anatta
Perbedaan
Ini menunjukkan perbedaan antara versi yang terpilih dengan versi yang sedang aktif.
| Kedua sisi revisi sebelumnyaRevisi sebelumnyaRevisi selanjutnya | Revisi sebelumnya | ||
| anatta [2025/12/05 15:05] – [Konsep Dasar Anatta (Bukan-Diri)] seniya | anatta [2025/12/06 02:51] (sekarang) – [Argumen Aliran-Aliran Buddhis] seniya | ||
|---|---|---|---|
| Baris 16: | Baris 16: | ||
| Syair ini mengandung inti ajaran Buddha tentang kemunculan bergantungan yang juga menjadi inti ajaran anatta. Karena mendengar syair ini, Upatissa mencapai kesucian pemasuk-arus (Sotapanna) dan ketika ia mengulangi syair ini kepada temannya, Kolita (yang kelak dikenal sebagai Moggallana, siswa utama Sang Buddha yang terkemuka dalam kekuatan batinnya), ia juga menjadi seorang Sotapanna. | Syair ini mengandung inti ajaran Buddha tentang kemunculan bergantungan yang juga menjadi inti ajaran anatta. Karena mendengar syair ini, Upatissa mencapai kesucian pemasuk-arus (Sotapanna) dan ketika ia mengulangi syair ini kepada temannya, Kolita (yang kelak dikenal sebagai Moggallana, siswa utama Sang Buddha yang terkemuka dalam kekuatan batinnya), ia juga menjadi seorang Sotapanna. | ||
| + | |||
| + | Dengan demikian, ajaran anatta menjadi ciri khas Buddhisme yang membedakannya dari ajaran-ajaran lain karena mengajarkan ketiadaan inti diri/ | ||
| + | |||
| + | ===== Anatta dalam Buddhisme Awal ===== | ||
| + | |||
| + | Dalam Buddhisme awal, secara umum konsep/ | ||
| + | |||
| + | Dalam kotbah keduanya yang berjudul Anattalakkhana Sutta (SN 22.59) Sang Buddha mengatakan bahwa unsur-unsur pembentuk kehidupan (disebut lima kelompok unsur kehidupan atau pancakkandha/ | ||
| + | |||
| + | 1) Jika masing-masing unsur kehidupan (kandha/ | ||
| + | |||
| + | 2) Masing-masing unsur kehidupan ini adalah tidak kekal (anicca/ | ||
| + | |||
| + | Bagi seseorang yang merenungkan dengan kebijaksanaan bahwa unsur-unsur kehidupan sebagai "bukan milikku, bukan aku, ini bukan diriku", | ||
| + | |||
| + | ===== Polemik terhadap Anatta dari Ajaran Non-Buddhis ===== | ||
| + | |||
| + | Konsep anatta dalam Buddhisme awal mendapatkan banyak pertanyaan, bantahan, dan kecaman dari ajaran-ajaran lain pada masa itu. Karena konsep anatta menyatakan unsur-unsur kehidupan, termasuk kesadaran, adalah bukan diri/ | ||
| + | |||
| + | Misalnya, [[jainisme|Jainisme (agama Jain)]] yang lahir sezaman tetapi lebih tua dari Buddhisme (yang dikenal sebagai aliran Nigantha dalam teks-teks Buddhis) menganggap ajaran anatta dari Buddhisme menyalahi doktrin karma dan kelahiran kembali (reinkarnasi) yang diyakini oleh agama-agama India kuno. Dalam teks-teks Jain, agama Buddha dikecam sebagai akiriyavada (doktrin tanpa perbuatan/ | ||
| + | |||
| + | ==== Argumen Buddhisme Awal ==== | ||
| + | |||
| + | Dalam teks-teks Buddhis awal sendiri Sang Buddha sering dipertanyakan pertanyaan-pertanyaan sejenis karena mengajarkan anatta, Misalnya dalam MN 109: | ||
| + | |||
| + | > Kemudian, dalam pikiran salah seorang bhikkhu muncul pikiran ini: “Jadi, sepertinya, bentuk materi adalah bukan diri, perasaan adalah bukan diri, persepsi adalah bukan diri, bentukan-bentukan adalah bukan diri, kesadaran adalah bukan diri. Kalau begitu, //diri apakah, yang melakukan perbuatan sebagai akibat dari apa yang dilakukan oleh apa yang bukan diri?//” | ||
| + | > | ||
| + | > Kemudian Sang Bhagavā, dengan pikiranNya mengetahui pikiran bhikkhu tersebut, berkata kepada bhikkhu itu sebagai berikut: “Adalah mungkin, para bhikkhu, seseorang sesat di sini, yang bodoh dan dungu, dengan pikirannya yang dikuasai oleh ketagihan, akan berpikir bahwa ia dapat melampaui pengajaran Sang Guru sebagai berikut: ‘Jadi, sepertinya, bentuk materi adalah bukan diri … kesadaran adalah bukan diri. Kalau begitu, diri apakah, yang melakukan perbuatan sebagai akibat dari apa yang dilakukan oleh apa yang bukan diri?’ Sekarang, para bhikkhu, kalian telah dilatih olehKu melalui tanya jawab dalam berbagai kesempatan sehubungan dengan berbagai hal. | ||
| + | > | ||
| + | > “Para bhikkhu, bagaimana menurut kalian? Apakah bentuk materi adalah kekal atau tidak kekal?” – “Tidak kekal, Yang Mulia.” – “Apakah apa yang tidak kekal adalah penderitaan atau kebahagiaan? | ||
| + | > | ||
| + | > “Para bhikkhu, bagaimana menurut kalian: apakah perasaan … persepsi … bentukan-bentukan … kesadaran adalah kekal atau tidak kekal?” – “Tidak kekal, Yang Mulia.” – “Apakah apa yang tidak kekal adalah penderitaan atau kebahagiaan? | ||
| + | > | ||
| + | > “Oleh karena itu, para bhikkhu, segala jenis bentuk materi apapun, apakah di masa lampau, di masa depan, atau di masa sekarang … segala bentuk materi harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Segala jenis perasaan apapun … Segala jenis persepsi apapun … Segala jenis bentukan-bentukan apapun … Segala jenis kesadaran apapun … segala jenis kesadaran harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ | ||
| + | |||
| + | Dan dalam Madhyama Agama sutra ke-62 (MA 62): | ||
| + | |||
| + | > Kemudian para penduduk Magadha berpikir: | ||
| + | > | ||
| + | > “Jika bentuk materi tidak kekal, perasaan … persepsi … bentukan kehendak … kesadaran tidak kekal, maka siapakah yang menjalani dan yang mengalami penderitaan dan kebahagiaan? | ||
| + | > | ||
| + | > Sang Bhagavā, mengetahui pikiran para penduduk Magadha, berkata kepada para bhikkhu: | ||
| + | > | ||
| + | > “Seorang duniawi yang bodoh, yang tidak terpelajar, menganggap dirinya sebagai “aku adalah diri” dan melekat pada diri. Namun, //tidak ada diri; tidak ada yang menjadi milik diri; [semua ini] adalah kosong dari diri dan kosong dari apa pun yang menjadi milik diri. Ketika fenomena muncul, mereka muncul; ketika fenomena lenyap, mereka lenyap. Semua ini [hanyalah] gabungan sebab dan kondisi, yang memunculkan penderitaan. Jika sebab dan kondisi tidak ada, maka semua penderitaan akan lenyap. Adalah karena gabungan sebab dan kondisi sehingga makhluk-makhluk hidup berlanjut dan semua fenomena muncul.// Sang Tathāgata, setelah melihat semua makhluk hidup terus-menerus muncul, menyatakan: Terdapat kelahiran dan terdapat kematian. Dengan mata dewa, yang dimurnikan dan melampaui [penglihatan] manusia, aku melihat makhluk-makhluk ketika mereka meninggal dan terlahir kembali gagah atau jelek, bagus atau tidak bagus, ketika mereka datang dan pergi di antara alam-alam kehidupan yang baik atau buruk, sesuai dengan perbuatan mereka [sebelumnya]. Aku melihat ini sebagaimana adanya. Jika makhluk-makhluk hidup ini berperilaku buruk dalam jasmani, ucapan dan pikiran, jika mereka tidak menghina para orang mulia, menganut pandangan salah, dan melakukan perbuatan [berdasarkan] pandangan benar, maka karena sebab dan kondisi ini, saat hancurnya tubuh, setelah kematian, mereka pasti akan pergi ke alam kehidupan yang baik, [bahkan] ke alam surga. | ||
| + | > | ||
| + | > “Mengetahui bahwa ini adalah demikian, //aku tidak mengatakan kepada mereka, “Adalah diri yang dapat merasakan, dapat berbicara, yang memberikan ajaran-ajaran, | ||
| + | > | ||
| + | > “[Tetapi walaupun mereka keberatan] proses ini yang terjadi sesuai dengan Dharma: //Karena ini, itu muncul; jika sebab ini tidak muncul, itu tidak muncul. Karena ini ada, itu ada; jika ini lenyap, itu lenyap. Dengan kata lain: dengan ketidaktahuan sebagai kondisi terdapat bentukan kehendak; (dan seterusnya sampai dengan) dengan kelahiran sebagai kondisi terdapat usia tua dan kematian. Jika ketidaktahuan lenyap, bentukan kehendak lenyap (dan seterusnya sampai dengan) jika kelahiran lenyap, usia tua dan kematian lenyap.”// | ||
| + | |||
| + | Dalam kutipan teks pertama (MN 109) di atas Sang Buddha tidak berusaha menjelaskan bagaimana proses kelahiran kembali dan bekerjanya hukum karma tanpa melibatkan suatu diri, melainkan beliau mengetahui adanya pandangan salah tentang diri dalam bhikkhu penanya dan menggunakan konsep anatta dalam bentuk tanya jawab standar seperti dalam kotbah kedua Anattalakkhana Sutta untuk membebaskan sang bhikkhu dari pandangan salah tersebut. | ||
| + | |||
| + | Dalam kutipan teks kedua (MA 62) yang berasal dari kanon Buddhis aliran Sarvastivada dalam bahasa Cina, merupakan kotbah Sang Buddha kepada Raja Bimbisara dalam pertemuan pertama mereka, dan tidak memiliki padanan/ | ||
| + | |||
| + | Konsep sebab akibat yang saling bergantungan ini juga digunakan oleh Bhikkhu Nagasena pada abad ke-2 SM untuk menjawab pertanyaan dari Raja Milinda (dikenal dalam sejarah sebagai Menander I yang berkuasa di Bactria, kerajaan kuno yang terletak di Afganistan, Pakistan sampai Iran sekarang yang saat itu dikuasai orang Yunani) seputar konsep karma dan kelahiran kembali Buddhis yang tanpa diri/ | ||
| + | |||
| + | > M (Milinda): “Apa yang terlahir kembali itu, Nagasena? | ||
| + | > | ||
| + | > N (Nagasena): “Batin dan jasmani (namarupa). | ||
| + | > | ||
| + | > M: “Apakah batin dan jasmani yang ini juga yang terlahir kembali?” | ||
| + | > | ||
| + | > N: “Bukan, tetapi oleh batin dan jasmani inilah maka perbuatan-perbuatan dilakukan, dan oleh karena perbuatan-perbuatan itulah maka batin dan jasmani yang lain terlahir kembali. Walaupun demikian, batin dan jasmani itu tidak begitu saja terlepas dari hasil perbuatan sebelumnya.” | ||
| + | > | ||
| + | > M: “Berikanlah ilustrasi.” | ||
| + | > | ||
| + | > N: “Seperti halnya api yang dinyalakan seseorang. Setelah merasa hangat, mungkin orang itu pergi meninggalkan dalam keadaan menyala. Andaikan saja api tersebut kemudian menjalar dan membakar ladang orang lain, lalu pemilik ladang itu menyeretnya ke hadapan raja serta menuntut orang yang menyalakan api tersebut. Bila dia berkata, ‘Baginda yang mulia, saya tidak membakar ladang orang ini. Api yang saya tinggalkan itu berbeda dengan api yang membakar ladang orang ini. Saya tidak bersalah’, | ||
| + | > | ||
| + | > M: “Tentu saja, karena tak peduli apa pun yang dia katakan, api itu berasal dari api sebelumnya.” | ||
| + | > | ||
| + | > N: “Demikian juga, O baginda, oleh batin dan jasmani ini perbuatan-perbuatan dilakukan, dan oleh karena perbuatan-perbuatan itu maka batin dan jasmani baru akan terlahir kembali; tetapi batin dan jasmani tersebut tidak begitu saja terlepas dari hasil perbuatan sebelumnya.” | ||
| + | |||
| + | Dengan demikian, karma dan kelahiran kembali dalam Buddhis dijelaskan dalam rumusan sebab akibat bergantungan sbb: //dengan batin dan jasmani saat ini perbuatan dilakukan, melalui akibat perbuatan tersebut batin dan jasmani baru terbentuk pada kehidupan berikutnya, tanpa adanya sesuatu/ | ||
| + | |||
| + | > Terdapat kamma [perbuatan], | ||
| + | > | ||
| + | > “Apakah ‘hanya suatu perumpamaan untuk fenomena’? | ||
| + | > | ||
| + | > Di dalam hal ini, ketika ini tidak ada, itu tidak ada; dengan lenyapnya ini, itu lenyap. Yaitu, dengan lenyapnya ketidaktahuan, | ||
| + | |||
| + | ==== Argumen Aliran-Aliran Buddhis ==== | ||
| + | |||
| + | Berabad-abad setelah wafatnya Sang Buddha, para pengikutnya masih mengalami tantangan baik dari sesama Buddhis sendiri maupun dari ajaran-ajaran non-Buddhis dalam menjelaskan proses karma dan kelahiran kembali tanpa melibatkan entitas yang berpindah ini. Jika ajaran-ajaran lain yang menganut pandangan diri akan dengan mudah menjelaskan bahwa diri/ | ||
| + | |||
| + | Akibatnya, pada masa sektarian, aliran-aliran Buddhis mengembangkan istilah/ | ||
| + | |||
| + | 1. Aliran **Sarvastivada (Vaibhasika)** dengan konsep "semua ada" (sarvam asti: semua fenomena eksis dalam masa lampau, masa kini, dan masa depan) menjelaskan bahwa saat perbuatan (karma) dilakukan, maka akan terbentuk fenomena (dharma) yang disebut prapti (kepemilikan) yang eksis selamanya sampai ia berbuah/ | ||
| + | |||
| + | 2. Aliran **Pudgalavada/ | ||
| + | |||
| + | 3. Aliran **Mahasanghika** menyatakan konsep kesadaran akar (mulavijnana), | ||
| + | |||
| + | 4. Aliran **Sautrantika** yang menolak konsep "semua ada" (dan konsep prapti) dari Sarvastivada Vaibhasika di atas menyatakan ketika perbuatan (karma) dalam bentuk kehendak/ | ||
| + | |||
| + | 5. Aliran **Theravada** menjelaskan proses karma dan kelahiran kembali dengan konsep bhavanga (faktor kehidupan). Menurut Abhidhamma Theravada, bhavanga adalah kesadaran pasif (seperti pada saat tidur tanpa mimpi) yang mendasari kehidupan dan bersifat muncul, bertahan sejenak, lalu lenyap, namun berkelanjutan sejak awal samsara yang tidak terbayangkan sampai saat ini bagaikan aliran sungai yang tidak sama setiap momennya. | ||
| + | |||
| + | Kesadaran bhavanga (bhavanga citta) selalu dialami seseorang selama tidak ada objek eksternal yang menstimulasinya, | ||
| + | |||
| + | 6. Aliran **Mahayana Yogacara (Vijnanavada)** menjelaskan proses kelahiran kembali dan karma dengan konsep alayavijnana (gudang kesadaran), yaitu kesadaran kedelapan (7 kesadaran lainnya adalah kesadaran pancaindria ditambah kesadaran pikiran [manovijnana] dan pikiran [mano] itu sendiri) di mana seluruh benih kamma baik dan buruk (karmabija) serta seluruh potensi kekotoran dan kemurnian batin tersimpan. Dalam Lankavatara Sutra, alayavijnana adalah sama dengan tathagathagarbha (rahim Tathagata = benih Kebuddhaan [bodhicitta]) yang murni sejak awalnya tetapi terkotori oleh kekotoran batin. Ketika alayavijnana ini dimurnikan dari kekotoran batin sepenuhnya, maka tercapailah pencerahan. Konsep alayavijnana/ | ||
| + | |||
| + | ===== Tinjauan Tekstual Historis Anatta Buddhisme vs Atman Brahmanisme ===== | ||
| + | |||
| + | //Apakah secara historis ajaran Anatta dalam Buddhisme ditujukan secara khusus untuk membantah ajaran Atman dari Brahmanisme?// | ||
| + | |||
| + | ==== Atman dalam Veda dan Upanishad ==== | ||
| + | |||
| + | Secara kajian tekstual-historis, | ||
| + | |||
| + | Konsep atman yang mengandung makna filosofis dan metafisika baru muncul belakangan pada teks Upanishad tertua yang disusun kira-kira 1 abad sebelum kemunculan Buddha (700–600 SM). Misalnya dalam Brhadaraṇyaka Upanishad ditemukan pengertian atman sebagai berikut: | ||
| + | |||
| + | > //It is the unseen seer, the unheard hearer, the unthought-of thinker, the unknown knower. Other than this there is no seer; other than this there is no hearer; other than this there is no thinker; other than this there is no knower. This is your self, the inner controller, the immortal: what is other than this is suffering.// | ||
| + | > | ||
| + | > | ||
| + | |||
| + | Ini menyatakan bahwa atman adalah diri yang melihat, mendengar, berpikir, dan mengetahui, namun ia tidak dapat dilihat, didengar, dipikirkan, dan diketahui; ia adalah pengendali yang kekal dan selainnya hanyalah penderitaan (oleh sebab itu atman adalah kebahagiaan). | ||
| + | |||
| + | Selain itu menurut Taittiriya Upanishad, atman terbentuk dari/ | ||
| + | |||
| + | ==== Perbandingan Konsep Anatta vs Atman ==== | ||
| + | |||
| + | Ajaran anatta dalam Buddhisme yang pertama kali dinyatakan Sang Buddha dalam Anattalakkhana Sutta | ||
| + | mengatakan bahwa lima kelompok unsur kehidupan (pancakkandha/ | ||
| + | |||
| + | Jika dibandingkan dengan ajaran lima lapis atman dari Taittiriya Upanishad, maka Sang Buddha pun hanya membantah tiga lapis atman (makanan/ | ||
| + | |||
| + | Selain itu, menurut sutta yang sama, lima kelompok unsur kehidupan ini bukan atta karena kelimanya tidak kekal, apa yang tidak kekal adalah menderita (dukkha), dan apa yang menderita adalah bukan atta/atman. Secara tidak langsung hal ini menyatakan bahwa sesuatu yang dianggap atta/atman harusnya bahagia. Ini juga tidak membantah konsep Upanishad bahwa atman adalah kebahagiaan. Tentu saja karena lima kelompok unsur kehidupan adalah dukkha menurut Buddhisme, maka ia sejatinya bukan atta/atman. | ||
| + | |||
| + | Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Sang Buddha tidak secara langsung membantah ajaran atman dari Upanishad dengan ajaran anatta yang beliau nyatakan dalam Anattalakkhana Sutta karena tidak ada kecocokan langsung antara konsep anatta Buddhis dan atman Brahmanisme berdasarkan perbandingan sumber tekstual kedua ajaran ini. | ||
| + | |||
| + | ==== Kesimpulan Akhir ==== | ||
| + | |||
| + | Walaupun teks filosofis para brahmana yang kita kenal sebagai Upanishad telah ada pada masa Sang Buddha, kemungkinan Sang Buddha sendiri tidak begitu familiar dengan konsep atman yang terkandung di dalamnya. Hal ini karena teks-teks filosofis para brahmana seperti Upanishad ini disusun di negeri Kuru-Pancala, | ||
| + | |||
| + | Selain itu, dalam sutta-sutta Buddhis ajaran anatta lebih sering diajarkan kepada para pertapa aliran Sramanisme lainnya (bukan kepada para brahmana), misalnya dalam Anattalakkhana Sutta ajaran ini diajarkan kepada lima pertapa yang pernah mengikuti Pertapa Gotama dalam pencarian pencerahannya (yang merupakan pengikut aliran Sramanisme yang mengutamakan praktik pertapaan keras sebagai jalan menuju pencerahan). Atau dalam Culasaccaka Sutta (MN 35) ajaran anatta diajarkan kepada seorang pertapa putra Nigantha (pengikut Jainisme) bernama Saccaka. | ||
| + | |||
| + | Jadi, secara historis ajaran anatta Buddhis tidak secara langsung ditujukan untuk membantah ajaran atman para brahmana seperti yang terkandung dalam Upanishad, namun kemungkinan ditujukan untuk membantah secara langsung ajaran jiva atau sejenisnya dari aliran-aliran Sramanisme lain seperti Nigantha (Jainisme sekarang) atau Ajivika (yang sudah punah sekarang), yang juga sama-sama berkembang di wilayah Magadha pada masa Sang Buddha. | ||
| + | |||
| + | ==== Catatan Tambahan ==== | ||
| + | |||
| + | 1. Walaupun dapat disimpulkan bahwa menurut analisis historis ajaran anatta Buddhis tidak membantah secara langsung ajaran atman Brahmanime dari Upanishad, hal ini bukan berarti Buddhisme menyatakan adanya sesuatu di luar lima kelompok unsur kehidupan yang tidak dapat diketahui oleh pancaindria dan pikiran sebagai atta/atman seperti yang diajarkan Brahmanisme karena menurut Buddhisme " | ||
| + | |||
| + | 2. Kemungkinan bahwa konsep atta atau jiva yang dibantah secara langsung melalui ajaran anatta oleh Sang Buddha adalah ajaran atta/jiva dari aliran Sramanisme yang kini telah lenyap, tetapi sama-sama menggunakan konsep lima kelompok unsur kehidupan (pancakkandha) sebagai landasan ajaran mereka. Hal ini karena dalam pengajaran anatta kepada para pertapa aliran lain Sang Buddha selalu menggunakan konsep pancakkandha ini dan lawan bicara beliau dapat memahami istilah-istilah dari kelima unsur/ | ||
| + | |||
anatta.1764947148.txt.gz · Terakhir diubah: oleh seniya
