Ini adalah dokumen versi lama!
Daftar isi
Anatta: Landasan Doktrinal dan Latar Belakang Historis
Konsep Dasar Anatta (Bukan-Diri)
Konsep anatta (bukan-diri) dalam Buddhisme menjelaskan bahwa segala sesuatu bukanlah aku, diriku, dan milikku, termasuk fenomena fisik dan mental (namarupa) yang membentuk kehidupan kita. Dengan merenungkan fenomena fisik dan mental kehidupan sebagai bukan aku, diriku, dan milikku, seseorang dapat terbebaskan dari penderitaan (dukkha) dan mencapai pencerahan atau pembebasan (Nibbana/Nirvana).
Selain itu, konsep anatta juga berhubungan dengan konsep sebab akibat (kemunculan dan kelenyapan/sebab-akibat) yang saling bergantungan bahwa segala sesuatu muncul karena sebab dan kondisi; tanpa sebab dan kondisi yang menjadikanya ada/muncul, maka fenomena tersebut tidak dapat berdiri sendiri/independen dari fenomena lainnya. Oleh sebab itu, dalam Buddhis ada ungkapan terkenal yang diucapkan pertama kali oleh salah satu siswa pertama Sang Buddha bernama Bhikkhu Asajji kepada Upatissa (yang kelak dikenal sebagai Sariputta, siswa utama Sang Buddha yang terkemuka dalam kebijaksanaannya) ketika ditanya apakah inti ajaran Buddha:
ye dhammā hetuppabhavā tesaṁ hetuṁ tathāgato āha,
tesaṃ ca yo nirodho evaṁvādī mahāsamaṇo.
Dari fenomena-fenomena yang muncul karena sebab,
Sebabnya telah dinyatakan oleh Sang Tathagata,
Dan juga pelenyapannya;
Inilah ajaran Sang Pertapa Agung.
Syair ini mengandung inti ajaran Buddha tentang kemunculan bergantungan yang juga menjadi inti ajaran anatta. Karena mendengar syair ini, Upatissa mencapai kesucian pemasuk-arus (Sotapanna) dan ketika ia mengulangi syair ini kepada temannya, Kolita (yang kelak dikenal sebagai Moggallana, siswa utama Sang Buddha yang terkemuka dalam kekuatan batinnya), ia juga menjadi seorang Sotapanna.
Anatta dalam Buddhisme Awal
Dalam Buddhisme awal, secara umum konsep/doktrin bukan diri (anatta) merupakan ajaran utama Sang Buddha untuk membantah doktrin atman dan Brahman dari ajaran Brahmanisme serta pandangan tentang diri/personalitas (sakkayaditthi) lainnya dari ajaran aliran-aliran Sramana lain yang sezaman. Dalam Brahmanisme, atman merupakan inti personalitas kekal yang setelah kematian mengalami reinkarnasi dan mencapai pembebasan dari reinkarnasi (moksha) serta menyebabkan tubuh jasmani ini dapat berfungsi. Atman adalah diri/jiwa kecil pada setiap makhluk yang merupakan bagian dari diri besar/jiwa universal yang disebut Brahman (Yang Absolut), yang mendasari bekerjanya alam semesta. Penyatuan atman dengan Brahman inilah yang disebut moksha, tujuan akhir kehidupan spiritual dalam Brahmanisme.
Dalam kotbah keduanya yang berjudul Anattalakkhana Sutta (SN 22.59) Sang Buddha mengatakan bahwa unsur-unsur pembentuk kehidupan (disebut lima kelompok unsur kehidupan atau pancakkandha/pancaskandha) yang terdiri bentuk jasmani (rupa), perasaan (vedana), persepsi (sanna/samjna), bentukan kehendak/bentukan pikiran (sankhara/samskara), dan kesadaran (vinnana/vijnana) masing-masing adalah bukan diri (anatta) berdasarkan 2 argumen berikut:
1) Jika masing-masing unsur kehidupan (kandha/skandha) ini adalah diri (atta), maka unsur tersebut tidak akan menyebabkan penderitaan (dukkha), dan adalah mungkin untuk mengharapkan agar unsur itu sesuai dengan keinginan kita. Misalnya tubuh jasmani ini bukan diri/jiwa/roh karena tubuh jasmani ini menyebabkan penderitaan dan tidak mungkin mengharapkannya menjadi sesuai keinginan kita; demikian juga perasaan, persepsi, bentukan kehendak, dan kesadaran.
2) Masing-masing unsur kehidupan ini adalah tidak kekal (anicca/anitya) dan mengalami perubahan (viparinama), apa pun yang tidak kekal adalah penderitaan (dukkha), dan apa pun yang adalah penderitaan dan tunduk pada perubahan adalah “bukan milikku, bukan aku, ini bukan diriku”.
Bagi seseorang yang merenungkan dengan kebijaksanaan bahwa unsur-unsur kehidupan sebagai “bukan milikku, bukan aku, ini bukan diriku”, maka ia akan jijik/kecewa (nibbida) terhadap unsur-unsur kehidupan tersebut. Karena kecewa, ia menjadi bosan (kehilangan nafsu = viraga) terhadapnya. Karena bosan, maka ia mencapai pembebasan (vimutti = moksha = Nibbana/Nirvana) sehingga tidak lagi terlahir kembali. Demikianlah Sang Buddha dengan menolak konsep atman dari Brahmanisme menunjukkan bagaimana mencapai tujuan akhir kehidupan spiritual melalui konsep anatta.
Polemik terhadap Anatta dari Ajaran Non-Buddhis
Konsep anatta dalam Buddhisme awal mendapatkan banyak pertanyaan, bantahan, dan kecaman dari ajaran-ajaran lain pada masa itu. Karena konsep anatta menyatakan unsur-unsur kehidupan, termasuk kesadaran, adalah bukan diri/roh/jiwa, maka muncul berbagai problem/pertanyaan, seperti apakah yang terlahir kembali jika tidak ada diri/roh/jiwa? Bagaimanakah hukum karma bekerja mengenali pelakunya dan memberikan akibat/buahnya pada pelakunya yang tepat jika tidak ada diri? Siapakah yang melakukan perbuatan tersebut? Siapakah yang menerima akibat karmanya? dst.
Misalnya, Jainisme (agama Jain) yang lahir sezaman tetapi lebih tua dari Buddhisme (yang dikenal sebagai aliran Nigantha dalam teks-teks Buddhis) menganggap ajaran anatta dari Buddhisme menyalahi doktrin karma dan kelahiran kembali (reinkarnasi) yang diyakini oleh agama-agama India kuno. Dalam teks-teks Jain, agama Buddha dikecam sebagai akiriyavada (doktrin tanpa perbuatan/karma), yaitu tidak mengakui adanya hukum karma dan kelahiran kembali, karena menurut Jainisme tanpa jiwa/roh tidak mungkin proses karma dan kelahiran kembali dapat berlangsung.
Argumen Buddhisme Awal
Dalam teks-teks Buddhis awal sendiri Sang Buddha sering dipertanyakan pertanyaan-pertanyaan sejenis karena mengajarkan anatta, Misalnya dalam MN 109:
Kemudian, dalam pikiran salah seorang bhikkhu muncul pikiran ini: “Jadi, sepertinya, bentuk materi adalah bukan diri, perasaan adalah bukan diri, persepsi adalah bukan diri, bentukan-bentukan adalah bukan diri, kesadaran adalah bukan diri. Kalau begitu, diri apakah, yang melakukan perbuatan sebagai akibat dari apa yang dilakukan oleh apa yang bukan diri?”
Kemudian Sang Bhagavā, dengan pikiranNya mengetahui pikiran bhikkhu tersebut, berkata kepada bhikkhu itu sebagai berikut: “Adalah mungkin, para bhikkhu, seseorang sesat di sini, yang bodoh dan dungu, dengan pikirannya yang dikuasai oleh ketagihan, akan berpikir bahwa ia dapat melampaui pengajaran Sang Guru sebagai berikut: ‘Jadi, sepertinya, bentuk materi adalah bukan diri … kesadaran adalah bukan diri. Kalau begitu, diri apakah, yang melakukan perbuatan sebagai akibat dari apa yang dilakukan oleh apa yang bukan diri?’ Sekarang, para bhikkhu, kalian telah dilatih olehKu melalui tanya jawab dalam berbagai kesempatan sehubungan dengan berbagai hal.
“Para bhikkhu, bagaimana menurut kalian? Apakah bentuk materi adalah kekal atau tidak kekal?” – “Tidak kekal, Yang Mulia.” – “Apakah apa yang tidak kekal adalah penderitaan atau kebahagiaan?” – “Penderitaan, Yang Mulia.” – “Apakah apa yang tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan layak dianggap sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku’?” – “Tidak, Yang Mulia.”
“Para bhikkhu, bagaimana menurut kalian: apakah perasaan … persepsi … bentukan-bentukan … kesadaran adalah kekal atau tidak kekal?” – “Tidak kekal, Yang Mulia.” – “Apakah apa yang tidak kekal adalah penderitaan atau kebahagiaan?” – “Penderitaan, Yang Mulia.” – “Apakah apa yang tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan layak dianggap sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku’?” – “Tidak, Yang Mulia.”
“Oleh karena itu, para bhikkhu, segala jenis bentuk materi apapun, apakah di masa lampau, di masa depan, atau di masa sekarang … segala bentuk materi harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Segala jenis perasaan apapun … Segala jenis persepsi apapun … Segala jenis bentukan-bentukan apapun … Segala jenis kesadaran apapun … segala jenis kesadaran harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’
Dan dalam Madhyama Agama sutra ke-62 (MA 62):
Kemudian para penduduk Magadha berpikir:
“Jika bentuk materi tidak kekal, perasaan … persepsi … bentukan kehendak … kesadaran tidak kekal, maka siapakah yang menjalani dan yang mengalami penderitaan dan kebahagiaan?”
Sang Bhagavā, mengetahui pikiran para penduduk Magadha, berkata kepada para bhikkhu:
“Seorang duniawi yang bodoh, yang tidak terpelajar, menganggap dirinya sebagai “aku adalah diri” dan melekat pada diri. Namun, tidak ada diri; tidak ada yang menjadi milik diri; [semua ini] adalah kosong dari diri dan kosong dari apa pun yang menjadi milik diri. Ketika fenomena muncul, mereka muncul; ketika fenomena lenyap, mereka lenyap. Semua ini [hanyalah] gabungan sebab dan kondisi, yang memunculkan penderitaan. Jika sebab dan kondisi tidak ada, maka semua penderitaan akan lenyap. Adalah karena gabungan sebab dan kondisi sehingga makhluk-makhluk hidup berlanjut dan semua fenomena muncul. Sang Tathāgata, setelah melihat semua makhluk hidup terus-menerus muncul, menyatakan: Terdapat kelahiran dan terdapat kematian. Dengan mata dewa, yang dimurnikan dan melampaui [penglihatan] manusia, aku melihat makhluk-makhluk ketika mereka meninggal dan terlahir kembali gagah atau jelek, bagus atau tidak bagus, ketika mereka datang dan pergi di antara alam-alam kehidupan yang baik atau buruk, sesuai dengan perbuatan mereka [sebelumnya]. Aku melihat ini sebagaimana adanya. Jika makhluk-makhluk hidup ini berperilaku buruk dalam jasmani, ucapan dan pikiran, jika mereka tidak menghina para orang mulia, menganut pandangan salah, dan melakukan perbuatan [berdasarkan] pandangan benar, maka karena sebab dan kondisi ini, saat hancurnya tubuh, setelah kematian, mereka pasti akan pergi ke alam kehidupan yang baik, [bahkan] ke alam surga.
“Mengetahui bahwa ini adalah demikian, aku tidak mengatakan kepada mereka, “Adalah diri yang dapat merasakan, dapat berbicara, yang memberikan ajaran-ajaran, yang melakukan pengembangan, yang mengajarkan pengembangan, yang mengalami buah perbuatan baik atau buruk di sini dan di sana.” Dalam hal ini, seseorang mungkin berpikir, “Ini tidak sesuai; ini tidak dapat dipertahankan.”
“[Tetapi walaupun mereka keberatan] proses ini yang terjadi sesuai dengan Dharma: Karena ini, itu muncul; jika sebab ini tidak muncul, itu tidak muncul. Karena ini ada, itu ada; jika ini lenyap, itu lenyap. Dengan kata lain: dengan ketidaktahuan sebagai kondisi terdapat bentukan kehendak; (dan seterusnya sampai dengan) dengan kelahiran sebagai kondisi terdapat usia tua dan kematian. Jika ketidaktahuan lenyap, bentukan kehendak lenyap (dan seterusnya sampai dengan) jika kelahiran lenyap, usia tua dan kematian lenyap.”
Dalam kutipan teks pertama (MN 109) di atas Sang Buddha tidak berusaha menjelaskan bagaimana proses kelahiran kembali dan bekerjanya hukum karma tanpa melibatkan suatu diri, melainkan beliau mengetahui adanya pandangan salah tentang diri dalam bhikkhu penanya dan menggunakan konsep anatta dalam bentuk tanya jawab standar seperti dalam kotbah kedua Anattalakkhana Sutta untuk membebaskan sang bhikkhu dari pandangan salah tersebut.
Dalam kutipan teks kedua (MA 62) yang berasal dari kanon Buddhis aliran Sarvastivada dalam bahasa Cina, merupakan kotbah Sang Buddha kepada Raja Bimbisara dalam pertemuan pertama mereka, dan tidak memiliki padanan/paralel dalam kanon aliran Theravada dalam bahasa Pali (kisah pertemuan Sang Buddha dengan Raja Bimbisara terdapat dalam Vinaya Theravada, namun isi pengajaran kepada Raja Bimbisara berbeda dengan teks Sarvastivada ini), Sang Buddha menjelaskan bagaimana proses karma dan kelahiran kembali tanpa melibatkan suatu diri melalui sebab akibat (kemunculan & kelenyapan) yang saling bergantungan (paticcasamuppada). Dalam ajaran sebab akibat yang saling bergantungan, proses karma dan kelahiran kembali hanya dipandang sebagai hubungan kondisionalitas/kausalitas (sebab ini mengkondisikan akibat itu) tanpa perlu suatu diri/jiwa/roh sebagai pelaku/agen yang menggerakkannya.
Konsep sebab akibat yang saling bergantungan ini juga digunakan oleh Bhikkhu Nagasena pada abad ke-2 SM untuk menjawab pertanyaan dari Raja Milinda (dikenal dalam sejarah sebagai Menander I yang berkuasa di Bactria, kerajaan kuno yang terletak di Afganistan, Pakistan sampai Iran sekarang yang saat itu dikuasai orang Yunani) seputar konsep karma dan kelahiran kembali Buddhis yang tanpa diri/jiwa/roh yang berpindah. Ini tercatat dalam teks Pali berjudul Milindapanha (yang memiliki padanan/paralel dalam teks berbahasa Cina berjudul Nagasena-bhikshu Sutra) sbb:
M (Milinda): “Apa yang terlahir kembali itu, Nagasena?’
N (Nagasena): “Batin dan jasmani (namarupa).
M: “Apakah batin dan jasmani yang ini juga yang terlahir kembali?”
N: “Bukan, tetapi oleh batin dan jasmani inilah maka perbuatan-perbuatan dilakukan, dan oleh karena perbuatan-perbuatan itulah maka batin dan jasmani yang lain terlahir kembali. Walaupun demikian, batin dan jasmani itu tidak begitu saja terlepas dari hasil perbuatan sebelumnya.”
M: “Berikanlah ilustrasi.”
N: “Seperti halnya api yang dinyalakan seseorang. Setelah merasa hangat, mungkin orang itu pergi meninggalkan dalam keadaan menyala. Andaikan saja api tersebut kemudian menjalar dan membakar ladang orang lain, lalu pemilik ladang itu menyeretnya ke hadapan raja serta menuntut orang yang menyalakan api tersebut. Bila dia berkata, ‘Baginda yang mulia, saya tidak membakar ladang orang ini. Api yang saya tinggalkan itu berbeda dengan api yang membakar ladang orang ini. Saya tidak bersalah’, apakah dia patut dihukum?”
M: “Tentu saja, karena tak peduli apa pun yang dia katakan, api itu berasal dari api sebelumnya.”
N: “Demikian juga, O baginda, oleh batin dan jasmani ini perbuatan-perbuatan dilakukan, dan oleh karena perbuatan-perbuatan itu maka batin dan jasmani baru akan terlahir kembali; tetapi batin dan jasmani tersebut tidak begitu saja terlepas dari hasil perbuatan sebelumnya.”
Dengan demikian, karma dan kelahiran kembali dalam Buddhis dijelaskan dalam rumusan sebab akibat bergantungan sbb: dengan batin dan jasmani saat ini perbuatan dilakukan, melalui akibat perbuatan tersebut batin dan jasmani baru terbentuk pada kehidupan berikutnya, tanpa adanya sesuatu/entitas yang berpindah dari satu kehidupan ke kehidupan berikutnya. Jadi, konsep karma dan kelahiran kembali Buddhis ini tidak melibatkan entitas metafisik apa pun (apakah yang disebut energi, roh/jiwa, atau kesadaran yang berpindah) dan ini sangat logis karena berdasarkan konsep kausalitas semata-mata. Ada perbuatan (kamma/karma) dan ada akibatnya tetapi tidak ada agen/pelakunya, seperti yang dikatakan dalam SA (Samyukta Agama) 335:
Terdapat kamma [perbuatan], dan terdapat akibat kamma, tetapi pelaku yang meletakkan kelompok-kelompok unsur kehidupan ini dan menghubungkan kembali kelompok-kelompok unsur kehidupan lain tidak dapat ditemukan, yang hanya suatu perumpamaan untuk fenomena.
“Apakah ‘hanya suatu perumpamaan untuk fenomena’? Dalam hal ini, inilah perumpamaan untuk fenomena, yaitu: ketika ini ada, itu ada; dengan munculnya ini, itu muncul. Yaitu, dengan ketidaktahuan sebagai kondisi, bentukan muncul; … [dst sampai dengan] … dengan penjelmaan sebagai kondisi, kelahiran muncul; dengan kelahiran sebagai kondisi, penuaan dan kematian, dukacita, ratap tangis, kesakitan, kesedihan dan keputusasaan muncul. Demikianlah munculnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini.
Di dalam hal ini, ketika ini tidak ada, itu tidak ada; dengan lenyapnya ini, itu lenyap. Yaitu, dengan lenyapnya ketidaktahuan, bentukan lenyap; … [dst sampai dengan] … dengan lenyapnya penjelmaan, kelahiran lenyap; dengan lenyapnya kelahiran, penuaan dan kematian, dukacita, ratap tangis, kesakitan, kesedihan dan keputusasaan lenyap. Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini.
Argumen Aliran-Aliran Buddhis
Berabad-abad setelah wafatnya Sang Buddha, para pengikutnya masih mengalami tantangan baik dari sesama Buddhis sendiri maupun dari ajaran-ajaran non-Buddhis dalam menjelaskan proses karma dan kelahiran kembali tanpa melibatkan entitas yang berpindah ini. Jika ajaran-ajaran lain yang menganut pandangan diri akan dengan mudah menjelaskan bahwa diri/jiwa/roh/kesadaranlah yang berpindah dari satu kehidupan ke kehidupan berikutnya, maka Buddhis harus dengan susah payah menjelaskan proses kelahiran kembali tanpa diri/jiwa/roh/kesadaran yang berpindah ini karena tidak semua orang bisa memahami konsep sebab akibat bergantungan yang tanpa diri ini.
Akibatnya, pada masa sektarian, aliran-aliran Buddhis mengembangkan istilah/penjelasan lebih rinci masing-masing bagaimana proses karma dan kelahiran kembali yang tidak melibatkan diri yang berpindah ini, yang beberapa diantaranya adalah:
1. Aliran Sarvastivada (Vaibhasika) dengan konsep “semua ada” (sarvam asti: semua fenomena eksis dalam masa lampau, masa kini, dan masa depan) menjelaskan bahwa saat perbuatan (karma) dilakukan, maka akan terbentuk fenomena (dharma) yang disebut prapti (kepemilikan) yang eksis selamanya sampai ia berbuah/memberi akibatnya pada masa yang akan datang. Prapti ini merupakan kekuatan yang menjaga agar karma tidak salah berbuah pada pelaku yang berbeda. Dengan konsep ini, tidak perlu ada diri sebagai pelaku dan penerima akibat karma.
2. Aliran Pudgalavada/Puggalavada menyatakan adanya konsep pudgala (“person/orang”) yang bukan sama tetapi juga bukan berbeda dengan lima kelompok unsur kehidupan (pancakkandha) berdasarkan penafsiran terhadap istilah pudgala/puggala dalam Bhara Sutta (SN 22.22). Menurut aliran ini, adalah pudgala ini yang melakukan perbuatan (karma), mengalami kelahiran kembali, menerima akibat karma, dan mencapai Nirvana/Nibbanna. Tentu saja konsep pudgala ini mendapat kecaman dari sesama aliran Buddhis lainnya karena dianggap tidak bedanya dengan atta/atman yang ditolak Sang Buddha. Namun demikian, aliran ini sangat populer pada masanya dan merupakan aliran Buddhis terbesar dengan jumlah pengikut paling banyak di antara semua aliran Buddhis lainnya di India menurut catatan perjalanan Xuanzang (kemungkinan disebabkan oleh konsep pudgala ini lebih mudah diterima oleh umat awam yang tidak mendalami filosofi anatta yang menjelimet) sebelum akhirnya lenyap/punah bersama aliran-aliran lainnya seraya lenyapnya Buddhisme di India. Namun doktrin Pudgalavada sering dimasukkan dalam Abhidharma/Abhidhamma berbagai aliran lain sebagai bahan bantahan masing-masing aliran tersebut terhadap Pudgalavada sehingga kita saat ini masih bisa mengetahui seperti apa ajaran mereka.
3. Aliran Mahasanghika menyatakan konsep kesadaran akar (mulavijnana), basis kesadaran yang menjadi landasan bekerjanya karma dan kelahiran kembali berdasarkan penafsiran terhadap istilah “pikiran bercahaya” (pabhassara citta) dalam Pabhassara Sutta (AN 1.49–50)
4. Aliran Sautrantika yang menolak konsep “semua ada” (dan konsep prapti) dari Sarvastivada Vaibhasika di atas menyatakan ketika perbuatan (karma) dalam bentuk kehendak/niat (cetana) dilakukan, seketika itu ia lenyap, tetapi ia memberikan jejak/kesan (vasana) dalam aliran kesadaran (cittasamtana) yang terbentuk berikutnya dan mengalami perkembangan/evolusi (viparinama) sepanjang waktu sampai akhirnya memberikan akibat/buahnya. Konsep ini disebut juga karmabija (benih karma).
5. Aliran Theravada menjelaskan proses karma dan kelahiran kembali dengan konsep bhavanga (faktor kehidupan). Menurut Abhidhamma Theravada, bhavanga adalah kesadaran pasif (seperti pada saat tidur tanpa mimpi) yang mendasari kehidupan dan bersifat muncul, bertahan sejenak, lalu lenyap, namun berkelanjutan sejak awal samsara yang tidak terbayangkan sampai saat ini bagaikan aliran sungai yang tidak sama setiap momennya.
Kesadaran bhavanga (bhavanga citta) selalu dialami seseorang selama tidak ada objek eksternal yang menstimulasinya, bergetar selama satu momen/saat pikiran dan lenyap ketika ada objek fisik atau mental yang memasuki pikiran. Ketika objek bentuk terlihat oleh mata, aliran kesadaran bhavanga terhenti dan kesadaran pintu indria (pancadvaravajjana) muncul dan mengarahkan kesadaran pada objeknya lalu lenyap. Segera setelah ini muncul kesadaran mata (cakkhuvinnana) yang melihat objek tersebut tetapi tidak mengetahui lebih jauh tentang objek itu. Lalu terjadi momen penerimaan objek (sampaticchana), kemudian momen penyelidikan (santirana) yang menyelidiki objek, diikuti momen penentuan (votthana) di mana pembedaan terhadap objek dilakukan. Lalu muncul tahap javana di mana kamma memainkan peranannya. Jika objek diperhatikan dengan bijaksana (yonisomanasika), maka perbuatan tersebut akan menjadi kamma baik; jika diperhatikan secara tidak bijaksana (ayonisomanasika), maka menjadi kamma buruk. Misalnya, jika objek adalah orang atau benda yang tidak disenangi lalu kita memunculkan kebencian terhadapnya, maka tahap javana menghasilkan kamma buruk; sebaliknya, orang bijaksana dapat mengendalikan pikirannya dan memunculkan cinta kasih terhadap objek tersebut dan menghasilkan kamma baik. Tahap javana terdiri dari 7 momen/saat pikiran di mana jika kamma terjadi pada momen pertama javana yang paling lemah, maka akibatnya akan dialami dalam kehidupan ini juga (dittha-dhammavedaniya kamma) dan akan menjadi mandul/tidak berbuah (ahosi) jika menghasilkan akibat pada kehidupan ini sama sekali; jika terjadi pada momen ketujuh yang merupakan yang terlemah berikutnya, kamma tersebut akan berbuah pada kehidupan berikutnya (upapajjavedaniya kamma) dan akan menjadi mandul jika tidak berbuah pada kehidupan berikutnya setelah kehidupan ini; sedangkan jika terjadi pada momen di antaranya (momen ke-2 s/d ke-6) maka akan berbuah kapan pun selama individu tersebut berada di samsara sampai akhirnya mencapai pembebasan (aparapariyavedaniya kamma). Setelah tahap javana berakhir akan diikuti oleh momen pencatatan (tadalambana) selama 2 saat pikiran dan proses kesadaran akan kembali ke kondisi tidak aktif (bhavanga) yang diulang dari awal lagi. Demikianlah menurut Theravada, proses pikiran/kesadaran (cittavithi) menentukan bagaimana kamma bekerja dan memberikan akibatnya.
6. Aliran Mahayana Yogacara (Vijnanavada) menjelaskan proses kelahiran kembali dan karma dengan konsep alayavijnana (gudang kesadaran), yaitu kesadaran kedelapan (7 kesadaran lainnya adalah kesadaran pancaindria ditambah kesadaran pikiran [manovijnana] dan pikiran [mano] itu sendiri) di mana seluruh benih kamma baik dan buruk (karmabija) serta seluruh potensi kekotoran dan kemurnian batin tersimpan. Dalam Lankavatara Sutra, alayavijnana adalah sama dengan tathagathagarbha (rahim Tathagata = benih Kebuddhaan [bodhicitta]) yang murni sejak awalnya tetapi terkotori oleh kekotoran batin. Ketika alayavijnana ini dimurnikan dari kekotoran batin sepenuhnya, maka tercapailah pencerahan. Konsep alayavijnana/tathagatagarbha ini sering kali dikritik oleh aliran lainnya karena mirip konsep diri/atman yang bertentangan dengan konsep anatta, walaupun Lankavgatara Sutra sendiri juga memberikan penjelasan untuk membantah bahwa tathagatagarbha sama dengan atman ini.
Tinjauan Tekstual Historis Anatta Buddhisme vs Atman Brahmanisme
Apakah secara historis ajaran Anatta dalam Buddhisme ditujukan secara khusus untuk membantah ajaran Atman dari Brahmanisme? Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus membandingkan konsep atman yang ditemukan dalam teks tertua Brahmanisme (Veda dan Upanishad) dengan konsep anatta Buddhis yang terdapat dalam Anattalakkhana Sutta.
Atman dalam Veda dan Upanishad
Secara kajian tekstual-historis, konsep tertua atman ditemukan dalam teks Rg Veda (yang disusun sekitar tahun 1500–1000 SM). Dalam bagian Veda yang tertua ini, makna atman adalah napas (prana) yang memberikan kehidupan kepada semua makhluk. Dengan demikian, konsep atman dalam Veda pada awalnya adalah sangat sederhana, yaitu hanya berarti “kehidupan”.
Konsep atman yang mengandung makna filosofis dan metafisika baru muncul belakangan pada teks Upanishad tertua yang disusun kira-kira 1 abad sebelum kemunculan Buddha (700–600 SM). Misalnya dalam Brhadaraṇyaka Upanishad ditemukan pengertian atman sebagai berikut:
It is the unseen seer, the unheard hearer, the unthought-of thinker, the unknown knower. Other than this there is no seer; other than this there is no hearer; other than this there is no thinker; other than this there is no knower. This is your self, the inner controller, the immortal: what is other than this is suffering.
(Bṛhadāraṇyaka Upaniṣad 3.7.23)
Ini menyatakan bahwa atman adalah diri yang melihat, mendengar, berpikir, dan mengetahui, namun ia tidak dapat dilihat, didengar, dipikirkan, dan diketahui; ia adalah pengendali yang kekal dan selainnya hanyalah penderitaan (oleh sebab itu atman adalah kebahagiaan).
Selain itu menurut Taittiriya Upanishad, atman terbentuk dari/terdiri atas 5 lapisan (pancakosha), yaitu makanan (yang membentuk tubuh jasmani), napas (atau fungsi vital kehidupan), pikiran, kesadaran/pemahaman, dan kebahagiaan. Dengan membedah atman dari lapisan terluar yang paling kasar (tubuh jasmani) berturut-turut sampai lapisan yang paling halus (kebahagiaan), maka seseorang akan menemukan Brahman (realitas sejati yang tertinggi) di baliknya dan mencapai pembebasan (moksha).
Perbandingan Konsep Anatta vs Atman
Ajaran anatta dalam Buddhisme yang pertama kali dinyatakan Sang Buddha dalam Anattalakkhana Sutta mengatakan bahwa lima kelompok unsur kehidupan (pancakkandha/pancaskandha) yang terdiri dari tubuh jasmani, perasaan, persepsi, bentukan pikiran, dan kesadaran adalah bukan atta/atman (anatta/anatman) karena jika kelompok kehidupan tersebut adalah atta maka seseorang dapat mengharapkan agar kelompok unsur kehidupan itu menjadi seperti ini atau itu (yaitu dikendalikan oleh atta tersebut). Dengan demikian, Sang Buddha tidak membantah sifat atta/atman sebagai pengendali (dari definisi atman dalam Brhadaraṇyaka Upanishad di atas), namun karena lima kelomopok unsur kehidupan tidak bisa dikendalikan (dan tidak dapat menjadi pengendali) maka kelimanya bukan atta.
Jika dibandingkan dengan ajaran lima lapis atman dari Taittiriya Upanishad, maka Sang Buddha pun hanya membantah tiga lapis atman (makanan/tubuh jasmani, pikiran, dan kesadaran/pemahaman) dengan ajaran anatta bahwa lima kelompok unsur kehidupan bukan atta/atman.
Selain itu, menurut sutta yang sama, lima kelompok unsur kehidupan ini bukan atta karena kelimanya tidak kekal, apa yang tidak kekal adalah menderita (dukkha), dan apa yang menderita adalah bukan atta/atman. Secara tidak langsung hal ini menyatakan bahwa sesuatu yang dianggap atta/atman harusnya bahagia. Ini juga tidak membantah konsep Upanishad bahwa atman adalah kebahagiaan. Tentu saja karena lima kelompok unsur kehidupan adalah dukkha menurut Buddhisme, maka ia sejatinya bukan atta/atman.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Sang Buddha tidak secara langsung membantah ajaran atman dari Upanishad dengan ajaran anatta yang beliau nyatakan dalam Anattalakkhana Sutta karena tidak ada kecocokan langsung antara konsep anatta Buddhis dan atman Brahmanisme berdasarkan perbandingan sumber tekstual kedua ajaran ini.
Kesimpulan Akhir
Walaupun teks filosofis para brahmana yang kita kenal sebagai Upanishad telah ada pada masa Sang Buddha, kemungkinan Sang Buddha sendiri tidak begitu familiar dengan konsep atman yang terkandung di dalamnya. Hal ini karena teks-teks filosofis para brahmana seperti Upanishad ini disusun di negeri Kuru-Pancala, pusat Brahmanisme yang terletak jauh di sebelah barat laut kerajaan Magadha (negeri Kosala-Videha) yang merupakan pusat agama-agama Sramanisme sehingga ajaran atman Upanishad pada masa itu belum begitu populer dan belum tersebar luas ke wilayah di mana Sang Buddha hidup dan mengajar. [Lebih lanjut tentang wilayah Kuru-Pancala sebagai pusat Brahmanisme dan Magadha/Kosala-Videha sebagai pusat Sramanisme, bisa dibaca pada artikel Brahmanisme dan Sramanisme: Manakah yang Lebih Tua? ]
Selain itu, dalam sutta-sutta Buddhis ajaran anatta lebih sering diajarkan kepada para pertapa aliran Sramanisme lainnya (bukan kepada para brahmana), misalnya dalam Anattalakkhana Sutta ajaran ini diajarkan kepada lima pertapa yang pernah mengikuti Pertapa Gotama dalam pencarian pencerahannya (yang merupakan pengikut aliran Sramanisme yang mengutamakan praktik pertapaan keras sebagai jalan menuju pencerahan). Atau dalam Culasaccaka Sutta (MN 35) ajaran anatta diajarkan kepada seorang pertapa putra Nigantha (pengikut Jainisme) bernama Saccaka.
Jadi, secara historis ajaran anatta Buddhis tidak secara langsung ditujukan untuk membantah ajaran atman para brahmana seperti yang terkandung dalam Upanishad, namun kemungkinan ditujukan untuk membantah secara langsung ajaran jiva atau sejenisnya dari aliran-aliran Sramanisme lain seperti Nigantha (Jainisme sekarang) atau Ajivika (yang sudah punah sekarang), yang juga sama-sama berkembang di wilayah Magadha pada masa Sang Buddha.
Catatan Tambahan
1. Walaupun dapat disimpulkan bahwa menurut analisis historis ajaran anatta Buddhis tidak membantah secara langsung ajaran atman Brahmanime dari Upanishad, hal ini bukan berarti Buddhisme menyatakan adanya sesuatu di luar lima kelompok unsur kehidupan yang tidak dapat diketahui oleh pancaindria dan pikiran sebagai atta/atman seperti yang diajarkan Brahmanisme karena menurut Buddhisme “keseluruhan” (sabba/sarva) pengalaman fisik dan mental kita adalah hasil interaksi enam landasan indria (pancaindria & pikiran) dan objeknya sehingga sesuatu yang tidak dapat diketahui oleh enam landasan indria adalah sesuatu yang tidak ada (seperti yang dikatakan dalam SN 35.23). Dengan demikian, konsep atman yang tidak terdeskripsi dari Upanishad tidak dapat diterima dalam Buddhisme.
2. Kemungkinan bahwa konsep atta atau jiva yang dibantah secara langsung melalui ajaran anatta oleh Sang Buddha adalah ajaran atta/jiva dari aliran Sramanisme yang kini telah lenyap, tetapi sama-sama menggunakan konsep lima kelompok unsur kehidupan (pancakkandha) sebagai landasan ajaran mereka. Hal ini karena dalam pengajaran anatta kepada para pertapa aliran lain Sang Buddha selalu menggunakan konsep pancakkandha ini dan lawan bicara beliau dapat memahami istilah-istilah dari kelima unsur/faktor yang membentuk pancakkandha tersebut (jasmani/rupa, perasaan/vedana, persepsi/sanna, bentukan pikiran/sankhara, dan kesadaran/vinnana) tanpa kesulitan. Hal ini juga dikuatkan dengan |hipotesis Bhikkhu Sujato bahwa istilah “sakkaya” (dalam “sakkayaditthi”, yaitu pandangan salah tentang diri yang harus dilepaskan untuk mencapai pencerahan) berhubungan dengan istilah “astikaya” dari Jainisme yang merupakan lima hal yang menyusun realitas kehidupan (pergerakan/dharma, diam/adharma, ruang/akasa, jiwa/jiva, dan materi/pudgala). Jadi, kemungkinan bahwa ajaran anatta bahwa lima faktor penyusun kehidupan bukan atta/diri adalah bantahan langsung Sang Buddha terhadap ajaran sejenis astikaya ini dari aliran Sramanisme yang lebih tua.
