Ini adalah dokumen versi lama!
Daftar isi
Anatta: Landasan Doktrinal dan Latar Belakang Historis
Konsep Dasar Anatta (Bukan-Diri)
Konsep anatta (bukan-diri) dalam Buddhisme menjelaskan bahwa segala sesuatu bukanlah aku, diriku, dan milikku, termasuk fenomena fisik dan mental (namarupa) yang membentuk kehidupan kita. Dengan merenungkan fenomena fisik dan mental kehidupan sebagai bukan aku, diriku, dan milikku, seseorang dapat terbebaskan dari penderitaan (dukkha) dan mencapai pencerahan atau pembebasan (Nibbana/Nirvana).
Selain itu, konsep anatta juga berhubungan dengan konsep sebab akibat (kemunculan dan kelenyapan/sebab-akibat) yang saling bergantungan bahwa segala sesuatu muncul karena sebab dan kondisi; tanpa sebab dan kondisi yang menjadikanya ada/muncul, maka fenomena tersebut tidak dapat berdiri sendiri/independen dari fenomena lainnya. Oleh sebab itu, dalam Buddhis ada ungkapan terkenal yang diucapkan pertama kali oleh salah satu siswa pertama Sang Buddha bernama Bhikkhu Asajji kepada Upatissa (yang kelak dikenal sebagai Sariputta, siswa utama Sang Buddha yang terkemuka dalam kebijaksanaannya) ketika ditanya apakah inti ajaran Buddha:
ye dhammā hetuppabhavā tesaṁ hetuṁ tathāgato āha,
tesaṃ ca yo nirodho evaṁvādī mahāsamaṇo.
Dari fenomena-fenomena yang muncul karena sebab,
Sebabnya telah dinyatakan oleh Sang Tathagata,
Dan juga pelenyapannya;
Inilah ajaran Sang Pertapa Agung.
Syair ini mengandung inti ajaran Buddha tentang kemunculan bergantungan yang juga menjadi inti ajaran anatta. Karena mendengar syair ini, Upatissa mencapai kesucian pemasuk-arus (Sotapanna) dan ketika ia mengulangi syair ini kepada temannya, Kolita (yang kelak dikenal sebagai Moggallana, siswa utama Sang Buddha yang terkemuka dalam kekuatan batinnya), ia juga menjadi seorang Sotapanna.
Anatta dalam Buddhisme Awal
Dalam Buddhisme awal, secara umum konsep/doktrin bukan diri (anatta) merupakan ajaran utama Sang Buddha untuk membantah doktrin atman dan Brahman dari ajaran Brahmanisme serta pandangan tentang diri/personalitas (sakkayaditthi) lainnya dari ajaran aliran-aliran Sramana lain yang sezaman. Dalam Brahmanisme, atman merupakan inti personalitas kekal yang setelah kematian mengalami reinkarnasi dan mencapai pembebasan dari reinkarnasi (moksha) serta menyebabkan tubuh jasmani ini dapat berfungsi. Atman adalah diri/jiwa kecil pada setiap makhluk yang merupakan bagian dari diri besar/jiwa universal yang disebut Brahman (Yang Absolut), yang mendasari bekerjanya alam semesta. Penyatuan atman dengan Brahman inilah yang disebut moksha, tujuan akhir kehidupan spiritual dalam Brahmanisme.
Dalam kotbah keduanya yang berjudul Anattalakkhana Sutta (SN 22.59) Sang Buddha mengatakan bahwa unsur-unsur pembentuk kehidupan (disebut lima kelompok unsur kehidupan atau pancakkandha/pancaskandha) yang terdiri bentuk jasmani (rupa), perasaan (vedana), persepsi (sanna/samjna), bentukan kehendak/bentukan pikiran (sankhara/samskara), dan kesadaran (vinnana/vijnana) masing-masing adalah bukan diri (anatta) berdasarkan 2 argumen berikut:
1) Jika masing-masing unsur kehidupan (kandha/skandha) ini adalah diri (atta), maka unsur tersebut tidak akan menyebabkan penderitaan (dukkha), dan adalah mungkin untuk mengharapkan agar unsur itu sesuai dengan keinginan kita. Misalnya tubuh jasmani ini bukan diri/jiwa/roh karena tubuh jasmani ini menyebabkan penderitaan dan tidak mungkin mengharapkannya menjadi sesuai keinginan kita; demikian juga perasaan, persepsi, bentukan kehendak, dan kesadaran.
2) Masing-masing unsur kehidupan ini adalah tidak kekal (anicca/anitya) dan mengalami perubahan (viparinama), apa pun yang tidak kekal adalah penderitaan (dukkha), dan apa pun yang adalah penderitaan dan tunduk pada perubahan adalah “bukan milikku, bukan aku, ini bukan diriku”.
Bagi seseorang yang merenungkan dengan kebijaksanaan bahwa unsur-unsur kehidupan sebagai “bukan milikku, bukan aku, ini bukan diriku”, maka ia akan jijik/kecewa (nibbida) terhadap unsur-unsur kehidupan tersebut. Karena kecewa, ia menjadi bosan (kehilangan nafsu = viraga) terhadapnya. Karena bosan, maka ia mencapai pembebasan (vimutti = moksha = Nibbana/Nirvana) sehingga tidak lagi terlahir kembali. Demikianlah Sang Buddha dengan menolak konsep atman dari Brahmanisme menunjukkan bagaimana mencapai tujuan akhir kehidupan spiritual melalui konsep anatta.
Polemik terhadap Anatta dari Ajaran Non-Buddhis
Konsep anatta dalam Buddhisme awal mendapatkan banyak pertanyaan, bantahan, dan kecaman dari ajaran-ajaran lain pada masa itu. Karena konsep anatta menyatakan unsur-unsur kehidupan, termasuk kesadaran, adalah bukan diri/roh/jiwa, maka muncul berbagai problem/pertanyaan, seperti apakah yang terlahir kembali jika tidak ada diri/roh/jiwa? Bagaimanakah hukum karma bekerja mengenali pelakunya dan memberikan akibat/buahnya pada pelakunya yang tepat jika tidak ada diri? Siapakah yang melakukan perbuatan tersebut? Siapakah yang menerima akibat karmanya? dst.
Misalnya, Jainisme (agama Jain) yang lahir sezaman tetapi lebih tua dari Buddhisme (yang dikenal sebagai aliran Nigantha dalam teks-teks Buddhis) menganggap ajaran anatta dari Buddhisme menyalahi doktrin karma dan kelahiran kembali (reinkarnasi) yang diyakini oleh agama-agama India kuno. Dalam teks-teks Jain, agama Buddha dikecam sebagai akiriyavada (doktrin tanpa perbuatan/karma), yaitu tidak mengakui adanya hukum karma dan kelahiran kembali, karena menurut Jainisme tanpa jiwa/roh tidak mungkin proses karma dan kelahiran kembali dapat berlangsung.
Argumen Buddhisme Awal
Dalam teks-teks Buddhis awal sendiri Sang Buddha sering dipertanyakan pertanyaan-pertanyaan sejenis karena mengajarkan anatta, Misalnya dalam MN 109:
Kemudian, dalam pikiran salah seorang bhikkhu muncul pikiran ini: “Jadi, sepertinya, bentuk materi adalah bukan diri, perasaan adalah bukan diri, persepsi adalah bukan diri, bentukan-bentukan adalah bukan diri, kesadaran adalah bukan diri. Kalau begitu, diri apakah, yang melakukan perbuatan sebagai akibat dari apa yang dilakukan oleh apa yang bukan diri?”
Kemudian Sang Bhagavā, dengan pikiranNya mengetahui pikiran bhikkhu tersebut, berkata kepada bhikkhu itu sebagai berikut: “Adalah mungkin, para bhikkhu, seseorang sesat di sini, yang bodoh dan dungu, dengan pikirannya yang dikuasai oleh ketagihan, akan berpikir bahwa ia dapat melampaui pengajaran Sang Guru sebagai berikut: ‘Jadi, sepertinya, bentuk materi adalah bukan diri … kesadaran adalah bukan diri. Kalau begitu, diri apakah, yang melakukan perbuatan sebagai akibat dari apa yang dilakukan oleh apa yang bukan diri?’ Sekarang, para bhikkhu, kalian telah dilatih olehKu melalui tanya jawab dalam berbagai kesempatan sehubungan dengan berbagai hal.
“Para bhikkhu, bagaimana menurut kalian? Apakah bentuk materi adalah kekal atau tidak kekal?” – “Tidak kekal, Yang Mulia.” – “Apakah apa yang tidak kekal adalah penderitaan atau kebahagiaan?” – “Penderitaan, Yang Mulia.” – “Apakah apa yang tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan layak dianggap sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku’?” – “Tidak, Yang Mulia.”
“Para bhikkhu, bagaimana menurut kalian: apakah perasaan … persepsi … bentukan-bentukan … kesadaran adalah kekal atau tidak kekal?” – “Tidak kekal, Yang Mulia.” – “Apakah apa yang tidak kekal adalah penderitaan atau kebahagiaan?” – “Penderitaan, Yang Mulia.” – “Apakah apa yang tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan layak dianggap sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku’?” – “Tidak, Yang Mulia.”
“Oleh karena itu, para bhikkhu, segala jenis bentuk materi apapun, apakah di masa lampau, di masa depan, atau di masa sekarang … segala bentuk materi harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Segala jenis perasaan apapun … Segala jenis persepsi apapun … Segala jenis bentukan-bentukan apapun … Segala jenis kesadaran apapun … segala jenis kesadaran harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’
Dan dalam Madhyama Agama sutra ke-62 (MA 62):
Kemudian para penduduk Magadha berpikir:
“Jika bentuk materi tidak kekal, perasaan … persepsi … bentukan kehendak … kesadaran tidak kekal, maka siapakah yang menjalani dan yang mengalami penderitaan dan kebahagiaan?”
Sang Bhagavā, mengetahui pikiran para penduduk Magadha, berkata kepada para bhikkhu:
“Seorang duniawi yang bodoh, yang tidak terpelajar, menganggap dirinya sebagai “aku adalah diri” dan melekat pada diri. Namun, tidak ada diri; tidak ada yang menjadi milik diri; [semua ini] adalah kosong dari diri dan kosong dari apa pun yang menjadi milik diri. Ketika fenomena muncul, mereka muncul; ketika fenomena lenyap, mereka lenyap. Semua ini [hanyalah] gabungan sebab dan kondisi, yang memunculkan penderitaan. Jika sebab dan kondisi tidak ada, maka semua penderitaan akan lenyap. Adalah karena gabungan sebab dan kondisi sehingga makhluk-makhluk hidup berlanjut dan semua fenomena muncul. Sang Tathāgata, setelah melihat semua makhluk hidup terus-menerus muncul, menyatakan: Terdapat kelahiran dan terdapat kematian. Dengan mata dewa, yang dimurnikan dan melampaui [penglihatan] manusia, aku melihat makhluk-makhluk ketika mereka meninggal dan terlahir kembali gagah atau jelek, bagus atau tidak bagus, ketika mereka datang dan pergi di antara alam-alam kehidupan yang baik atau buruk, sesuai dengan perbuatan mereka [sebelumnya]. Aku melihat ini sebagaimana adanya. Jika makhluk-makhluk hidup ini berperilaku buruk dalam jasmani, ucapan dan pikiran, jika mereka tidak menghina para orang mulia, menganut pandangan salah, dan melakukan perbuatan [berdasarkan] pandangan benar, maka karena sebab dan kondisi ini, saat hancurnya tubuh, setelah kematian, mereka pasti akan pergi ke alam kehidupan yang baik, [bahkan] ke alam surga.
“Mengetahui bahwa ini adalah demikian, aku tidak mengatakan kepada mereka, “Adalah diri yang dapat merasakan, dapat berbicara, yang memberikan ajaran-ajaran, yang melakukan pengembangan, yang mengajarkan pengembangan, yang mengalami buah perbuatan baik atau buruk di sini dan di sana.” Dalam hal ini, seseorang mungkin berpikir, “Ini tidak sesuai; ini tidak dapat dipertahankan.”
“[Tetapi walaupun mereka keberatan] proses ini yang terjadi sesuai dengan Dharma: Karena ini, itu muncul; jika sebab ini tidak muncul, itu tidak muncul. Karena ini ada, itu ada; jika ini lenyap, itu lenyap. Dengan kata lain: dengan ketidaktahuan sebagai kondisi terdapat bentukan kehendak; (dan seterusnya sampai dengan) dengan kelahiran sebagai kondisi terdapat usia tua dan kematian. Jika ketidaktahuan lenyap, bentukan kehendak lenyap (dan seterusnya sampai dengan) jika kelahiran lenyap, usia tua dan kematian lenyap.”
Dalam kutipan teks pertama (MN 109) di atas Sang Buddha tidak berusaha menjelaskan bagaimana proses kelahiran kembali dan bekerjanya hukum karma tanpa melibatkan suatu diri, melainkan beliau mengetahui adanya pandangan salah tentang diri dalam bhikkhu penanya dan menggunakan konsep anatta dalam bentuk tanya jawab standar seperti dalam kotbah kedua Anattalakkhana Sutta untuk membebaskan sang bhikkhu dari pandangan salah tersebut.
Dalam kutipan teks kedua (MA 62) yang berasal dari kanon Buddhis aliran Sarvastivada dalam bahasa Cina, merupakan kotbah Sang Buddha kepada Raja Bimbisara dalam pertemuan pertama mereka, dan tidak memiliki padanan/paralel dalam kanon aliran Theravada dalam bahasa Pali (kisah pertemuan Sang Buddha dengan Raja Bimbisara terdapat dalam Vinaya Theravada, namun isi pengajaran kepada Raja Bimbisara berbeda dengan teks Sarvastivada ini), Sang Buddha menjelaskan bagaimana proses karma dan kelahiran kembali tanpa melibatkan suatu diri melalui sebab akibat (kemunculan & kelenyapan) yang saling bergantungan (paticcasamuppada). Dalam ajaran sebab akibat yang saling bergantungan, proses karma dan kelahiran kembali hanya dipandang sebagai hubungan kondisionalitas/kausalitas (sebab ini mengkondisikan akibat itu) tanpa perlu suatu diri/jiwa/roh sebagai pelaku/agen yang menggerakkannya.
Konsep sebab akibat yang saling bergantungan ini juga digunakan oleh Bhikkhu Nagasena pada abad ke-2 SM untuk menjawab pertanyaan dari Raja Milinda (dikenal dalam sejarah sebagai Menander I yang berkuasa di Bactria, kerajaan kuno yang terletak di Afganistan, Pakistan sampai Iran sekarang yang saat itu dikuasai orang Yunani) seputar konsep karma dan kelahiran kembali Buddhis yang tanpa diri/jiwa/roh yang berpindah. Ini tercatat dalam teks Pali berjudul Milindapanha (yang memiliki padanan/paralel dalam teks berbahasa Cina berjudul Nagasena-bhikshu Sutra) sbb:
M (Milinda): “Apa yang terlahir kembali itu, Nagasena?’
N (Nagasena): “Batin dan jasmani (namarupa).
M: “Apakah batin dan jasmani yang ini juga yang terlahir kembali?”
N: “Bukan, tetapi oleh batin dan jasmani inilah maka perbuatan-perbuatan dilakukan, dan oleh karena perbuatan-perbuatan itulah maka batin dan jasmani yang lain terlahir kembali. Walaupun demikian, batin dan jasmani itu tidak begitu saja terlepas dari hasil perbuatan sebelumnya.”
M: “Berikanlah ilustrasi.”
N: “Seperti halnya api yang dinyalakan seseorang. Setelah merasa hangat, mungkin orang itu pergi meninggalkan dalam keadaan menyala. Andaikan saja api tersebut kemudian menjalar dan membakar ladang orang lain, lalu pemilik ladang itu menyeretnya ke hadapan raja serta menuntut orang yang menyalakan api tersebut. Bila dia berkata, ‘Baginda yang mulia, saya tidak membakar ladang orang ini. Api yang saya tinggalkan itu berbeda dengan api yang membakar ladang orang ini. Saya tidak bersalah’, apakah dia patut dihukum?”
M: “Tentu saja, karena tak peduli apa pun yang dia katakan, api itu berasal dari api sebelumnya.”
N: “Demikian juga, O baginda, oleh batin dan jasmani ini perbuatan-perbuatan dilakukan, dan oleh karena perbuatan-perbuatan itu maka batin dan jasmani baru akan terlahir kembali; tetapi batin dan jasmani tersebut tidak begitu saja terlepas dari hasil perbuatan sebelumnya.”
Dengan demikian, karma dan kelahiran kembali dalam Buddhis dijelaskan dalam rumusan sebab akibat bergantungan sbb: dengan batin dan jasmani saat ini perbuatan dilakukan, melalui akibat perbuatan tersebut batin dan jasmani baru terbentuk pada kehidupan berikutnya, tanpa adanya sesuatu/entitas yang berpindah dari satu kehidupan ke kehidupan berikutnya. Jadi, konsep karma dan kelahiran kembali Buddhis ini tidak melibatkan entitas metafisik apa pun (apakah yang disebut energi, roh/jiwa, atau kesadaran yang berpindah) dan ini sangat logis karena berdasarkan konsep kausalitas semata-mata. Ada perbuatan (kamma/karma) dan ada akibatnya tetapi tidak ada agen/pelakunya, seperti yang dikatakan dalam SA (Samyukta Agama) 335:
Terdapat kamma [perbuatan], dan terdapat akibat kamma, tetapi pelaku yang meletakkan kelompok-kelompok unsur kehidupan ini dan menghubungkan kembali kelompok-kelompok unsur kehidupan lain tidak dapat ditemukan, yang hanya suatu perumpamaan untuk fenomena.
“Apakah ‘hanya suatu perumpamaan untuk fenomena’? Dalam hal ini, inilah perumpamaan untuk fenomena, yaitu: ketika ini ada, itu ada; dengan munculnya ini, itu muncul. Yaitu, dengan ketidaktahuan sebagai kondisi, bentukan muncul; … [dst sampai dengan] … dengan penjelmaan sebagai kondisi, kelahiran muncul; dengan kelahiran sebagai kondisi, penuaan dan kematian, dukacita, ratap tangis, kesakitan, kesedihan dan keputusasaan muncul. Demikianlah munculnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini.
Di dalam hal ini, ketika ini tidak ada, itu tidak ada; dengan lenyapnya ini, itu lenyap. Yaitu, dengan lenyapnya ketidaktahuan, bentukan lenyap; … [dst sampai dengan] … dengan lenyapnya penjelmaan, kelahiran lenyap; dengan lenyapnya kelahiran, penuaan dan kematian, dukacita, ratap tangis, kesakitan, kesedihan dan keputusasaan lenyap. Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini.
