Wiki DhammaCitta

Buddhisme Indonesia

Alat Pengguna

Alat Situs


jainisme

Ini adalah dokumen versi lama!


MENGENAL JAINISME DAN PERBANDINGANNYA DENGAN BUDDHISME

Mempelajari agama secara pendekatan historis akan lebih komprehensif jika kita juga mengkaji ajaran-ajaran agama lain yang ada pada zaman yang sama atau lebih dulu muncul di daerah yang sama. Oleh sebab itu, pemahaman sejarah dan ajaran Jain sebagai salah satu aliran Sramanisme yang masih bertahan sampai saat ini sangat penting untuk mengetahui bagaimana Buddhisme berkembang pada masa awalnya di India kuno.

Jainisme merupakan agama yang lahir sezaman tetapi lebih tua daripada Buddhisme. Dikenal sebagai aliran Nigantha dalam teks-teks Buddhis, Jainisme secara historis merupakan aliran Sramana yang didirikan oleh Nigantha Nataputta atau dikenal sebagai Mahavira oleh para pengikutnya saat ini. Buddhisme juga lahir dari aliran Sramana (Sramanisme) pada masa India kuno. Sramanisme adalah sistem religius yang populer pada abad ke-6 SM selain agama utama para brahmana yang berdasarkan Veda (disebut Brahmanisme) di India.

Perbandingan Biografi/Riwayat Hidup Buddha dan Mahavira

Buddha (secara harfiah berarti “Yang Tercerahkan”) yang kita kenal dalam sejarah bernama Siddhattha (Siddhartha) dari keluarga Gotama (Gautama) yang merupakan keluarga bangsawan (ksatriya) dari suku Sakya. Suku Sakya menyatakan dirinya berasal dari dinasti Ikshvaku (Okkaka), silsilah kasta ksatriya yang terkemuka di India yang dikenal juga sebagai Dinasti Matahari (Suryavamsa).[1] Ayahnya adalah pemimpin suku Sakya bernama Suddhodana di Kapilavatthu (Kapilavastu) dan ibunya bernama Mahamaya. Menurut tradisi Buddhis, sebelum mengandung bayi Bodhisatta (calon Buddha), ibunya bermimpi dimasuki seekor gajah putih bergading enam dari sisi kanan, yang berarti akan mengandung anak yang akan menjadi seorang penguasa dunia (cakkavatti) atau seorang Yang Tercerahkan (Buddha).[2]

Ia lahir di Taman Lumbini, tak jauh dari Kapilavatthu. Ia menikah dengan Yasodhara[3] pada usia muda dan memiliki seorang putra bernama Rahula. Ia memiliki adik tiri (yang berbeda ibu) bernama Nanda[4].

Gotama meninggalkan keduniawian dan menjadi pertapa pada usia 29 tahun (tanpa persetujuan orang tuanya menurut tradisi). Ia berlatih praktik keras (tapa) selama 6 tahun lalu menyadari kesia-siaan praktik keras dan mencapai pencerahan (bodhi) sebagai seorang Buddha di bawah pohon banyan (beringin India) yang dikenal sebagai pohon bodhi.[5]

Setelah pencerahannya, Gotama diatributkan sepuluh sebutan/gelar oleh para pengikutnya, yaitu Bhagava (Yang Dimuliakan), Arahant (Yang Layak Dihormati), Samma Sambuddha (Yang Tercerahkan Sempurna dengan Upayanya Sendiri), Vijja-Carana-Sampanna (Yang Sempurna Pengetahuan dan Perilakunya), Sugata (Yang Berbahagia), Lokavidhu (Pengenal Seluruh Alam), Anuttara-Purisa-Dammasaratthi (Pembimbing Umat Manusia yang Tiada Bandingnya), Sattha-Devamanussanam (Guru para Dewa dan Manusia), Buddha (Yang Tercerahkan), dan Tathagata (Yang Telah Datang/Pergi). Beliau juga dikenal dengan sebutan Sakyamuni (Orang Bijaksana dari Suku Sakya) dan kadang disebut sebagai Jina (Sang Penakluk).[6] Menurut tradisi Theravada, Buddha Gotama adalah Buddha ke-25 yang muncul di dunia ini (terdapat 24 Buddha sebelum Gotama jika dihitung sejak masa Buddha Dipankara di mana pertama kali Bodhisatta Gotama menyatakan tekadnya di hadapan seorang Buddha).[7]

Selama 45 tahun berikutnya Buddha mengembara di daerah India utara untuk mengajarkan Dhamma yang ditemukannya kepada semua orang sampai ia meninggal (parinibbana/parinirvana) pada usia 80 tahun di Kusinara dekat Benares.[8]

buddha_borobudur.jpg

Gambar 1. Patung Buddha di Candi Borobudur

Seperti halnya istilah Buddha, istilah Mahavira (secara harfiah berarti “Pahlawan Besar”) juga merupakan gelar. Nama aslinya adalah Vardhamana dari keluarga Kasyapa (Kassapa) yang merupakan keluarga bangsawan dari suku Naya atau Jnatri (Nata). Suku ini juga menyatakan dirinya berasal dari dinasti Ikshvaku. Ayahnya adalah pemimpin suku bernama Siddhartha[1] di Kundapura atau Kundagrama dan ibunya bernama Trisala. Sebelum mengandung bayi Vardhamana, ibunya mengalami 16 mimpi menguntungkan, di antaranya seekor gajah putih, seekor banteng putih, seekor singa, dewi Sri, bulan purnama, matahari terbit, lautan susu, dst.[2]

Ia lahir di Kundagrama yang berada di dekat kota Vaisali (Vesali). Ia menikah dengan Yasodha[3] pada usia muda dan menurut tradisi Svetambara, memiliki seorang putri bernama Priyadarsana atau Anojja. Ia memiliki kakak kandung bernama Nandivardhana[4] (Vardhamana adalah anak kedua dan memiliki adik bernama Sudarsana).

Vardhamana meninggalkan keduniawian pada usia 30 tahun setelah kedua orang tuanya meninggal dan dengan persetujuan paman dan kakaknya. Dengan berlatih praktik keras (tapa) selama 12 tahun, Vardhamana mencapai kemahatahuan (kevala jnana) sebagai seorang Tirthankara (Pembuat Penyeberangan) atau Jina/Jaina (Sang Penakluk).[5]

Sejak pencerahannya, para pengikut Mahavira juga menyebutnya sebagai Arihant/Arahant (Yang Layak Dihormati), Buddha (Yang Tercerahkan), Vira (Pahlawan), Bhagavant/Bhagava (Yang Dimuliakan), Nayaputta/Nataputta (Putra dari Suku Naya/Nata), Muni (Orang Bijaksana), Arya (Orang Suci), Mahesi (Orang Bijaksana yang Mulia), Nigantha/Nirgantha (Bebas dari Ikatan), dan Kevalin (Yang Maha Tahu).[6] Menurut agama Jain sendiri, Mahavira merupakan Tirthankara ke-24 yang muncul di dunia ini dalam siklus dunia saat ini.[7]

Selama 30 tahun berikutnya Mahavira mengembara ke seluruh pelosok India untuk mengajarkan Dharma yang ia temukan kepada semua orang sampai ia meninggal (nirvana) pada usia 72 tahun di Papa atau Pava, sebelum wafatnya Buddha.[8]

mahavira.jpg

Gambar 2. Patung Mahavira

jainisme.1764426012.txt.gz · Terakhir diubah: oleh 127.0.0.1