Wiki DhammaCitta

Buddhisme Indonesia

Alat Pengguna

Alat Situs


anatta

Perbedaan

Ini menunjukkan perbedaan antara versi yang terpilih dengan versi yang sedang aktif.

Tautan ke tampilan pembanding ini

Kedua sisi revisi sebelumnyaRevisi sebelumnya
Revisi selanjutnya
Revisi sebelumnya
anatta [2025/12/05 16:13] seniyaanatta [2025/12/06 02:51] (sekarang) – [Argumen Aliran-Aliran Buddhis] seniya
Baris 16: Baris 16:
  
 Syair ini mengandung inti ajaran Buddha tentang kemunculan bergantungan yang juga menjadi inti ajaran anatta. Karena mendengar syair ini, Upatissa mencapai kesucian pemasuk-arus (Sotapanna) dan ketika ia mengulangi syair ini kepada temannya, Kolita (yang kelak dikenal sebagai Moggallana, siswa utama Sang Buddha yang terkemuka dalam kekuatan batinnya), ia juga menjadi seorang Sotapanna. Syair ini mengandung inti ajaran Buddha tentang kemunculan bergantungan yang juga menjadi inti ajaran anatta. Karena mendengar syair ini, Upatissa mencapai kesucian pemasuk-arus (Sotapanna) dan ketika ia mengulangi syair ini kepada temannya, Kolita (yang kelak dikenal sebagai Moggallana, siswa utama Sang Buddha yang terkemuka dalam kekuatan batinnya), ia juga menjadi seorang Sotapanna.
 +
 +Dengan demikian, ajaran anatta menjadi ciri khas Buddhisme yang membedakannya dari ajaran-ajaran lain karena mengajarkan ketiadaan inti diri/jiwa/roh yang kekal.
  
 ===== Anatta dalam Buddhisme Awal ===== ===== Anatta dalam Buddhisme Awal =====
Baris 33: Baris 35:
 Konsep anatta dalam Buddhisme awal mendapatkan banyak pertanyaan, bantahan, dan kecaman dari ajaran-ajaran lain pada masa itu. Karena konsep anatta menyatakan unsur-unsur kehidupan, termasuk kesadaran, adalah bukan diri/roh/jiwa, maka muncul berbagai problem/pertanyaan, seperti //apakah yang terlahir kembali jika tidak ada diri/roh/jiwa? Bagaimanakah hukum karma bekerja mengenali pelakunya dan memberikan akibat/buahnya pada pelakunya yang tepat jika tidak ada diri? Siapakah yang melakukan perbuatan tersebut? Siapakah yang menerima akibat karmanya?// dst. Konsep anatta dalam Buddhisme awal mendapatkan banyak pertanyaan, bantahan, dan kecaman dari ajaran-ajaran lain pada masa itu. Karena konsep anatta menyatakan unsur-unsur kehidupan, termasuk kesadaran, adalah bukan diri/roh/jiwa, maka muncul berbagai problem/pertanyaan, seperti //apakah yang terlahir kembali jika tidak ada diri/roh/jiwa? Bagaimanakah hukum karma bekerja mengenali pelakunya dan memberikan akibat/buahnya pada pelakunya yang tepat jika tidak ada diri? Siapakah yang melakukan perbuatan tersebut? Siapakah yang menerima akibat karmanya?// dst.
  
-Misalnya, Jainisme (agama Jain) yang lahir sezaman tetapi lebih tua dari Buddhisme (yang dikenal sebagai aliran Nigantha dalam teks-teks Buddhis) menganggap ajaran anatta dari Buddhisme menyalahi doktrin karma dan kelahiran kembali (reinkarnasi) yang diyakini oleh agama-agama India kuno. Dalam teks-teks Jain, agama Buddha dikecam sebagai akiriyavada (doktrin tanpa perbuatan/karma), yaitu tidak mengakui adanya hukum karma dan kelahiran kembali, karena menurut Jainisme tanpa jiwa/roh tidak mungkin proses karma dan kelahiran kembali dapat berlangsung.+Misalnya, [[jainisme|Jainisme (agama Jain)]] yang lahir sezaman tetapi lebih tua dari Buddhisme (yang dikenal sebagai aliran Nigantha dalam teks-teks Buddhis) menganggap ajaran anatta dari Buddhisme menyalahi doktrin karma dan kelahiran kembali (reinkarnasi) yang diyakini oleh agama-agama India kuno. Dalam teks-teks Jain, agama Buddha dikecam sebagai akiriyavada (doktrin tanpa perbuatan/karma), yaitu tidak mengakui adanya hukum karma dan kelahiran kembali, karena menurut Jainisme tanpa jiwa/roh tidak mungkin proses karma dan kelahiran kembali dapat berlangsung.
  
 ==== Argumen Buddhisme Awal ==== ==== Argumen Buddhisme Awal ====
Baris 111: Baris 113:
 Kesadaran bhavanga (bhavanga citta) selalu dialami seseorang selama tidak ada objek eksternal yang menstimulasinya, bergetar selama satu momen/saat pikiran dan lenyap ketika ada objek fisik atau mental yang memasuki pikiran. Ketika objek bentuk terlihat oleh mata, aliran kesadaran bhavanga terhenti dan kesadaran pintu indria (pancadvaravajjana) muncul dan mengarahkan kesadaran pada objeknya lalu lenyap. Segera setelah ini muncul kesadaran mata (cakkhuvinnana) yang melihat objek tersebut tetapi tidak mengetahui lebih jauh tentang objek itu. Lalu terjadi momen penerimaan objek (sampaticchana), kemudian momen penyelidikan (santirana) yang menyelidiki objek, diikuti momen penentuan (votthana) di mana pembedaan terhadap objek dilakukan. Lalu muncul tahap javana di mana kamma memainkan peranannya. Jika objek diperhatikan dengan bijaksana (yonisomanasika), maka perbuatan tersebut akan menjadi kamma baik; jika diperhatikan secara tidak bijaksana (ayonisomanasika), maka menjadi kamma buruk. Misalnya, jika objek adalah orang atau benda yang tidak disenangi lalu kita memunculkan kebencian terhadapnya, maka tahap javana menghasilkan kamma buruk; sebaliknya, orang bijaksana dapat mengendalikan pikirannya dan memunculkan cinta kasih terhadap objek tersebut dan menghasilkan kamma baik. Tahap javana terdiri dari 7 momen/saat pikiran di mana jika kamma terjadi pada momen pertama javana yang paling lemah, maka akibatnya akan dialami dalam kehidupan ini juga (dittha-dhammavedaniya kamma) dan akan menjadi mandul/tidak berbuah (ahosi) jika menghasilkan akibat pada kehidupan ini sama sekali; jika terjadi pada momen ketujuh yang merupakan yang terlemah berikutnya, kamma tersebut akan berbuah pada kehidupan berikutnya (upapajjavedaniya kamma) dan akan menjadi mandul jika tidak berbuah pada kehidupan berikutnya setelah kehidupan ini; sedangkan jika terjadi pada momen di antaranya (momen ke-2 s/d ke-6) maka akan berbuah kapan pun selama individu tersebut berada di samsara sampai akhirnya mencapai pembebasan (aparapariyavedaniya kamma). Setelah tahap javana berakhir akan diikuti oleh momen pencatatan (tadalambana) selama 2 saat pikiran dan proses kesadaran akan kembali ke kondisi tidak aktif (bhavanga) yang diulang dari awal lagi. Demikianlah menurut Theravada, proses pikiran/kesadaran (cittavithi) menentukan bagaimana kamma bekerja dan memberikan akibatnya. Kesadaran bhavanga (bhavanga citta) selalu dialami seseorang selama tidak ada objek eksternal yang menstimulasinya, bergetar selama satu momen/saat pikiran dan lenyap ketika ada objek fisik atau mental yang memasuki pikiran. Ketika objek bentuk terlihat oleh mata, aliran kesadaran bhavanga terhenti dan kesadaran pintu indria (pancadvaravajjana) muncul dan mengarahkan kesadaran pada objeknya lalu lenyap. Segera setelah ini muncul kesadaran mata (cakkhuvinnana) yang melihat objek tersebut tetapi tidak mengetahui lebih jauh tentang objek itu. Lalu terjadi momen penerimaan objek (sampaticchana), kemudian momen penyelidikan (santirana) yang menyelidiki objek, diikuti momen penentuan (votthana) di mana pembedaan terhadap objek dilakukan. Lalu muncul tahap javana di mana kamma memainkan peranannya. Jika objek diperhatikan dengan bijaksana (yonisomanasika), maka perbuatan tersebut akan menjadi kamma baik; jika diperhatikan secara tidak bijaksana (ayonisomanasika), maka menjadi kamma buruk. Misalnya, jika objek adalah orang atau benda yang tidak disenangi lalu kita memunculkan kebencian terhadapnya, maka tahap javana menghasilkan kamma buruk; sebaliknya, orang bijaksana dapat mengendalikan pikirannya dan memunculkan cinta kasih terhadap objek tersebut dan menghasilkan kamma baik. Tahap javana terdiri dari 7 momen/saat pikiran di mana jika kamma terjadi pada momen pertama javana yang paling lemah, maka akibatnya akan dialami dalam kehidupan ini juga (dittha-dhammavedaniya kamma) dan akan menjadi mandul/tidak berbuah (ahosi) jika menghasilkan akibat pada kehidupan ini sama sekali; jika terjadi pada momen ketujuh yang merupakan yang terlemah berikutnya, kamma tersebut akan berbuah pada kehidupan berikutnya (upapajjavedaniya kamma) dan akan menjadi mandul jika tidak berbuah pada kehidupan berikutnya setelah kehidupan ini; sedangkan jika terjadi pada momen di antaranya (momen ke-2 s/d ke-6) maka akan berbuah kapan pun selama individu tersebut berada di samsara sampai akhirnya mencapai pembebasan (aparapariyavedaniya kamma). Setelah tahap javana berakhir akan diikuti oleh momen pencatatan (tadalambana) selama 2 saat pikiran dan proses kesadaran akan kembali ke kondisi tidak aktif (bhavanga) yang diulang dari awal lagi. Demikianlah menurut Theravada, proses pikiran/kesadaran (cittavithi) menentukan bagaimana kamma bekerja dan memberikan akibatnya.
  
-6. Aliran **Mahayana Yogacara (Vijnanavada)** menjelaskan proses kelahiran kembali dan karma dengan konsep alayavijnana (gudang kesadaran), yaitu kesadaran kedelapan (7 kesadaran lainnya adalah kesadaran pancaindria ditambah kesadaran pikiran [manovijnana] dan pikiran [mano] itu sendiri) di mana seluruh benih kamma baik dan buruk (karmabija) serta seluruh potensi kekotoran dan kemurnian batin tersimpan. Dalam Lankavatara Sutra, alayavijnana adalah sama dengan tathagathagarbha (rahim Tathagata = benih Kebuddhaan [bodhicitta]) yang murni sejak awalnya tetapi terkotori oleh kekotoran batin. Ketika alayavijnana ini dimurnikan dari kekotoran batin sepenuhnya, maka tercapailah pencerahan. Konsep alayavijnana/tathagatagarbha ini sering kali dikritik oleh aliran lainnya karena mirip konsep diri/atman yang bertentangan dengan konsep anatta, walaupun Lankavgatara Sutra sendiri juga memberikan penjelasan untuk membantah bahwa tathagatagarbha sama dengan atman ini.+6. Aliran **Mahayana Yogacara (Vijnanavada)** menjelaskan proses kelahiran kembali dan karma dengan konsep alayavijnana (gudang kesadaran), yaitu kesadaran kedelapan (7 kesadaran lainnya adalah kesadaran pancaindria ditambah kesadaran pikiran [manovijnana] dan pikiran [mano] itu sendiri) di mana seluruh benih kamma baik dan buruk (karmabija) serta seluruh potensi kekotoran dan kemurnian batin tersimpan. Dalam Lankavatara Sutra, alayavijnana adalah sama dengan tathagathagarbha (rahim Tathagata = benih Kebuddhaan [bodhicitta]) yang murni sejak awalnya tetapi terkotori oleh kekotoran batin. Ketika alayavijnana ini dimurnikan dari kekotoran batin sepenuhnya, maka tercapailah pencerahan. Konsep alayavijnana/tathagatagarbha ini sering kali dikritik oleh aliran lainnya karena mirip konsep diri/atman yang bertentangan dengan konsep anatta, walaupun Lankavatara Sutra sendiri juga memberikan penjelasan untuk membantah bahwa tathagatagarbha sama dengan atman ini.
  
 ===== Tinjauan Tekstual Historis Anatta Buddhisme vs Atman Brahmanisme ===== ===== Tinjauan Tekstual Historis Anatta Buddhisme vs Atman Brahmanisme =====
  
-Apakah secara historis ajaran Anatta dalam Buddhisme ditujukan secara khusus untuk membantah ajaran Atman dari Brahmanisme? Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus membandingkan konsep atman yang ditemukan dalam teks tertua Brahmanisme (Veda dan Upanishad) dengan konsep anatta Buddhis yang terdapat dalam Anattalakkhana Sutta.+//Apakah secara historis ajaran Anatta dalam Buddhisme ditujukan secara khusus untuk membantah ajaran Atman dari Brahmanisme?// Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus membandingkan konsep atman yang ditemukan dalam teks tertua Brahmanisme (Veda dan Upanishad) dengan konsep anatta Buddhis yang terdapat dalam Anattalakkhana Sutta.
  
 ==== Atman dalam Veda dan Upanishad ==== ==== Atman dalam Veda dan Upanishad ====
Baris 144: Baris 146:
 ==== Kesimpulan Akhir ==== ==== Kesimpulan Akhir ====
  
-Walaupun teks filosofis para brahmana yang kita kenal sebagai Upanishad telah ada pada masa Sang Buddha, kemungkinan Sang Buddha sendiri tidak begitu familiar dengan konsep atman yang terkandung di dalamnya. Hal ini karena teks-teks filosofis para brahmana seperti Upanishad ini disusun di negeri Kuru-Pancala, pusat Brahmanisme yang terletak jauh di sebelah barat laut kerajaan Magadha (negeri Kosala-Videha) yang merupakan pusat agama-agama Sramanisme sehingga ajaran atman Upanishad pada masa itu belum begitu populer dan belum tersebar luas ke wilayah di mana Sang Buddha hidup dan mengajar. [Lebih lanjut tentang wilayah Kuru-Pancala sebagai pusat Brahmanisme dan Magadha/Kosala-Videha sebagai pusat Sramanisme, bisa dibaca pada artikel [[greater_magadha|]]+Walaupun teks filosofis para brahmana yang kita kenal sebagai Upanishad telah ada pada masa Sang Buddha, kemungkinan Sang Buddha sendiri tidak begitu familiar dengan konsep atman yang terkandung di dalamnya. Hal ini karena teks-teks filosofis para brahmana seperti Upanishad ini disusun di negeri Kuru-Pancala, pusat Brahmanisme yang terletak jauh di sebelah barat laut kerajaan Magadha (negeri Kosala-Videha) yang merupakan pusat agama-agama Sramanisme sehingga ajaran atman Upanishad pada masa itu belum begitu populer dan belum tersebar luas ke wilayah di mana Sang Buddha hidup dan mengajar. [Lebih lanjut tentang wilayah Kuru-Pancala sebagai pusat Brahmanisme dan Magadha/Kosala-Videha sebagai pusat Sramanisme, bisa dibaca pada artikel [[greater_magadha]] ]
  
 Selain itu, dalam sutta-sutta Buddhis ajaran anatta lebih sering diajarkan kepada para pertapa aliran Sramanisme lainnya (bukan kepada para brahmana), misalnya dalam Anattalakkhana Sutta ajaran ini diajarkan kepada lima pertapa yang pernah mengikuti Pertapa Gotama dalam pencarian pencerahannya (yang merupakan pengikut aliran Sramanisme yang mengutamakan praktik pertapaan keras sebagai jalan menuju pencerahan). Atau dalam Culasaccaka Sutta (MN 35) ajaran anatta diajarkan kepada seorang pertapa putra Nigantha (pengikut Jainisme) bernama Saccaka. Selain itu, dalam sutta-sutta Buddhis ajaran anatta lebih sering diajarkan kepada para pertapa aliran Sramanisme lainnya (bukan kepada para brahmana), misalnya dalam Anattalakkhana Sutta ajaran ini diajarkan kepada lima pertapa yang pernah mengikuti Pertapa Gotama dalam pencarian pencerahannya (yang merupakan pengikut aliran Sramanisme yang mengutamakan praktik pertapaan keras sebagai jalan menuju pencerahan). Atau dalam Culasaccaka Sutta (MN 35) ajaran anatta diajarkan kepada seorang pertapa putra Nigantha (pengikut Jainisme) bernama Saccaka.
Baris 154: Baris 156:
 1. Walaupun dapat disimpulkan bahwa menurut analisis historis ajaran anatta Buddhis tidak membantah secara langsung ajaran atman Brahmanime dari Upanishad, hal ini bukan berarti Buddhisme menyatakan adanya sesuatu di luar lima kelompok unsur kehidupan yang tidak dapat diketahui oleh pancaindria dan pikiran sebagai atta/atman seperti yang diajarkan Brahmanisme karena menurut Buddhisme "keseluruhan" (sabba/sarva) pengalaman fisik dan mental kita adalah hasil interaksi enam landasan indria (pancaindria & pikiran) dan objeknya sehingga sesuatu yang tidak dapat diketahui oleh enam landasan indria adalah sesuatu yang tidak ada (seperti yang dikatakan dalam SN 35.23). Dengan demikian, konsep atman yang tidak terdeskripsi dari Upanishad tidak dapat diterima dalam Buddhisme. 1. Walaupun dapat disimpulkan bahwa menurut analisis historis ajaran anatta Buddhis tidak membantah secara langsung ajaran atman Brahmanime dari Upanishad, hal ini bukan berarti Buddhisme menyatakan adanya sesuatu di luar lima kelompok unsur kehidupan yang tidak dapat diketahui oleh pancaindria dan pikiran sebagai atta/atman seperti yang diajarkan Brahmanisme karena menurut Buddhisme "keseluruhan" (sabba/sarva) pengalaman fisik dan mental kita adalah hasil interaksi enam landasan indria (pancaindria & pikiran) dan objeknya sehingga sesuatu yang tidak dapat diketahui oleh enam landasan indria adalah sesuatu yang tidak ada (seperti yang dikatakan dalam SN 35.23). Dengan demikian, konsep atman yang tidak terdeskripsi dari Upanishad tidak dapat diterima dalam Buddhisme.
  
-2. Kemungkinan bahwa konsep atta atau jiva yang dibantah secara langsung melalui ajaran anatta oleh Sang Buddha adalah ajaran atta/jiva dari aliran Sramanisme yang kini telah lenyap, tetapi sama-sama menggunakan konsep lima kelompok unsur kehidupan (pancakkandha) sebagai landasan ajaran mereka. Hal ini karena dalam pengajaran anatta kepada para pertapa aliran lain Sang Buddha selalu menggunakan konsep pancakkandha ini dan lawan bicara beliau dapat memahami istilah-istilah dari kelima unsur/faktor yang membentuk pancakkandha tersebut (jasmani/rupa, perasaan/vedana, persepsi/sanna, bentukan pikiran/sankhara, dan kesadaran/vinnana) tanpa kesulitan. Hal ini juga dikuatkan dengan [[https://discourse.suttacentral.net/t/on-sakkaya-identity-and-substantial-reality/31048/||hipotesis Bhikkhu Sujato]] bahwa istilah "sakkaya" (dalam "sakkayaditthi", yaitu pandangan salah tentang diri yang harus dilepaskan untuk mencapai pencerahan) berhubungan dengan istilah "astikaya" dari Jainisme yang merupakan lima hal yang menyusun realitas kehidupan (pergerakan/dharma, diam/adharma, ruang/akasa, jiwa/jiva, dan materi/pudgala). Jadi, kemungkinan bahwa ajaran anatta bahwa lima faktor penyusun kehidupan bukan atta/diri adalah bantahan langsung Sang Buddha terhadap ajaran sejenis astikaya ini dari aliran Sramanisme yang lebih tua.+2. Kemungkinan bahwa konsep atta atau jiva yang dibantah secara langsung melalui ajaran anatta oleh Sang Buddha adalah ajaran atta/jiva dari aliran Sramanisme yang kini telah lenyap, tetapi sama-sama menggunakan konsep lima kelompok unsur kehidupan (pancakkandha) sebagai landasan ajaran mereka. Hal ini karena dalam pengajaran anatta kepada para pertapa aliran lain Sang Buddha selalu menggunakan konsep pancakkandha ini dan lawan bicara beliau dapat memahami istilah-istilah dari kelima unsur/faktor yang membentuk pancakkandha tersebut (jasmani/rupa, perasaan/vedana, persepsi/sanna, bentukan pikiran/sankhara, dan kesadaran/vinnana) tanpa kesulitan. Hal ini juga dikuatkan dengan [[https://discourse.suttacentral.net/t/on-sakkaya-identity-and-substantial-reality/31048/|hipotesis Bhikkhu Sujato]] bahwa istilah "sakkaya" (dalam "sakkayaditthi", yaitu pandangan salah tentang diri yang harus dilepaskan untuk mencapai pencerahan) berhubungan dengan istilah "//astikaya//" dari Jainisme yang merupakan lima hal yang menyusun realitas kehidupan (pergerakan/dharma, diam/adharma, ruang/akasa, jiwa/jiva, dan materi/pudgala). Jadi, kemungkinan bahwa ajaran anatta bahwa lima faktor penyusun kehidupan bukan atta/diri adalah bantahan langsung Sang Buddha terhadap ajaran sejenis astikaya ini dari aliran Sramanisme yang lebih tua.
  
anatta.1764951236.txt.gz · Terakhir diubah: oleh seniya