Ini adalah dokumen versi lama!
MENGENAL JAINISME DAN PERBANDINGANNYA DENGAN BUDDHISME
Mempelajari agama secara pendekatan historis akan lebih komprehensif jika kita juga mengkaji ajaran-ajaran agama lain yang ada pada zaman yang sama atau lebih dulu muncul di daerah yang sama. Oleh sebab itu, pemahaman sejarah dan ajaran Jain sebagai salah satu aliran Sramanisme yang masih bertahan sampai saat ini sangat penting untuk mengetahui bagaimana Buddhisme berkembang pada masa awalnya di India kuno.
Jainisme merupakan agama yang lahir sezaman tetapi lebih tua daripada Buddhisme. Dikenal sebagai aliran Nigantha dalam teks-teks Buddhis, Jainisme secara historis merupakan aliran Sramana yang didirikan oleh Nigantha Nataputta atau dikenal sebagai Mahavira oleh para pengikutnya saat ini. Buddhisme juga lahir dari aliran Sramana (Sramanisme) pada masa India kuno. Sramanisme adalah sistem religius yang populer pada abad ke-6 SM selain agama utama para brahmana yang berdasarkan Veda (disebut Brahmanisme) di India.
Perbandingan Biografi/Riwayat Hidup Buddha dan Mahavira
Buddha (secara harfiah berarti “Yang Tercerahkan”) yang kita kenal dalam sejarah bernama Siddhattha (Siddhartha) dari keluarga Gotama (Gautama) yang merupakan keluarga bangsawan (ksatriya) dari suku Sakya. Suku Sakya menyatakan dirinya berasal dari dinasti Ikshvaku (Okkaka), silsilah kasta ksatriya yang terkemuka di India yang dikenal juga sebagai Dinasti Matahari (Suryavamsa).[1] Ayahnya adalah pemimpin suku Sakya bernama Suddhodana di Kapilavatthu (Kapilavastu) dan ibunya bernama Mahamaya. Menurut tradisi Buddhis, sebelum mengandung bayi Bodhisatta (calon Buddha), ibunya bermimpi dimasuki seekor gajah putih bergading enam dari sisi kanan, yang berarti akan mengandung anak yang akan menjadi seorang penguasa dunia (cakkavatti) atau seorang Yang Tercerahkan (Buddha).[2]
Ia lahir di Taman Lumbini, tak jauh dari Kapilavatthu. Ia menikah dengan Yasodhara[3] pada usia muda dan memiliki seorang putra bernama Rahula. Ia memiliki adik tiri (yang berbeda ibu) bernama Nanda[4].
Gotama meninggalkan keduniawian dan menjadi pertapa pada usia 29 tahun (tanpa persetujuan orang tuanya menurut tradisi). Ia berlatih praktik keras (tapa) selama 6 tahun lalu menyadari kesia-siaan praktik keras dan mencapai pencerahan (bodhi) sebagai seorang Buddha di bawah pohon banyan (beringin India) yang dikenal sebagai pohon bodhi.[5]
Setelah pencerahannya, Gotama diatributkan sepuluh sebutan/gelar oleh para pengikutnya, yaitu Bhagava (Yang Dimuliakan), Arahant (Yang Layak Dihormati), Samma Sambuddha (Yang Tercerahkan Sempurna dengan Upayanya Sendiri), Vijja-Carana-Sampanna (Yang Sempurna Pengetahuan dan Perilakunya), Sugata (Yang Berbahagia), Lokavidhu (Pengenal Seluruh Alam), Anuttara-Purisa-Dammasaratthi (Pembimbing Umat Manusia yang Tiada Bandingnya), Sattha-Devamanussanam (Guru para Dewa dan Manusia), Buddha (Yang Tercerahkan), dan Tathagata (Yang Telah Datang/Pergi). Beliau juga dikenal dengan sebutan Sakyamuni (Orang Bijaksana dari Suku Sakya) dan kadang disebut sebagai Jina (Sang Penakluk).[6] Menurut tradisi Theravada, Buddha Gotama adalah Buddha ke-25 yang muncul di dunia ini (terdapat 24 Buddha sebelum Gotama jika dihitung sejak masa Buddha Dipankara di mana pertama kali Bodhisatta Gotama menyatakan tekadnya di hadapan seorang Buddha).[7]
Selama 45 tahun berikutnya Buddha mengembara di daerah India utara untuk mengajarkan Dhamma yang ditemukannya kepada semua orang sampai ia meninggal (parinibbana/parinirvana) pada usia 80 tahun di Kusinara dekat Benares.[8]
Gambar 1. Patung Buddha di Candi Borobudur
Seperti halnya istilah Buddha, istilah Mahavira (secara harfiah berarti “Pahlawan Besar”) juga merupakan gelar. Nama aslinya adalah Vardhamana dari keluarga Kasyapa (Kassapa) yang merupakan keluarga bangsawan dari suku Naya atau Jnatri (Nata). Suku ini juga menyatakan dirinya berasal dari dinasti Ikshvaku. Ayahnya adalah pemimpin suku bernama Siddhartha[1] di Kundapura atau Kundagrama dan ibunya bernama Trisala. Sebelum mengandung bayi Vardhamana, ibunya mengalami 16 mimpi menguntungkan, di antaranya seekor gajah putih, seekor banteng putih, seekor singa, dewi Sri, bulan purnama, matahari terbit, lautan susu, dst.[2]
Ia lahir di Kundagrama yang berada di dekat kota Vaisali (Vesali). Ia menikah dengan Yasodha[3] pada usia muda dan menurut tradisi Svetambara, memiliki seorang putri bernama Priyadarsana atau Anojja. Ia memiliki kakak kandung bernama Nandivardhana[4] (Vardhamana adalah anak kedua dan memiliki adik bernama Sudarsana).
Vardhamana meninggalkan keduniawian pada usia 30 tahun setelah kedua orang tuanya meninggal dan dengan persetujuan paman dan kakaknya. Dengan berlatih praktik keras (tapa) selama 12 tahun, Vardhamana mencapai kemahatahuan (kevala jnana) sebagai seorang Tirthankara (Pembuat Penyeberangan) atau Jina/Jaina (Sang Penakluk).[5]
Sejak pencerahannya, para pengikut Mahavira juga menyebutnya sebagai Arihant/Arahant (Yang Layak Dihormati), Buddha (Yang Tercerahkan), Vira (Pahlawan), Bhagavant/Bhagava (Yang Dimuliakan), Nayaputta/Nataputta (Putra dari Suku Naya/Nata), Muni (Orang Bijaksana), Arya (Orang Suci), Mahesi (Orang Bijaksana yang Mulia), Nigantha/Nirgantha (Bebas dari Ikatan), dan Kevalin (Yang Maha Tahu).[6] Menurut agama Jain sendiri, Mahavira merupakan Tirthankara ke-24 yang muncul di dunia ini dalam siklus dunia saat ini.[7]
Selama 30 tahun berikutnya Mahavira mengembara ke seluruh pelosok India untuk mengajarkan Dharma yang ia temukan kepada semua orang sampai ia meninggal (nirvana) pada usia 72 tahun di Papa atau Pava, sebelum wafatnya Buddha.[8]
Gambar 2. Patung Mahavira
Terdapat kemiripan antara Buddha dan Mahavira, yaitu sbb:
[1] Sama-sama berasal dari kasta bangsawan (ksatria) dan mengklaim berasal dari keturunan Dinasti Ikshvaku/Dinasti Matahari (Suryavamsa). Yang menariknya, nama ayah Mahavira sama dengan nama asli Buddha (sama-sama bernama Siddhartha).
[2] Sebelum mengandung keduanya, masing-masing ibunya bermimpi hal luar biasa yang menyatakan sang anak akan menjadi manusia luar biasa kelak.
[3] Nama istri Mahavira (Yasodha) mirip dengan nama istri Buddha (Yasodhara).
[4] Nama kakak kandung Mahavira (Nandivardhana) mirip dengan nama saudara tiri Buddha (Nanda).
[5] Sama-sama berlatih pertapaan keras bertahun-tahun setelah meninggalkan kehidupan berumah tangga pada usia muda. Bedanya, Buddha menganggap latihan keras tersebut sia-sia dan menemukan metode yang menghindari ekstrem latihan keras dan ekstrem pemanjaan diri dalam kesenangan indria (jalan tengah), sedangkan Mahavira menganggap latihan kerasnya berhasil membawanya pada pencerahan dan kemudian mengajarkan metode tapa tersebut kepada pengikutnya.
[6] Memiliki kesamaan gelar/julukan yang disematkan oleh para pengikutnya masing-masing, yaitu Buddha, Arahant/Arihant, Bhagava/Bhagavant, dan Jina. Atribut yang sama ini disebabkan karena gelar/julukan tersebut adalah umum dipakai oleh aliran-aliran Sramanisme saat itu untuk menggambarkan guru spiritual mereka masing-masing. Namun agama Buddha lebih menyukai gelar Buddha untuk Siddhartha Gotama (sehingga disebut Buddhisme), sedangkan agama Jain lebih menyukai gelar Jina/Jaina untuk Vardhamana (sehingga disebut Jainisme).
[7] Kemiripan konsep silsilah makhluk tercerahkan (Buddha/Tirthankara) antara kedua agama. Menurut agama Buddha, Buddha Gotama merupakan Buddha ke-25, sedangkan menurut agama Jain, Mahavira merupakan Tirthankara ke-24 dalam siklus dunia saat ini. Menurut tradisi kedua agama, Buddha Gotama dan Mahavira bukanlah pendiri/pencetus agama masing-masing, melainkan bagian dari serangkaian makhluk tercerahkan yang menemukan kembali kebenaran (Dhamma/Dharma) yang telah ada sebelumnya.
[8] Keduanya sama-sama merupakan guru spiritual yang mengembara ke berbagai daerah di India untuk mengajarkan Dharma/Dhamma yang mereka temukan. Akhir hayat keduanya sama-sama terjadi di sebuah kota kecil yang relatif berdekatan (Pava, tempat wafatnya Mahavira, terletak 15 km sebelah timur Kusinara, tempat wafatnya Buddha). Teks Buddhis mencatat peristiwa kematian Mahavira (Nigantha Nataputta) di Pava dalam DN 29 Pasadika Sutta dan MN 104 Samagama Sutta ketika Samanera Cunda baru saja datang dari Pava dan memberitahukan kepada Sang Buddha tentang wafatnya Mahavira dan terpecahnya para siswanya setelah sang guru meninggal akibat perselisihan sehubungan dengan ajarannya sehingga Sang Buddha mengajarkan kepada para bhikkhu tentang pentingnya kerukunan dalam Sangha Buddhis dan pelestarian ajaran Buddha setelah beliau wafat. (Sayangnya, ini tidak bertahan lama karena hal yang dialami Jainisme lebih dulu ini akhirnya juga menimpa Buddhisme beberapa abad kemudian dengan terjadinya perpecahan aliran-aliran Buddhis).
Karena Mahavira tercatat meninggal lebih dulu daripada Sang Buddha dalam teks Buddhis, ini membuktikan bahwa tradisi Jainisme lebih tua daripada Buddhisme. Selain itu, teks-teks Buddhis (Nikaya dan Āgama Buddhis) awal sering menyebutkan aliran Nigantha/Jainisme sebagai rival utama Buddhisme yang dikritik oleh Sang Buddha (misalnya dalam MN 14, MN 56, MN 58, dan MN 101), sedangkan teks-teks Jain awal (Āgama Jain) hampir tidak pernah menyebutkan tentang Buddhisme. Ini juga membuktikan bahwa pada saat Buddhisme muncul Jainisme sudah berkembang sehingga Buddhisme menganggap Jainisme sebagai rival, sedangkan Jainisme sendiri yang lebih senior hampir tidak pernah mendengar tentang Buddhisme. Namun demikian, baik dalam teks-teks Buddhis maupun Jain tidak disebutkan bahwa Mahavira pernah bertemu dengan Buddha (hanya mengetahui ajaran yang lain dari perkataan orang lain).
Dari kemiripan kedua tokoh ini, ada ahli sejarah yang menganggap keduanya adalah orang yang sama dan Buddhisme tak lain merupakan aliran sempalan dari Jainisme, tetapi hal ini dibantah oleh mayoritas ahli sejarah karena banyak hal yang berbeda dari kedua tokoh ini, bahkan ajaran keduanya juga sangat berbeda walau ada kesamaan istilah doktrinal (akan dibahas di bawah ini). Kemiripan kehidupan pribadi Buddha dan Mahavira adalah wajar karena keduanya muncul dan mengajar pada waktu dan daerah yang sama sehingga nama-nama yang sama/mirip adalah nama-nama yang umum digunakan pada masa tersebut.
Perbandingan Ajaran Buddha dan Jain
Seperti halnya kehidupan tokoh guru spiritualnya masing-masing, ajaran Buddhisme dan Jainisme juga memiliki hal yang serupa tetapi tidak sama.
Seperti yang telah disinggung di atas, Buddhisme mengajarkan jalan tengah untuk mencapai pembebasan (vimutti/moksha) dari lingkaran kelahiran kembali (samsara) yang disebut Nibbana/Nirvana, tujuan akhir kehidupan spiritual Buddhis. Menurut kotbah pertama Sang Buddha, jalan tengah tersebut tak lain adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan (atthangika ariya magga/asthangika arya marga) [untuk selanjutnya akan disingkat menjadi JMB8], yang terdiri dari pandangan benar (samma ditthi/samyak drsti), kehendak/pikiran benar (samma sankappa/samyak samkalpa), ucapan benar (samma vacca/samyak vaca), perbuatan benar (samma kammanta/samyak karmanta), penghidupan/pencaharian benar (samma ajiva/samyak ajiva), upaya/usaha benar (samma vayama/samyak vyayama), perhatian benar (samma sati/samyak smrti), dan konsentrasi benar (samma samadhi/samyak samadhi).
Dalam teks-teks Buddhis awal (misalnya MN 27), karir spiritual seorang praktisi monastik Buddhis digambarkan sbb:
- Ketika seseorang mendengar ajaran Buddha, ia memperoleh keyakinan (saddha) kepada Sang Buddha dan memandang kehidupan berumah tangga adalah berdebu atau penuh rintangan untuk menjalankan kehidupan spiritual sehingga ia memutuskan untuk meninggalkan keduniawian menjadi seorang pertapa Buddhis (bhikkhu). Kehendak untuk meninggalkan keduniawian ini adalah kehendak benar dari JMB8.
- Setelah meninggalkan keduniawian, ia menghindari pembunuhan makhluk hidup, pengambilan apa yang tidak diberikan, dan hubungan seksual (hidup selibat). Ini merupakan latihan perbuatan benar dari JMB8.
- Ia juga menghindari ucapan salah/dusta, fitnah/memecah belah, ucapan kasar, dan gosip/omong kosong. Ini tak lain adalah latihan ucapan benar dari JMB8.
- Selain itu, ia juga menjalankan latihan moralitas (sila) lainnya yang antara lain: tidak merusak benih dan tanaman, makan satu kali sebelum tengah hari, menghindari menari, menyanyi, musik, dan pertunjukan, menghindari mengenakan kalung bunga, wewangian, dan riasan, menghindari tempat duduk yang tinggi dan mewah, serta menghindari menerima emas dan perak. Ia juga menghindari penghidupan seperti halnya umat awam, yaitu menghindari membeli dan menjual, menghindari timbangan salah, logam palsu, dan ukuran salah, menghindari menerima suap, kecurangan, penipuan, dan muslihat, menghindari melukai, membunuh, mengikat, merampok, menjarah, dan kekerasan. Ini adalah penghidupan benar dari JMB8.
- Ia melatih kepuasan dengan jubah untuk melindungi tubuhnya dan dengan mangkuk untuk menerima dana makanan untuk memelihara tubuhnya.
- Ia melatih pengendalian indria, yaitu ketika menanggapi objek bentuk, suara, bebauan, rasa kecapan, sentuhan, dan objek pikiran dengan pancaindria dan indria pikiran, ia mengendalikan indria-indriannya agar kondisi-kondisi tidak bermanfaat tidak muncul (berupa ketamakan dan penolakan) dalam dirinya. Ini juga adalah latihan usaha benar dari JMB8.
- Ia bertindak dengan penuh kewaspadaan ketika melakukan aktivitas sehari-harinya (berjalan, berdiri, duduk, tidur, terjaga, berbicara, dan berdiam diri). Ini merupakan salah satu bentuk meditasi Buddhis dalam kehidupan sehari-hari.
- Setelah kembali dari menerima dana makanan, ia duduk bersila mengembangkan perhatian (mindfulness) hingga dapat meninggalkan lima rintangan batin (nivarana), yaitu keinginan/nafsu indria, kebencian, kelambanan dan ketumpulan, kegelisahan dan kekhawatiran, serta keragu-raguan. Ini merupakan bentuk meditasi formal Buddhis yang tak lain adalah latihan perhatian benar dari JMB8.
- Setelah meninggalkan lima rintangan, ia mencapai tingkat konsentrasi meditatif dari jhana I s/d IV. Pencapaian jhana-jhana ini merupakan konsentrasi benar dari JMB8. Dengan pikiran yang terkonsentrasi dan murni karena pencapaian jhana IV, ia mengarahkan pikirannya pada pengetahuan mengingat kehidupan lampau, yang merupakan pengetahuan sejati pertama yang ia peroleh. Kemudian ia memperoleh pengetahuan sejati kedua, yaitu pengetahuan kematian dan kelahiran kembali makhluk-makhluk berdasarkan karmanya masing-masing (kemampuan batin mata dewa).
- Akhirnya, ia mengarahkan pikirannya pada pengetahuan hancurnya noda-noda, pengetahuan sejati ketiga/terakhir, dengan memahami sebagaimana adanya Empat Kebenaran Mulia, yaitu dukkha (penderitaan/ketidakpuasan), munculnya/sebab dukkha (= ketagihan/keinginan [tanha]), lenyapnya dukkha (= Nibbana), dan jalan menuju lenyapnya dukkha (= JMB8). Pemahaman/penembusan empat kebenaran mulia ini merupakan pandangan benar dari JMB8. Dengan demikian, ia terbebas dari noda-noda (asava) keinginan indria, penjelmaan, dan ketidaktahuan; maka ia mencapai pembebasan dari kelahiran kembali selamanya (merealisasi Nibbana). Inilah pencapaian kesucian Arahant dalam Buddhisme.
Pandangan benar adalah yang terpenting dalam latihan spiritual Buddhis (oleh sebab itu dimasukkan dalam urutan pertama dalam JMB8, lihat juga dalam MN 117). Pandangan benar merupakan pemahaman yang benar atas fenomena kehidupan ini sebagaimana adanya, yang mencakup konsep-konsep seperti kelahiran kembali (punabhava/punarbhava), hukum sebab akibat perbuatan (kamma/karma), ketidakkekalan (anicca), dukkha (Empat Kebenaran Mulia), dan bukan diri (anatta). Dua konsep yang pertama (kelahiran kembali dan karma) merupakan pandangan benar duniawi (lokiya sammaditthi) yang diperlukan agar seseorang menjadi bermoral dan dapat terlahir kembali di alam-alam lebih baik (alam manusia dan alam dewa/surga), sedangkan sisanya (anicca, dukkha, anatta) adalah pandangan benar adiduniawi (lokuttara sammaditthi) yang mutlak diperlukan untuk mencapai pencerahan/Nibbana. Dari semua konsep pandangan benar ini, konsep anatta (anatman) yang menolak keberadaan diri/jiwa/roh yang independen adalah ciri khas Buddhisme yang membedakannya dari ajaran-ajaran lain (termasuk Brahmanisme dan Jainisme yang mengajarkan adanya diri/jiwa).
Gambar 3. Para bhikkhu Buddhis sedang berpindapata (berkeliling mengumpulkan dana makanan) dari para umat.
Sedangkan Jainisme walaupun sama-sama bertujuan pada pembebasan (moksha) dari kelahiran kembali yang juga disebut Nirvana memiliki jalan/metode yang sedikit berbeda dengan Buddhisme. Jalan menuju pembebasan (moksha marga) ini menurut Jainisme adalah tiga permata (ratnatraya), yang terdiri dari penglihatan/pandangan benar (samyak darsana), pengetahuan benar (samyak jnana), dan perilaku benar (samyak carita/caritra). [Dalam Buddhisme tiga pertama (tiratana/triratna) menunjuk pada tiga pilar utama Buddhisme, yaitu Buddha sebagai guru junjungan agung, Dhamma/Dharma sebagai ajarannya, dan Sangha sebagai komunitas monastik yang menjalankan dan melestarikan ajaran tersebut.]
Pandangan benar versi Jain (seringkali diterjemahkan sebagai keyakinan benar) adalah keyakinan terhadap entitas/substansi/realitas yang disebut tattva, yang terdiri atas jiwa (jiva), non-jiwa (ajiva), arus masuk (asrava/asava), ikatan (bandha), penghentian karma (samvara), pemisahan/penghancuran karma (nirjara), dan pembebasan (moksha).
1) Jiwa adalah diri/personalitas/kesadaran yang memberikan kehidupan pada semua makhluk dan terpisah dari tubuh jasmani yang mewadahinya. Jiwa tidak dapat diciptakan ataupun dihancurkan dan mengalami kelahiran dan kematian berulang-ulang (reinkarnasi). Namun, jiwa dalam Jainisme berbeda dengan diri/atman dalam Brahmanisme yang merupakan manifestasi Brahman (Yang Absolut) [dipersonifikasikan sebagai Brahma sang pencipta] karena Jainisme juga menganut non-teisme/ateisme seperti hal Buddhisme dan menyatakan dunia/alam semesta yang tiada awal dan tiada akhir tidak diciptakan oleh sosok entitas tertinggi apa pun.
Jiwa dibedakan atas yang tidak bergerak (sthavara) dan yang bergerak (trasa). Jiwa yang tidak bergerak terdiri dari satu indria (indria badan/kulit) dan tidak dapat bergerak bebas adalah yang berbadan tanah, air, api, udara, dan tumbuhan. (Buddhisme tidak menganggap empat unsur fisik dan tumbuhan sebagai makhluk hidup.) Jiwa yang bergerak dapat terdiri dari dua indria (badan dan lidah), seperti cacing, keong, lintah, siput, dan tiram; tiga indria (indria badan, lidah, dan hidung), seperti kutu dan rayap; empat indria (indria badan, lidah, hidung, dan telinga), seperti ngengat, lalat, lebah, dan agas; serta lima indria (indria badan, lidah, hidung, telinga, dan mata), yaitu makhluk-makhluk sisanya, seperti hewan-hewan yang hidup di air, darat, angkasa, makhluk neraka, manusia, dan para dewa.
2) Non-jiwa merupakan segala sesuatu yang tidak memiliki kehidupan (lawan dari jiwa) dan terdiri atas materi/fisik/jasmani (pudgala), media pergerakan (dharma), media diam (adharma), ruang (akasa), dan waktu (kala). Materi merupakan sesuatu yang memiliki bentuk (rupa) dan dicirikan oleh sentuhan, rasa, bebauan, dan warna. Media pergerakan dan media diam masing-masing merupakan substansi yang menyebabkan bergerak/berpindahnya dan tidak bergeraknya (berdiamnya) makhluk hidup dan materi. Ruang memberikan tempat kediaman bagi makhluk hidup dan materi berupa dunia/alam semesta ini (loka) dan di luar alam semesta (aloka) terdapat ruang yang tidak terbatas. Waktu berfungsi mendukung substansi lainnya dalam kelangsungannya melalui durasi, perubahan, pergerakan, dan keberlangsungan. (Buddhisme menganggap pergerakan dan diam adalah dua sisi yang berbeda dari hal yang sama dan dimasukkan dalam kategori rupa/bentuk jasmani dari skema pancakkandha/pancaskandha serta tidak menganggap waktu sebagai suatu realitas/fenomena yang tersendiri, melainkan hanyalah konseptual dari durasi/perubahan muncul, bertahan sebentar, dan lenyapnya fenomena batin dan jasmani.)
3) Asrava merupakan aliran materi/partikel karma yang disebabkan oleh aktivitas/perbuatan pikiran, ucapan, dan jasmani, yang menuju jiwa. Berbeda dengan Buddhisme yang hanya menganggap perbuatan pikiran, ucapan, dan jasmani yang dilandasi kehendak/niat sebagai kamma/karma yang dapat menghasilkan akibat baik dan buruk, Jainisme menganggap semua aktivitas/perbuatan adalah karma yang menyebabkan kelahiran kembali di samsara. (Dalam Buddhisme, asava/asrava bukan arus masuk karma menuju jiwa, melainkan noda-noda kekotoran batin yang menyebabkan kelahiran kembali berulang-ulang.)
4) Bandha merupakan menempelnya materi (pudgala) pada jiwa yang dapat menghasilkan karma. Pengikatan karma ini disebabkan oleh pandangan/keyakinan salah (mithya darsana) [tidak meyakini konsep 7 entitas yang dijelaskan di sini, kebalikan dari samyak darsana], tidak berpantang/tanpa pengendalian (avirati) [tidak melindungi makhluk hidup dan tidak mengendalikan indria-indria dan pikiran], kelalaian (pramada), nafsu (kasaya), dan aktivitas (yoga = karma itu sendiri). Karena materi bersifat fisik, maka karma juga bersifat fisik dalam Jainisme.
5) Samvara adalah penghentian masuknya arus materi karma menuju jiwa. Penghentian aktivitas-aktivitas yang membawa pada kelahiran kembali disebut penghentian batin (bhava samvara); ketika aktivitas-aktivitas dihentikan, aliran materi karma terputus, ini disebut penghentian materi (dravya samvara). Cara mencapai penghentian karma ini adalah melalui:
a) pengendalian (gupti), yaitu mengendalikan aktivitas pikiran, ucapan dan jasmani untuk melenyapkan hal-hal yang tidak bermanfaat,
b) kewaspadaan (samiti), yaitu pergerakan penuh kehati-hatian agar tidak menyakiti makhluk hidup saat berjalan, berbicara, makan, mengangkat dan meletakkan sesuatu, serta buang air,
c) kebajikan (dharma), yaitu kesabaran tertinggi untuk melenyapkan kemarahan, kerendahan hati tertinggi untuk melenyapkan kesombongan, kelurusan tertinggi untuk melenyapkan kebengkokan/sifat menipu, kemurnian tertinggi untuk melenyapkan keserakahan, kejujuran tertinggi, pengendalian diri tertinggi, latihan keras (tapa) tertinggi, pelepasan tertinggi (memberi kepada orang-orang suci), ketidakmelekatan tertinggi (melepaskan hiasan tubuh dan pikiran “ini milikku”), dan kehidupan suci (brahmacariya) tertinggi.
d) perenungan/meditasi (anupreksa), yaitu merenungkan ketidakkekalan (anitya), ketidakberdayaan (asarana) [tidak ada yang dapat membantu kita dalam samsara ini, bahkan sanak keluarga, sahabat, dan para dewa sekalipun, selain kebajikan kita sendiri], kelahiran kembali berulang-ulang (samsara), kesendirian (ekatva) [“Aku sendirian mengalami penderitaan hebat dari kelahiran, usia tua, dan kematian yang berulang-ulang; tidak ada yang adalah temanku. Aku lahir sendirian; aku meninggal sendirian. Tidak ada satu pun, sanak keluarga atau yang lain, yang dapat mengambil berbagai penderitaan dari penyakit, usia tua, dan kematian. Sanak keluarga dan sahabat tidak dapat menemaniku melampaui perkuburan. Kebajikan adalah satu-satunya sahabat yang tidak pernah meninggalkanku.”], pembedaan (anyatva) [jiwa adalah berbeda dengan tubuh/badan], kekotoran (asuci) [hal-hal menjijikkan dari tubuh ini], arus masuk (asrava), penghentian karma (samvara), penghancuran karma (nirjara), dunia/alam semesta (loka), sulitnya mencapai pencerahan (bodhidurlabha), dan kebenaran yang dinyatakan Sang Jina (dharmasvakhyatatva) [seperti tidak menyakiti makhluk hidup/ahimsa, kebenaran/satya, kesederhanaan, kesabaran, dst.]
e) penaklukan dengan penahanan (parisahajaya) [menahan penderitaan-penderitaan seperti kelaparan, kehausan, kedinginan, kepanasan, gigitan serangga, ketelanjangan, dst yang muncul ketika seseorang berlatih menuju pembebasan], dan
f) perilaku (caritra) [= samyak caritra, akan dibahas di bawah].
(Berbeda dengan Jainisme, Buddhisme memaknai samvara sebagai pengendalian diri melalui indria-indria yang terkendali.)
6) Nirjara merupakan terpisahnya atau hancurnya karma dari jiwa setelah karma tersebut matang/berbuah (anubhava) dalam bentuk kebahagiaan atau penderitaan. Ada 2 jenis penghancuran karma ini, yaitu melalui matangnya karma secara alamiah (vipakaja) [hancurnya karma setelah ia berbuah dengan sendirinya/pada waktunya] dan melalui pematangan karma sebelum waktunya (avipakaja) [karma yang belum waktunya berbuah tetapi dibuat muncul dan dialami buahnya sebelum waktunya dengan latihan keras (tapa)].
7) Pembebasan (moksha) tercapai ketika tidak ada sebab ikatan karma baru (bandha) seperti keyakinan salah, tanpa pengendalian, dst [lihat no. 4 di atas] dan dengan hancurnya karma yang telah diperoleh sebelumnya (nirjara) [lihat no. 6 di atas]. Dengan demikian, moksha adalah penghancuran total semua karma yang terikat/menempel pada jiwa. Ini adalah keadaan jiwa murni yang bebas dari semua karma yang menyebabkan kelahiran kembali dalam samsara.
Pengetahuan benar, faktor kedua jalan pembebasan Jain, adalah mengetahui objek pengetahuan (7 substansi yang menjadi konsep keyakinan benar di atas) sebagaimana adanya, bebas dari keragu-raguan. Terdapat 5 jenis pengetahuan benar, yaitu:
1) Pengetahuan sensorik (mati-jnana), yaitu pengetahuan yang muncul dari perenungan terhadap objek pengetahuan melalui indria dan pikiran.
2) Pengetahuan kitab suci (sruta-jnana), yaitu pengetahuan yang diperoleh dari mendengar ajaran. Seperti halnya Buddhisme, ajaran Jainisme diturunkan secara lisan selama berabad-abad sebelum akhirnya ditulis. Mendengar ajaran dari seorang guru dan menembusnya dengan perenungan masih merupakan hal yang penting bagi praktisi Buddhis maupun Jain sampai saat ini.
3) Pengetahuan kewaskitaan/clairvoyance (avadhi-jnana), yaitu pengetahuan yang diperoleh tanpa melalui perantaraan indria dan pikiran maupun mendengar, tetapi memiliki keterbatasan dalam substansi, cara, waktu dan tempat. Pengetahuan ini dimiliki oleh para dewa dan makhluk neraka, sedangkan manusia dapat memiliki pengetahuan ini melalui penghancuran karma yang menghalanginya.
4) Pengetahuan telepati (manahparyaya-jnana), yaitu pengetahuan atas objek yang berada dalam pikiran orang lain (membaca pikiran orang lain).
5) Kemahatahuan (kevala-jnana), yaitu pengetahuan atas segala hal dan segala cara tanpa batas secara bersamaan. Pengetahuan ini mutlak diperlukan untuk mencapai pembebasan (moksha) dan dicapai melalui penghancuran delusi/kebodohan batin (moha), penghalang pengetahuan (jnanavarana), penghalang persepsi (darsanavarana), dan karma penghalang (antarayakarma).
Faktor terakhir jalan pembebasan Jain adalah perilaku benar. Seseorang dengan keyakinan benar dan pengetahuan benar yang berkeinginan untuk melenyapkan kelangsungan atau kelahiran kembali melepaskan aktivitas-aktivitas yang menyebabkan arus karma; pelepasan aktivitas-aktivitas ini adalah perilaku benar. Perilaku benar dijalankan dengan melaksanakan lima ikrar besar (mahavrata) yang terdiri dari tidak melukai makhluk hidup (ahimsa), kejujuran (satya), tidak mencuri (acaurya), hidup selibat/menghindari hubungan seksual (brahmacarya), dan ketidakmelekatan/melepaskan semua kepemilikan (aparigraha) [termasuk tidak memakai apa pun sebagai jubah]. Lima ikrar besar ini merupakan latihan keras (tapa) yang telah dilakukan oleh Mahavira sendiri hingga akhirnya dapat mencapai pencerahan.
Dalam hal ahimsa, walaupun Buddhisme juga mengenal istilah ini [namun jarang dipakai], tetapi tidak penerapannya seekstrem seperti Jainisme yang sampai mengajarkan vegetarianisme ketat di mana pengikut Jain tidak boleh memakan daging, ikan, telur, bawang putih, bawang bombay atau akar sayuran lainnya (mencabut akar tanaman dapat membunuh mikroorganisme yang hidup di dalam tanah), madu (dianggap sebagai kekerasan terhadap lebah), alkohol, makanan fermentasi (dianggap sebagai kekerasan terhadap mikroorganisme), air yang belum disaring (mungkin memiliki organisme kecil di dalamnya), jamur, dan ragi.
Gambar 4. Para pertapa pria Jain yang disebut muni atau nirgantha (yang tidak memakai jubah di tengah) bersama para pertapa wanitanya yang disebut aryika atau sadhvi (yang berjubah putih di sekeliling) sedang berkumpul bersama dalam suatu acara religius.
Dari penjelasan panjang lebar di atas, beberapa kemiripan (persamaan dan perbedaan) ajaran Buddha dan Jain adalah:
1. Sama-sama bertujuan mencapai pembebasan (moksha) atau Nibbana/Nirvana, tetapi dengan konsep yang berbeda. Buddhisme menyatakan Nibbana tidak dicirikan oleh suatu diri/jiwa (anatta) [Nibbana adalah lenyapnya dukkha (kebenaran mulia ketiga dari empat kebenaran mulia), yaitu dengan lenyapnya ketagihan/keinginan (tanha)], sedangkan Jainisme menyatakan Nirvana dicapai ketika diri/jiwa bebas dari arus karma yang menempelinya.
2. Metode mencapai pembebasan sama-sama diawali dengan pemahaman konsep yang dianggap benar dalam kedua ajaran. Metode Buddhisme (yaitu JMB8) diawali dengan pandangan benar, yang menekankan pemahaman konsep anatta (bukan diri) sebagai antitesis/lawan dari pandangan salah tentang diri/personalitas, sedangkan metode Jainisme (yaitu tiga permata) diawali dengan keyakinan benar, yang menekankan keyakinan terhadap konsep jiva (jiwa) sebagai substansi kehidupan.
3. Walaupun sama-sama mengutamakan praktik meninggalkan kehidupan duniawi sebagai pertapa (samana/sramana), jalan menuju pembebasan dalam Buddhisme menghindari latihan keras yang ekstrem (disebut jalan tengah), sedangkan jalan menuju pembebasan dalam Jainisme justru menekankan pentingnya latihan keras (tapa) seperti yang telah dilakukan Mahavira sendiri. Namun metode keduanya sama-sama menghindari kemanjaan dalam kesenangan indria dan berusaha melenyapkan nafsu keinginan yang dianggap menyebabkan kelahiran yang berulang-ulang. (Mungkin karena sifat latihan kerasnya maka ajaran Jain sulit menyebar keluar India pada masa kuno seperti halnya Buddhisme, walaupun pada masa modern saat ini Jainisme sudah menyebar ke seluruh dunia)
4. Keduanya sama-sama tidak mengakui sosok pencipta yang menciptakan alam semesta ini beserta seluruh isinya. Buddhisme mengajarkan alam semesta mengalami siklus kehancuran dan pembentukan kembali yang berulang-ulang tanpa awal dan tanpa akhir, sedangkan Jainisme tidak mengajarkan siklus kehancuran dan pembentukan kembali demikian, melainkan alam semesta adalah tiada awal dan tiada akhir sama sekali (kekal selamanya) walaupun mengalami siklus masa kenaikan (di mana terdapat kebahagiaan dan kenaikan usia rata-rata manusia) dan masa kemerosotan (di mana terdapat penderitaan dan penurunan usia rata-rata manusia).
5. Sama-sama meyakini adanya hukum karma dan kelahiran kembali dengan konsep yang berbeda. Sementara Buddhisme mengajarkan karma sebagai proses sebab akibat (kausalitas) semata tanpa adanya pelaku/agen yang berbuat dan menerima akibat perbuatan serta mengalami kelahiran kembali, Jainisme mengajarkan karma sebagai arus materi yang menempel pada jiwa karena adanya aktivitas pikiran, ucapan, dan jasmani. Oleh sebab itu, dalam Jainisme ada praktik religius yang disebut sallekkhana, yaitu penghentian segala aktivitas kehidupan bahkan tidak makan dan minum sama sekali, untuk menghentikan arus karma dan mencapai pembebasan dari kelahiran kembali; sedangkan Buddhisme tidak menganggap penghentian karma/perbuatan/aktivitas sebagai jalan membebaskan diri dari samsara, melainkan dengan cara menghentikan sebab kelahiran kembali, yaitu tanha (keinginan/ketagihan), melalui meditasi (perhatian benar) hingga mencapai konsentrasi meditatif (jhana).




