhu berasal dari perspektif Śrāvakāyana (Sarvāstivāda/Sautrāntika), sedangkan Madhyāntavibhāgabhāṣya dari Mahāyāna (Yogacāra).))
Di sini kita dengan mantap berada dalam wilayah Sutta. Perbedaan antara kemampuan spiritual dan kekuatan spiritual dijelaskan sehubungan dengan tahapan progresif dari sang jalan menurut sistem Sarvāstivāda; dan kemudian faktor-faktor pencerahan dan jalan mulia berunsur delapan muncul dalam urutan yang seharusnya. Walaupun perlakuan di atas pada dasarnya mirip dengan Kośa, sekarang teks menyatakan tiga ciri khas yang membedakan satipaṭṭhāna Mahāyānis((MVB 4.12b.))
===== Singkatan-Singkatan =====))
AN Aṅguttara Nikāya BU Bṛhadāraṇyaka Upaniṣad CDB Connected Discourses of the Buddha (terjemahan Saṁyutta Nikāya) CU Chāndogya Upaniṣad DA Dīrgha Āgama Dhp Dhammapāda Dhs Dhammasaṅgaṇī DN Dīgha Nikāya EA Ekottara Āgama Iti Itivuttaka Kośa Abhidharmakośabhāṣya LDB Long Discourses of the Buddha (terjemahan Dīgha Nikāya) MA Madhyama Āgama MBh Mahā Bhārata MLDB Middle Length Discourses of the Buddha (terjemahan Majjhima Nikāya) MN Majjhima Nikāya MVB Madhyāntavibhāgabhāṣya PP Puggala Paññatti PED Pali-English Dictionary (Pali Text Society) SA Saṁyukta Āgama SED Sanskrit-English Dictionary (Monier-Williams) Skt MPS Mahā Parinirvāṇa Sūtra Sanskrit Skt CPS Catuṣpariṣat Sūtra Sanskrit Skt SPS Śrāmaṇyaphala Sūtra Sanskrit SN Saṁyutta Nikāya Sn Sutta Nipāta T Edisi Taishō dari Tripiṭaka Mandarin U Udāna Vsm Visuddhimagga YS Yoga Sūtra
